بسم الله الرحمن الرحيم
“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah
sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya
sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan
iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum, dan segala soal psikologis
untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar
melahirkan, membela, dan menyusui yang setiap kucing dan sapi
subur pun mampu melakukannya.”
Bab I
Muqaddimah
Kualitas sebuah bangsa bisa diukur
dari kualitas para wanitanya. Wanita-wanita yang salehah akan melahirkan
generasi saleh yang tidak hanya membangun bangsa tetapi membangun sebuah
peradaban yang luhur. Dalam hal ini, siapa lagi kalau bukan peran seorang ibu. Ditangan
ibu terletak bangkit dan tidaknya sebuah bangsa, di tangannya pula akan
tergambar seperti apa pemimpin masa depan bangsa ini. Tidak salah jika Islam memposisikan
seorang ibu sebagai pendidik anak yang pertama dan utama.
“Wanita
dalam Islam, status sosial, kedudukan, dan derajat”, merupakan objek kajian
kontemporer menarik yang telah beberapa kali diusung oleh para pemikir Islam di
dunia. Tidak hanya dari kalangan cendikiawan Islam saja, para orientalis, liberalis,
dan filosofis diluar Islam telah banyak menyerang dan merongrong pemikiran umat
Islam lewat kajian menarik ini. Karena mereka menganggap permasalahan urgen ini
menjadi ladang empuk perang media masa kini dan sangat mengena ke ranah
ideologi untuk dapat merubah serta mempermainkan ayat suci Alquran dalam hal
memahami serta menafsiri secara logis.
Jika
kita menilik perlakuan barat terhadap kaum wanita, kita akan menemukan gambaran
semu atas perlakuannya terhadap kaum wanita. Mereka mengatakan bahwa kaum
wanita harus bangkit dari derita kehidupannya. Kaum wanita harus mampu bersaing
dengan kaum laki-laki. Kaum wanita harus ikut berpartisipasi dalam membangun negara
dan lain sebagainya. Namun, solusi yang
digembor-gemborkan oleh mereka itu menggiring kaum wanita untuk melakukan hal
yang membuat dirinya lupa akan fitrahnya sebagai seorang wanita. Organisasi-organisasi
kewanitaan yang mereka dirikan, hanyalah sebuah label yang tidak ada nilaninya.
Suara-suara mereka dengungkan hanyalah jargon-jargon indah dibalik kepentingan
busuk materi belaka. Jangan heran, jika wanita yang pada mulanya lembut, kini
menjadi garang. Seorang istri yang pada awalnya harus patuh atas perintah
suaminya, kini harus sering membantah. Wanita dan Laki-laki yang yang pada
asaznya, diciptakan oleh Allah SWT untuk saling melengkapi, kini harus bersaing
dan saling menjatuhkan.
Mencetak generasi bangsa tidak hanya
melahirkan bayi-bayi penerus keturunannya, melainkan, mencetak generasi bangsa
yaitu melahirkan bayi-bayi berkualitas unggul yang nantinya akan mampu
mempertahankan nilai-nilai kemanusiannya dan budi pekertinya. Sehingga mereka
mampu memegang amanat dalam membangun peradaban bangsa. Lalu, bagaimana mungkin
bayi-bayi itu berkembang dan berkualias unggul jika si pemegang tanggung jawab
tersebut telah menyibukkan diri dengan pekerjaan lain? Apalagi, setelah
mendengar pergerakan kaum wanita barat yang banyak menyeret wanita
bangsa-bangsa lain untuk ikut berpartisipasi masuk ke jurang pertempuran yang
pada akhirnya mereka harus melepaskan tangan dan lari dari tanggung jawab besar
ini.
Siapa lagi kalau bukan peran seorang
Ibu? Ibu adalah bagian terpenting dari sebuah pembangunan. Bukan hanya
pembangunan lingkup keluarga, melainkan pembangunan sebuah peradaban suatu
bangsa. Oleh karena itu, betapa besarnya potensi seorang ibu dalam mencetak
generasi penerus yang unggul dan berkualitas. Lepasnya kontrol dari pengawasan seorang
ibu sangat berpotensi besar dalam memperburuk masa depan anaknya. Oleh karena
itu, dimulai dari sinilah akar permasalahan penyebab dekadensi sosial yang
sedang mewabah saat ini. Untuk itu, penulis mencoba mengulas sebuah wacana akan
peran seorang ibu dalam memperkokoh pilar bangsa menuju kehidupan bermoral dan
bermartabat.
Bab II
Pembahasan
2.1
Ibu Sebagai Tumpuan Utama Pendidikan Anak di Rumah
Islam sebagai agama mulia, secara
tegas mengatur posisi wanita sebagai real school atau madrasah utama
dalam pendidikan di rumah. Ibu, dalam Islam mendapat posisi penting sebagai
guru pertama anaknya. Maka itu peran istri dalam Islam bagai guru besar
pendidikan pertama yang harus dihormati oleh suaminya. Dari sini penulis jadi
teringat dengan sebuah pepatah Arab yang artinya:
“Ibu adalah sebuah
madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu
menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”
Didukung pula dengan
riwayat Imam Al Bukhâri,
bahwa suatu hari
ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah saw. Lelaki tersebut hendak menanyakan tentang bagaimanakah hendaknya ia memperlakukan ibunya dalam berbakti dalam hidupnya. Rasulullah pun menjawab bahwa seorang ibu memiliki hak yang sangat besar dalam masalah berbaktinya anak kepada orang tua. Seorang ibu memiliki perbandingan 3 kali lebih utama dibanding ayah (3:1) dalam pemprioritasan kebaktian seorang anak kepada orang tua. Kedudukan yang mulia ini, telah mendorong seorang ibu yang berpegang teguh dengan Islam untuk mengupayakan melahirkan dan mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi unggul penerus estafet yang telah Allah SWT amanatkan kepadanya.
ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah saw. Lelaki tersebut hendak menanyakan tentang bagaimanakah hendaknya ia memperlakukan ibunya dalam berbakti dalam hidupnya. Rasulullah pun menjawab bahwa seorang ibu memiliki hak yang sangat besar dalam masalah berbaktinya anak kepada orang tua. Seorang ibu memiliki perbandingan 3 kali lebih utama dibanding ayah (3:1) dalam pemprioritasan kebaktian seorang anak kepada orang tua. Kedudukan yang mulia ini, telah mendorong seorang ibu yang berpegang teguh dengan Islam untuk mengupayakan melahirkan dan mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi generasi unggul penerus estafet yang telah Allah SWT amanatkan kepadanya.
Dr.Yusuf Qardlawi dalam hal ini mengemukakan,
"Tugas awal nan utama bagi wanita yang tak bisa diganggu gugat adalah
mendidik jasmani dan rohani generasi yang diamanahkan Allah padanya. Dan wajib
baginya untuk memperhatikan risalah mulia ini dan tidak mementingkan
urusan lain. Sebab tak ada yang dapat menggantikan wanita untuk menjalankan
tugas agung yang menentukan masa depan umat ini. "
2.2 Ibu Rumah Tangga,
Bentuk Kepedulian Terhadap Masa Depan Anak
Menempatkan wanita untuk tetap
menjaga kesuciannya dengan tetap berada di dalam rumah bukanlah sebuah perilaku
diskriminatif terhadap mereka. Islam bukanlah agama pelopor budaya partriarki
yang mengharuskan kaum laki-laki agar mendominasi kaum wanita dalam segala
bidang. Islam tidak pula mengajarkan faham seksisme, yaitu ideologi patriarki
yang berisi serangkaian keyakinan yang memperkuat pendapat tentang supremasi
laki-laki. Islam memandang keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak
bisa dipisahkan dengan laki-laki, terlebih dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat. Masing-masing telah diberi tugas oleh Allah SWT sesuai dengan
kemampuan yang telah dianugerahkan-Nya.
Adapun
masalah kepemimpinan rumah tangga, maka Allah menjelaskan di dalam Al Qur'an
karena dua alasan sebagai berikut:
Pertama, bahwa Allah telah
memberikan anugerah bagi kaum laki-laki berupa pengetahuan raisonal tinggi dan
melihat masalah dengan akal lebih banyak daripada wanita. Sedang wanita
dipersiapkan oleh Allah memiliki perasaan yang sensitif untuk mendukung tugas
keibuannya. Dirancang sedemikian rinci mulai dari bagaimana ia berjalan,
bertuturkata, hingga menyikapi keadaan disekitarnya.
Kedua, bahwa laki-laki
telah dibebani untuk memberikan nafkah guna membangun rumah tangganya. Maka, jika
rumah tangga itu sampai roboh (berantakan), akan berantakan pula dari dasarnya.
Karena itu keputusan cerai (talak) berada di tangan seorang lelaki (suami),
bukan istri. Karena lelaki (suami) harus berfikir seribu kali sebelum memutuskan
dirinya untuk bercerai.
Dalam sebuah hadist
Rasulullah saw bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
... وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا (رواه
أحمد)
"Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang
dipimpinnya… Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangganya dan bertanggung
jawab atas apa yang dipimpinnya."(H.R. Ahmad)
Sebuah
kesalahan fatal bagi sekelompok orang yang mengklaim Islam telah memperbudak
perempuan dalam pernikahan dengan menempatkan dan memenjarakannya dengan urusan
rumah tangga. Faktanya, bahwa penindasan yang melanda perempuan dalam rumah
tangga adalah karena egoisme suami atau istri yang tidak mengindahkan hukum
Islam, dan karena adanya adat yang justru memperburuk citra perempuan dengan
tugas domestic rumah tangga, juga pengaruh budaya individualisme dan
materialisme yang mewabah masyarakat muslim saat ini.
Perlu
diingat, bahwa anggota keluarga bukan hanya dua individu saja. Disamping suami,
istri, ada juga anak. Anak merupakan generasi penerus perjuangan orang tuanya.
Tentunya, di dunia ini tidak ada yang merelakan generasi penerusnya hancur
hanya karena kurangnya bimbingan dan pengawasan. Oleh karena itu, diperlukan
seorang pembimbing yang mampu mengantarkannya menuju kesuksesan hingga nantinya
meneruskan misi perjuangan sebuah keluarga. Allah SWT berfirman:
ﭽ ﭶ ﭷ ﭸ
ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽﭾ ﭼ [الأحزاب: 33]
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
jahiliyah dulu.”(Al Ahzâb: 33)
Pada
dasarnya, ayah dan ibu mempunyai peran dan tanggung jawab yang harus dilakukan
secara berimbang. Keduanya berperan penting dalam membentuk karakter anak.
Orang tua menanamkan sikap-sikap yang teladan kepada anaknya sehingga mereka
dapat menjadi pribadi yang tangguh. Setiap anggota keluarga juga harus
berpartisipasi penuh dalam setiap aktivitas keluarga.
Banyak
pakar yang menyebutkan bahwa ada dua faktor yang sangat besar pengaruhnya
terhadap penentu masa depan seorang anak dalam hal perilaku, moral, etika, dan
pendidikan adalah kondisi keluarga dan lingkungan. Maka dari itu, peran yang
paling sesuai guna memegang tali kendali ini adalah peran seorang ibu. Dimana,
seorang ibu memiliki waktu lebih banyak bersama anak di rumah dibanding seorang
ayah. Kendati demikian, ibu adalah satu-satunya orang yang paling mengerti
sifat anaknya. Seorang ibu yang mengandung, melahirkan, dan merawat anaknya
berperan untuk memberikan didikan yang terbaik untuk anaknya. Jika seorang ibu
telah menyibukkan diri berkelana kesana-kemari diluar kewajibannya, lalu siapa
lagi yang bersedia mendidik anaknya? dan jangan salahkan guru ngajinya
jika memang moral anaknya semakin memburuk setelah kian lama ia dididik sekalipun
di lingkungan pesantren.
Lalu,
bagaimana mungkin akan tercipta generasi unggul yang bijak dalam menghadapi
tantangan hidup, jika sosok ibu yang diharapkan ada disampingnya selalu sibuk
dengan urusan kantor dan pekerjaan, bagaimana mungkin seorang ibu akan bisa
mencetak sosok-sosok yang tangguh, jika hari-hari seorang ibu harus berkutat
dengan teman kerja dan mesin-mesin pabrik daripada dengan suami dan
anak-anaknya.
1 comments:
Bismillah. Ini postigan yang sangat bermanfaat, akhi. ijin re-post .. :)
Posting Komentar