Sabtu, 22 Desember 2012

Peranan Ibu dalam Mencetak Generasi Bangsa; Part I




بسم الله الرحمن الرحيم
“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum, dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela, dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.”
( Muhammad Quthb, dalam bukunya “Ma’rakah al-Taqâlîd”) [1]

Bab I
Muqaddimah
            Kualitas sebuah bangsa bisa diukur dari kualitas para wanitanya. Wanita-wanita yang salehah akan melahirkan generasi saleh yang tidak hanya membangun bangsa tetapi membangun sebuah peradaban yang luhur. Dalam hal ini, siapa lagi kalau bukan peran seorang ibu. Ditangan ibu terletak bangkit dan tidaknya sebuah bangsa, di tangannya pula akan tergambar seperti apa pemimpin masa depan bangsa ini. Tidak salah jika Islam memposisikan seorang ibu sebagai pendidik anak yang pertama dan utama.
“Wanita dalam Islam, status sosial, kedudukan, dan derajat”, merupakan objek kajian kontemporer menarik yang telah beberapa kali diusung oleh para pemikir Islam di dunia. Tidak hanya dari kalangan cendikiawan Islam saja, para orientalis, liberalis, dan filosofis diluar Islam telah banyak menyerang dan merongrong pemikiran umat Islam lewat kajian menarik ini. Karena mereka menganggap permasalahan urgen ini menjadi ladang empuk perang media masa kini dan sangat mengena ke ranah ideologi untuk dapat merubah serta mempermainkan ayat suci Alquran dalam hal memahami serta menafsiri secara logis.
Jika kita menilik perlakuan barat terhadap kaum wanita, kita akan menemukan gambaran semu atas perlakuannya terhadap kaum wanita. Mereka mengatakan bahwa kaum wanita harus bangkit dari derita kehidupannya. Kaum wanita harus mampu bersaing dengan kaum laki-laki. Kaum wanita harus ikut berpartisipasi dalam membangun negara dan lain sebagainya.  Namun, solusi yang digembor-gemborkan oleh mereka itu menggiring kaum wanita untuk melakukan hal yang membuat dirinya lupa akan fitrahnya sebagai seorang wanita. Organisasi-organisasi kewanitaan yang mereka dirikan, hanyalah sebuah label yang tidak ada nilaninya. Suara-suara mereka dengungkan hanyalah jargon-jargon indah dibalik kepentingan busuk materi belaka. Jangan heran, jika wanita yang pada mulanya lembut, kini menjadi garang. Seorang istri yang pada awalnya harus patuh atas perintah suaminya, kini harus sering membantah. Wanita dan Laki-laki yang yang pada asaznya, diciptakan oleh Allah SWT untuk saling melengkapi, kini harus bersaing dan saling menjatuhkan.
            Mencetak generasi bangsa tidak hanya melahirkan bayi-bayi penerus keturunannya, melainkan, mencetak generasi bangsa yaitu melahirkan bayi-bayi berkualitas unggul yang nantinya akan mampu mempertahankan nilai-nilai kemanusiannya dan budi pekertinya. Sehingga mereka mampu memegang amanat dalam membangun peradaban bangsa. Lalu, bagaimana mungkin bayi-bayi itu berkembang dan berkualias unggul jika si pemegang tanggung jawab tersebut telah menyibukkan diri dengan pekerjaan lain? Apalagi, setelah mendengar pergerakan kaum wanita barat yang banyak menyeret wanita bangsa-bangsa lain untuk ikut berpartisipasi masuk ke jurang pertempuran yang pada akhirnya mereka harus melepaskan tangan dan lari dari tanggung jawab besar ini.  
            Siapa lagi kalau bukan peran seorang Ibu? Ibu adalah bagian terpenting dari sebuah pembangunan. Bukan hanya pembangunan lingkup keluarga, melainkan pembangunan sebuah peradaban suatu bangsa. Oleh karena itu, betapa besarnya potensi seorang ibu dalam mencetak generasi penerus yang unggul dan berkualitas. Lepasnya kontrol dari pengawasan seorang ibu sangat berpotensi besar dalam memperburuk masa depan anaknya. Oleh karena itu, dimulai dari sinilah akar permasalahan penyebab dekadensi sosial yang sedang mewabah saat ini. Untuk itu, penulis mencoba mengulas sebuah wacana akan peran seorang ibu dalam memperkokoh pilar bangsa menuju kehidupan bermoral dan bermartabat.

Bab II
Pembahasan
2.1 Ibu Sebagai Tumpuan Utama Pendidikan Anak di Rumah
            Islam sebagai agama mulia, secara tegas mengatur posisi wanita sebagai real school atau madrasah utama dalam pendidikan di rumah. Ibu, dalam Islam mendapat posisi penting sebagai guru pertama anaknya. Maka itu peran istri dalam Islam bagai guru besar pendidikan pertama yang harus dihormati oleh suaminya. Dari sini penulis jadi teringat dengan sebuah pepatah Arab yang artinya:
“Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”
Didukung pula dengan riwayat Imam Al Bukhâri, bahwa suatu hari
ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah saw. Lelaki tersebut hendak menanyakan tentang bagaimanakah hendaknya ia memperlakukan ibunya dalam berbakti dalam hidupnya. Rasulullah pun menjawab bahwa seorang ibu memiliki hak yang sangat besar dalam masalah berbaktinya anak kepada orang tua. Seorang ibu memiliki perbandingan 3 kali lebih utama dibanding ayah (3:1) dalam pemprioritasan kebaktian seorang anak kepada orang tua. Kedudukan yang mulia ini, telah mendorong seorang ibu yang berpegang teguh dengan Islam untuk mengupayakan melahirkan dan mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi unggul penerus estafet yang telah Allah SWT amanatkan kepadanya.
Dr.Yusuf Qardlawi dalam hal ini mengemukakan, "Tugas awal nan utama bagi wanita yang tak bisa diganggu gugat adalah mendidik jasmani dan rohani generasi yang diamanahkan Allah padanya. Dan wajib baginya untuk memperhatikan risalah mulia ini dan tidak mementingkan urusan lain. Sebab tak ada yang dapat menggantikan wanita untuk menjalankan tugas agung yang menentukan masa depan umat ini. "

2.2 Ibu Rumah Tangga, Bentuk Kepedulian Terhadap Masa Depan Anak
            Menempatkan wanita untuk tetap menjaga kesuciannya dengan tetap berada di dalam rumah bukanlah sebuah perilaku diskriminatif terhadap mereka. Islam bukanlah agama pelopor budaya partriarki yang mengharuskan kaum laki-laki agar mendominasi kaum wanita dalam segala bidang. Islam tidak pula mengajarkan faham seksisme, yaitu ideologi patriarki yang berisi serangkaian keyakinan yang memperkuat pendapat tentang supremasi laki-laki. Islam memandang keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan laki-laki, terlebih dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Masing-masing telah diberi tugas oleh Allah SWT sesuai dengan kemampuan yang telah dianugerahkan-Nya.
Adapun masalah kepemimpinan rumah tangga, maka Allah menjelaskan di dalam Al Qur'an karena dua alasan sebagai berikut:
Pertama, bahwa Allah telah memberikan anugerah bagi kaum laki-laki berupa pengetahuan raisonal tinggi dan melihat masalah dengan akal lebih banyak daripada wanita. Sedang wanita dipersiapkan oleh Allah memiliki perasaan yang sensitif untuk mendukung tugas keibuannya. Dirancang sedemikian rinci mulai dari bagaimana ia berjalan, bertuturkata, hingga menyikapi keadaan disekitarnya.
Kedua, bahwa laki-laki telah dibebani untuk memberikan nafkah guna membangun rumah tangganya. Maka, jika rumah tangga itu sampai roboh (berantakan), akan berantakan pula dari dasarnya. Karena itu keputusan cerai (talak) berada di tangan seorang lelaki (suami), bukan istri. Karena lelaki (suami) harus berfikir seribu kali sebelum memutuskan dirinya untuk bercerai.
Dalam sebuah hadist Rasulullah saw bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ... وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا (رواه أحمد)
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya… Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangganya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya."(H.R. Ahmad)

Sebuah kesalahan fatal bagi sekelompok orang yang mengklaim Islam telah memperbudak perempuan dalam pernikahan dengan menempatkan dan memenjarakannya dengan urusan rumah tangga. Faktanya, bahwa penindasan yang melanda perempuan dalam rumah tangga adalah karena egoisme suami atau istri yang tidak mengindahkan hukum Islam, dan karena adanya adat yang justru memperburuk citra perempuan dengan tugas domestic rumah tangga, juga pengaruh budaya individualisme dan materialisme yang mewabah masyarakat muslim saat ini.
Perlu diingat, bahwa anggota keluarga bukan hanya dua individu saja. Disamping suami, istri, ada juga anak. Anak merupakan generasi penerus perjuangan orang tuanya. Tentunya, di dunia ini tidak ada yang merelakan generasi penerusnya hancur hanya karena kurangnya bimbingan dan pengawasan. Oleh karena itu, diperlukan seorang pembimbing yang mampu mengantarkannya menuju kesuksesan hingga nantinya meneruskan misi perjuangan sebuah keluarga. Allah SWT berfirman:
ﭶ   ﭷ  ﭸ  ﭹ  ﭺ  ﭻ  ﭼ  ﭽﭾ  [الأحزاب: 33]
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu.”(Al Ahzâb: 33)
Pada dasarnya, ayah dan ibu mempunyai peran dan tanggung jawab yang harus dilakukan secara berimbang. Keduanya berperan penting dalam membentuk karakter anak. Orang tua menanamkan sikap-sikap yang teladan kepada anaknya sehingga mereka dapat menjadi pribadi yang tangguh. Setiap anggota keluarga juga harus berpartisipasi penuh dalam setiap aktivitas keluarga.
Banyak pakar yang menyebutkan bahwa ada dua faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap penentu masa depan seorang anak dalam hal perilaku, moral, etika, dan pendidikan adalah kondisi keluarga dan lingkungan. Maka dari itu, peran yang paling sesuai guna memegang tali kendali ini adalah peran seorang ibu. Dimana, seorang ibu memiliki waktu lebih banyak bersama anak di rumah dibanding seorang ayah. Kendati demikian, ibu adalah satu-satunya orang yang paling mengerti sifat anaknya. Seorang ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya berperan untuk memberikan didikan yang terbaik untuk anaknya. Jika seorang ibu telah menyibukkan diri berkelana kesana-kemari diluar kewajibannya, lalu siapa lagi yang bersedia mendidik anaknya? dan jangan salahkan guru ngajinya jika memang moral anaknya semakin memburuk setelah kian lama ia dididik sekalipun di lingkungan pesantren.
Lalu, bagaimana mungkin akan tercipta generasi unggul yang bijak dalam menghadapi tantangan hidup, jika sosok ibu yang diharapkan ada disampingnya selalu sibuk dengan urusan kantor dan pekerjaan, bagaimana mungkin seorang ibu akan bisa mencetak sosok-sosok yang tangguh, jika hari-hari seorang ibu harus berkutat dengan teman kerja dan mesin-mesin pabrik daripada dengan suami dan anak-anaknya.



[1]  Muhammad Quthb, Ma’rakah al-Taqâlîd, Cairo: Dâr al-Syurûq. Cet. Ke-16, 1992, hal. 138.

1 comments:

Anonim mengatakan...

Bismillah. Ini postigan yang sangat bermanfaat, akhi. ijin re-post .. :)

Posting Komentar

 
;