Minggu, 17 Juni 2012

METODE PENCARIAN ‘ILLAT ( MASALIK AL-‘ILLAT )*


Gambar naskah asli coretan penulis dalam kitab Ghayatul Wushul karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori



Dear : Teman-teman seperjuangan duf’ah 15
Di :
Istana Ruang Belajar
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Qiyas tidak akan dapat dijalankan sebelum ada sifat yang menyatukan antara ashl dan far’. Adanya sifat dalam teks nash tidaklah cukup untuk memvonis sebagai ‘illat, akan tetapi perlu adanya legalitas dari Syaari’ (pemegang otoritas  syari’at, Allah SWT dan rasul-Nya).
Dalam menginventarisir masaalik al-‘illat ini, para ulama’ melontarkan beragam sumber ataupun metode. Ada yang mengatakan sepuluh macam, ada pula yang mengatakan tidak sampai sebanyak itu. Pro kontra juga masih terjadi dalam kandungan masing-masing personalnya. Namun, dari kesekian masaalik al-‘illat  itu, secara umum dapat dikerucutkan dalam tiga macam masaalik al-‘illat,  yakni nash, ijma’, dan istinbath (metode pencarian dari selain nash  dan ijma’).
1.      Nash (Al-Quran dan Al-Hadist)
Dalam pemilahan masalik al-‘illat dalam nash, terdapat perbedaan cara pandang. Sebagian ulama’ membaginya dalam dua model penunjukan :
- nash  menunjukkan secara eksplisit (shariih), maksudnya dalam penunjukkan tidak dibutuhkan lagi pemikiran dan istidlal (pencarian bukti), bersifat pasti (qathi’) ataupun sekedar dugaan (zhanni). Namun ada pula ulama’ yang mengharuskan qathi’.
- nash menunjukkan secara implisit (ghair shariih), termasuk isyarat (iimaa’) atau peringatan (tanbiih).
            Adapula yang membaginya menjadi tiga, dengan menjadikan isyarat dan peringatan dalam kategori masaalik al-‘illat yang mandiri sebagaimana termaktub dalam kitab Ghayatul Wushul ilaa Lubbil Ushuul .
*Eksplisit (Shariih).
Penunjuk secara eksplisit dari nash terbagi dalam dua dimensi, qath’i dan zhanni :
a.       Qath’i (pasti)
Secara berurutan sesuai kadar kekuatan penunjukannya, bentuk-bentuk tekstual nash yang menunjukkan ‘illat secara shariih sekaligus qhat’i adalah:
-         Lafadz لعلة كذا  (karena alasan demikian) ataupun   لسبب كذا (karena sebab demikian.
-         Lafadz من أجل كذا  (oleh karena).
-         Lafadz كي  (supaya) ataupun كي لا (supaya tidak), dan juga إذن.


b.      Zhanni (asumtif)
Secara berurutan, huruf-huruf tersebut adalah:
-         Huruf لام (Laam)
-     Huruf أن (An), dengan terbaca fathaah pada hamzah, dengan sukun (mati) pada nun-nya. Lafadz ini menggunakan arti kata لأجل (li ajli) yang berarti “dengan maksud”, jadi fi’il mustaqbal yang jatuh setelah an menjadi ‘illat dari lafadz sebelumnya.
-     باء (ba’), Al-Zarkasyi mensyaratkan ba’ bisa berfungsi sebagai ta’liil bila layak menempati posisi laam.
-         إن (inna), dengan dibaca kasrah pada hamzah-nya dan sukun pada nun-nya.

*Implisit (Ghair al-shariih).
Yang dimaksud nash menunjukkan ‘illat secara implisit adalah bilamana nash tidak secara langsung menunjukkan ‘illat, akan tetapi perlu adanya suatu qariinah (indikasi) untuk mengarahkan suatu sifat yang terkandung dalam nash tersebut menjadi ‘illat. Dalam artian, nash tersebut tidak secara jelas menunjukkan ‘illat, akan tetapi hanya dengan isyarat dan peringatan               (إيماء و تنبيها). Hal ini terjadi jika ditemukan qariinah yang menjadikan nash  tersebut menunjukkan ‘illat. Diantara indikasi-indikasi (qariinah) tersebut adalah:
(1)   Sebuah hukum muncul sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah saw. Sebagaimana jawaban rasulullah saw atas kejadian yang menimpa orang badui :"أعتق رقبة" . Ungkapan rasul tersebut menunjukkan bahwa hubungan badan adalah ‘illat dari hukuman untuk memerdekakan budak.
(2)    Menggantungkan hukum atas ‘illat dengan fa’ ta’qiib (fa’ yang menunjukkan arti beriringan). Sebagaimana firman Allah SWT : (والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما).
(3)   Hukum ketika bersamaan dengan sifat yang munaasib (serasi). Contohnya adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: (لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان).
(4)   Membedakan hukum dengan perbedaan sifat. Hal ini juga juga bisa dijadikan jalan untuk menemukan ‘illat dari suatu nash. Penyebutan dua hukum dan sifat yang berbeda adakalanya secara bersamaan seperti sabda nabi yang berbunyi: (للراجل سهم وللفارس سهمان). Dan adakalanya dengan menyebutkan salah satunya saja sebagaimana sabda nabi: (القاتل لا يرث).
2.      Ijma’
Dalam memposisikan ijma’ sebagai metode pencarian ‘illat para ulama’ berbeda pandangan. Ibn al-Haajib, al-Zarkasyi, dan Syaikhul Islam  memilih untuk mendahulukan ijma’ daripada nash, dengan dalih bahwasannya ijma’ adalah salah satu faktor tarjiih (preferensi) dan merupakan alternatif pertama saat terjadi kontradiksi diantara dalil-dalil nash. Terlebih lagi kecil kemungkinan ijma’ dapat direvisi (naskh). Sedangkan al-Baidlhawi memilih mendahulukan nash daripada ijma’, dengan alas an bahwa nash adalah sumber sandaran bagi ijma’. Selain itu, dalil nash lebih mulia dan utama dibanding dalil-dalil lain.

3.      Al-Taqsiim wa al-Sabru
Al-Taqsiim adalah pengakomodiran seorang mujtahid terhadap semua sifat yang terkandung didalam ashl yang disinyalir pantas dan layak untuk diplot sebagai ‘illat  hukum ashl. Sedangkan al-sabru adalah observasi seorang mujtahid untuk menentukan satu dari sekian banyak sifat yang terkandung dalam ashl  yang berhasil diinventarisir, dengan cara membuang semua sifat yang dinilai tidak layak dijadikan ‘illat  dengan berpedoman pada dalil-dalil yang bisa menguatkannya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa al-taqsiim wa al-sabru  secara istilah adalah pengakomodiran mujtahid terhadap semua sifat yang disinyalir layak sebagai ‘illat  hukum ashl  kemudian dengan berpedoman pada syarat-syarat ‘illat, mujtahid mengkaji serta meneliti satu persatu dari sifat-sifat tersebut, yang pada akhirnya sang mujtahid menetapkan satu sifat yang dianggap paling tepat untuk dijadikan ‘illat dan membuang sifat-sifat yang dianggap tidak tepat. Praktek definisi di atas adalah seperti ungkapan mujtahid, “Setelah saya mengakomodir semua sifat yang layak kemudian mengkaji serta meneliti satu persatu sejauh kemampuan dengan tetap berpegang pada syarat-syarat ‘illat, ternyata hanya sifat inilah yang pantas dan paling tepat untuk diplot menjadi ‘illat”.
Ada dua macam model peringkasan  dan pembatalan sifat (al-taqsiim wa al-sabru) yang dilakukan mujtahid, yakni qath’i  dan zhanni. Qath’i (pasti) dalam arti, akal dapat memastikan bahwa tidak ada ‘illat lain selain sifat terpilih yang layak untuk dijadikan ‘illat, seperti menetapkan sifat shighar dalam permasalahan kewenangan ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang belum dewasa. Sedangkan zhanni (dugaan), dalam arti penentuan mujtahid terhadap salah satu sifat tersebut belum sampai batas qathi’ sehingga masih ada peluang bagi mujtahid lain untuk berbeda kesimpulan dengannya, seperti dalam penentuan ‘illat harta ribawi.
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari pembahasan al-taqsiim wa al-sabru  adalah mengenai cara pembersihan sifat-sifat yang dinilai tidak relevan dan layak untuk diplot sebagai ‘illat. Dan saat melakukan sweeping terhadap sifat-sifat yang dinilai sesuai untuk hukum ashl. Dalam hal ini, ada dua langkah yang bisa ditempuh oleh para mujtahid, yakni al-ilghaa’, dan al-thardiyyah.
*Al-Ilghaa’ (pembatalan)
Sewaktu melakukan identifikasi terhadap sejumlah sifat, mujtahid menemukan sifat bahwa yang akan dijadikan ‘illat tersebut ternyata telah dinonfungsikan atau tidak dijadikan pijakan oleh ketetapan hukum yang telah ada, alias hukum syara’ bisa ditetapkan tanpa memperhitungkan sifat tersebut. Jadi, sifat tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap hukum. Seperti kalangan Hanafiyyah yang menganggap sifat shighar sebagai sebab tetapnya kekuasaan ayah dalam menikahkan anak gadisnya yang masih kecil, dengan tendensi bahwa untuk menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa, seorang ayah masih diperintahkan meminta izin anaknya terlebih dahulu.
*Al-Thardiyyah (pembuangan)
  Al-Thardiyyah adalah Pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak dianggap oleh Syaari’ yang dapat mempengaruhi penetapan hukum syara’. Jalan pembersihan sifat dengan menggunakan system ini ada dua macam:
(1)   Tidak diperhitungkan secara mutlak, yakni pembuangan sifat yang menurut mujtahid sama sekali tidak diperhitungkan oleh Syaari’ dalam penetapan semua hukum syara’. Seperti sifat panjang dan pendek, hitam dan putih, dan lain sebagainya.
(2)   Tidak diperhitungkan secara khusus dalam hukum sedang dibahas. Yakni, pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak diperhitungkan Syaari’ dalam penetapan hukum pada kasus sejenis, kendati masih diperhitungkan dalam kasus lain. Seperti sifat gender (laki-laki dan perempuan) yang diperhitungkan Syaari’ dalam menetapkan hukum pembagian harta pusaka, persaksian, dan lain-lain.
*Tidak Nampak adanya munaasabah
Maksudnya adalah, bahwa dalam pandangan mujtahid, tidak nampak pada sifat yang akan dibuangnya, adanya munaasabah (keserasian) dengan hukum ashl yang dicarikan ‘illat-nya. Dalam menetapkan ada tidaknya munaasabah, mujtahid cukup menyatakan: “Setelah sifat ini saya kaji dengan teliti, ternyata tidak saya temukan adanya keserasian antara sifat ini dengan hukum yang saya bahas”. Mujtahid juga tidak diharuskan mengungkapkan bukti-butki ketidakserasian sifat tersebut, karena kecerdasan intelektual dan sifat adilnya cukup sebagai bukti atas kebenarannya.
4.      Tanqiih al-Manaath
Secara harfiah, tanqiih  berarti perbaikan, pemisahan dan pemurnian, sedangkan manaath  mempunyai arti sesuatu yang dijadikan hubungan atau persambungan (‘illat). Dalam terminologi ushul fiqh, terdapat dua versi
dalam mendefinisikannya:
-         Pembersihan hukum dari sifat yang tidak patut untuk dijadikan ‘illat yang terdapat dalam nash yang zhaahir, dan hanya menetapkan satu sifat untuk diplot sebagai ‘illat dari hukum tersebut.
-         Sama seperti pengertian di atas, hanya saja kekhususan sifat yang telah diplot sebagai ‘illat tersebut diarahkan pada sifat keumumannya.
5.      Takhriij al-Manaath
Takhriij al-manaath  adalah pencurahan pikiran seorang mujtahid untuk mengeluarkan ‘illat hukum yang ditetapkan oleh nash ataupun ijma’. Dari definisi ini dapat diketahui bahwa fokus seorang mujtahid adalah mengeluarkan ‘illat yang masih tersembunyi dalam kandungan nash ataupun ijma’. Hal ini berbeda dengan tanqiih, karena dalam tanqiih, yang dilakukan oleh mujtahid adalah memperbaiki hukum yang ditetapkan nash, dan dari hukum tersebut daimbilnya sifat-sifat yang patut dijadikan ‘illat serta membuang sifat-sifat yang tidak patut dijadikan ‘illat.
 Takhriij al-manaath  bisa ditempuh dengan beragam cara dari berbagai metode pencarian ‘illat, seperti al-taqsiim wa al-sabru. Contohnya adalah penentuan sifat makanan (al-tha’m), sifat bisa ditimbang (al-kail), dan sifat makanan pokok (al-qut), sebagai ‘illat dari hukum keharaman riba dengan menggunakan metode al-taqsiim wa al-sabru.
Takhriij al-manaath  juga merupakan jembatan awal dan dasar dalam berijtihad dengan metode qiyas. Karena bermula dari situlah dikeluarkan sifat-sifat yang nantinya akan dijadikan ‘illat.
6.      Tahqiiq al-Manaath
Tahqiiq al-manaath adalah pencurahan daya pikiran guna mencari wujud ‘illat pada suatu kejadian atau kasus yang belum ada kejelasan hukumnya, dari nash  atau ijma’, untuk diqiyaskan pada kasus lain yang sudah ada kejelasannya dari nash atau ijma. Artinya, status ‘illat telah disepakati oleh para ulama’ dengan dalil nash ataupun ijma’, namun para ulama masih meneliti dengan seksama wujud ‘illat pada masalah-masalah yang masih dalam perdebatan para ulama’. Dari sini, ditemukan perbedaan antara takhriij al-manaath dengan tahqiiq al-manaath.  Bila takhriij al-manaath adalah penjelasan ‘illat dalam ashl, maka tahqiiq al-manaath adalah penetapan ‘illat dalam fari’.
7.      Al-Munaasib
Al-munasiib bisa juga disebut dengan ikhaalah (persangkaan) atau mazhinnah (praduga), karena adanya keserasian sifat dengan hukum bisa mendatangkan dugaan bahwa sifat itulah yang layak untuk dijadikan ‘illat. Menurut Ibn al-Haajib, al-munaasib adalah sifat yang jelas dan terbatasi, yang secara rasio, dengan persambungan hukum dengan sifat tersebut akan tercapailah tujuan pensyari’atan, berupa menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan.
Namun, jika sifat tersebut samar atau tidak bisa dibatasi, maka yang dianggap ‘illat adalah mulaazim (sesuatu yang selalu menetap) dari sifat tersebut, yang nampak jelas dan terbatasi. Seperti safar (bepergian) yang merupakan salah satu hal yang menimbulkan masyaqqah (kesulitan). Pada asalnya, yang menimbulkan keringanan (rukhshah) adalah masyaqqah itu sendiri. Akan tetapi, karena masyaqqah tidak bisa terbatasi karena perbedaan standar penilaian dari masing-masing individu, kondisi, dan masa, maka disandarkanlah hukum rukhshah tersebut pada sesuatu yang diduga menimbulkan masyaqqah, yaitu bepergian (safar).
Selanjutnya, dimensi tercapainya hikmah atau tujuan pensyari’atan dalam suatu kasus, diklasifikasikan para ulama’ dalam empat bentuk :
-         Secara yakin, sebagaimana dalam transaksi jual beli, yang mana hikmah dibalik pensyari’atannya adalah untuk mendapatkan kepemilikan secara sah.
-         Secara dugaan, seperti ditetapkannya hukum qishaash (balasan yang setara), yang mana hikmahnya adalah untuk mencegah terjadinya pembunuhan serta melindungi nyawa manusia. Hanya saja, hikmah ini masih bersifat praduga.
-         Seimbang antara pasti dan dugaan, seperti hikmah ditetapkannya hukuman cambuk bagi peminum arak dengan tujuan menjaga akal dan mencegah orang meminum arak.
-         Tingkat ketiadaan pencapaiannya lebih tinggi daripada tercapainya, sebagaimana dalam menikahi perempuan mandul (aayisah). Padahal, telah diketahui bersama, bahwa hikmah disyariatkan nikah adalah untuk meneruskan keturunan, dan tentu saja, kemungkinan besar hal ini tidak akan tercapai dengan menikahi perempuan mandul.
*Stratifikasi al-Munaasib.
            Selanjutnya, bila dilihat dari sisi pensyariatan berbagai hukum, al-munasib terbagi dalam beberapa strata:
1.      Al-dlaruuri, yakni sesuatu yang sangat dibutuhkan sampai batas darurat (untuk menghindari dari kesulitan) diluar batas kewajaran.
2.      Al-haajiy, yakni sesuatu yang dibutuhkan yang tidak sampai batas darurat.
3.      Al-tahsiiniy, yakni sesuatu yang dinilai baik menurut adat, namun tidak begitu dibutuhkan, bila ditinggalkan tidak ada kesulitan atau bahaya, tetapi jika dilakukan akan ada kemanfaatannya (lebih pantas).
*Relevansi al-munaasib dengan nash atau ijma’
            Jika ditinjau dari segi relevansinya dengan nash atau ijma’, al-munaasib terbagi menjadi beberapa macam:
1.      Al-Munaasib Al-Mu’atstsir
Yaitu suatu sifat yang serasi, yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum atas dasar kesesuaian dengan sifatnya, dan nash ataupun ijma’ telah menetapkan bahwa diri sifat tersebut dianggap sebagai ‘illat bagi hukum.
2.      Al-Munaasib Al-Mulaa’im
Adalah suatu sifat yang serasi, yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan keseuaian dengan sifat tersebut, dan nash ataupun ijma’ tidak menetapkan bahwa diri sifat tersebut dianggap sebagai ‘illat oleh nash ataupun ijma’. Disaat sifat yang munasib tersebut sesuai dengan ketiga alternatif ini, maka penetapan ‘illat dengan sifat tersebut dianggap sesuai dengan prosedur pensyariatan. Ketiga alternatif tersebut adalah:
-         nash ataupun ijma’ menganggap diri sifat tersebut (‘ain al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum yang sejenis dengan hukum yang telah ditetapkan atas dasar kesesuaian dengan sifat tersebut (jins al-hukm).
-         nash ataupun ijma’ menganggap sifat sejenisnya (jins al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum itu sendiri, bukan hukum sejenisnya (‘ain al-hukm).
-         nash ataupaun ijma’ menganggap sifat sejenisnya (jins al-washf) sebagai ‘illat bagi hukum yang masih sejenis dengan hukum yang telah ditetapkan atas dasar kecocokan dengan sifat (jins al-hukm).  
Karena begitu luas cakupan ketiga alternatif diatas, maka keberadaan al-munaasib al-ghariib sebagaimana telah diklaim oleh sebagian ulama ahli ushul, tidak pernah ditemukan wujudnya.
3.      Al-Munaasib Al-Mursal
Al-munaasib al-mursal, atau bisaa diistilahkan dengan al-mashlahah al-mursalah, adalah suatu sifat yang mana Syaari’ dalam menetapkan suatu hukum bukan atas dasar kecocokan dengan sifat tersebut, dan juga tidak ditemukan dalil syara’ baik yang menganggap sifat tersebut maupun yang mengabaikannya.
4.      Al-Munaasib AL-Mulghaa
Yaitu suatu sifat yang menjadi pangkal tolak pengidentifikasian kemashlahatan yang merupakan dasar-dasar penetapan hukum, namun Syaari’ mengabaikan atau menolak keselarasan sifat tersebut dalam menetapkan hukum bukan atas dasar keserasian dengan sifat tersebut. Juga Syaari’ telah menetapkan tereliminasinya sifat tersebut.

8.      Al-Dawaraan
Al-dawaran (perputaran) adalah tetapnya suatu hukum dengan sebab adanya suatu sifat, dan tidak wujudnya hukum tersebut juga disebabkan tidak ditemukannya sifat itu pada hukum, atau dalam arti lain, keberadaan hukum berbanding lurus dengan keberadaan suatu sifat.
Para ulama berbeda persepsi mengenai penunjukkan dawaraan atas ‘illat dari sebuah hokum, apakah secara pasti ataukah hanya perkiraan saja, atau justru tidak bisa menunjukkan pada ‘illat sama sekali? Dalam hal ini, Syaikhul Islam mempreferensikan (men-tarjih) pendapat yang kedua, yaitu menunjukkan ‘illat secara perkiraan saja (zhanniy).

9.      Al-Syabah
Al-Subuki dalam Jam’ al-jawami’  berpendapat, tidak ada batasan yang paling tepat untuk mendefinisikan al-syabah. Namun definisi yang paling mendekati kebenaran adalah definisi versi Abu Bakar al-Baqillani yang juga dijadikan sebagai definisi oleh Wahbah al-Zuhailiy, yaitu suatu sifat yang tidak mempunyai keserasian sama sekali dengan hukum. Namun, oleh Syaari’ sifat tersebut dijadikan sebagai ‘illat pada sebagian hukum (kasus) yang lain.
Pendefisian tersebut akan menjadi jelas dalam contoh yang dikomentarkan Imam Al-Syafi’I, “Bersuci (thahaaroh) dilakukan untuk mendirikan shalat”. Maka, dengan berpegangan pada komentar ini, tidak boleh bersuci selain dengan air, sebagaimana bersuci dari hadats karena adanya titik temu dari keduanya berupa thahaaroh. Akan tetapi, setelah dikaji secara mendalam, tenyata tidak ditemukan keserasian antara hukum thahaaroh dan kekhususan memakai air. Hanya saja, pada sebagian kasus yang lain, seperti shalat dan thawaf, Syaari’ sendiri sudah menegaskan bahwa keberadaan sifat tersebut diperhitungkan sebagai ‘illat. Berangkat dari sinilah timbul suatu dugaan kuat bahwa sifat tersebut mempunyai keserasian dengan hukum yang ada. 
10. Ilghaa’ al-Faariq
Ilghaa’ al-faariq adalah mengabaikan perbedaan antara far’ dan ashl, dalam arti, hukum far’ bisa langsung ditentukan ketika far’ diqiyaskan pada ashl tanpa memandang sisi yang membedakan keduanya. Seperti dalam menyamakan amat (budak perempuan) dengan ‘abd (budak laki-laki) dalam hukum sirayah (penjalaran sifat  merdeka pada seluruh bagian diri tatkala sebagian dirinya dimerdekakan). Ini tercermin dalam hadits : 
"من أعتق شركا له في عبد ، فكان له مال يبلغ ثمن العبد قُوّم قيمة عدل ، فأعطى شركاءه حصصهم وعتق عليه العبد ، وإلا فقد عتق منه ما عتق". (متفق عليه)
Hal yang membedakan antara amat dan ‘abd hanyalah jenis kelamin saja, sedangkan dalam hukum sirayah, perbedaaan jenis kelamin bukanlah penghalang dalam menyamakan hukum keduanya. Al-Syaukani dalam Irsyadul al-Fuhuul-nya menyebut ilghaa’ al-faariq dengan istilah tanqiih al-manaath.
11. Al-Thardu
Banyak sekali perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama’ dalam pendefinisian dan status kehujjahan al-thardu. Namun yang dimaksud dengan al-thardu disini adalah, bahwa ‘illat hukum tidaklah sesuai (munaasib) dan berpengaruh (al-muatstsir). Perlu juga ditegaskan, perbedaaan antara al-thardu dengan al-dawaran. Al-thardu merupakan kebersamaan antara hukum dan ‘illat dalam keberadaannya saja. Artinya, jika salah satu dari keduanya ada, maka yang lain juga ada, namun jika salah satu dari keduanya tidak ada, belum tentu yang lain juga tidak ada. Sedangkan al-dawaraan adalah suatu bentuk kebersamaan antara hukum dan ‘illat, baik dalam keberadaannya maupun tidak.

Semoga Bermanfaat !!
-Wallahu A’lam –
*)Diketik ulang dan diringkas oleh penulis dari buku “KILAS BALIK TEORITIS FIQH ISLAM” oleh Forum Karya Ilmiah (FKI) Purna Siswa 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur, cetakan keempat, Januari 2008.

0 comments:

Posting Komentar

 
;