Gambar naskah asli coretan penulis dalam kitab Ghayatul Wushul karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori |
Dear : Teman-teman seperjuangan duf’ah 15
Di :
Istana Ruang Belajar
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Qiyas tidak akan dapat dijalankan sebelum ada sifat yang menyatukan antara ashl dan far’. Adanya sifat dalam teks nash tidaklah cukup untuk memvonis sebagai ‘illat, akan tetapi perlu adanya legalitas dari Syaari’ (pemegang otoritas syari’at, Allah SWT dan rasul-Nya).
Dalam menginventarisir masaalik al-‘illat ini, para ulama’ melontarkan beragam sumber ataupun metode. Ada yang mengatakan sepuluh macam, ada pula yang mengatakan tidak sampai sebanyak itu. Pro kontra juga masih terjadi dalam kandungan masing-masing personalnya. Namun, dari kesekian masaalik al-‘illat itu, secara umum dapat dikerucutkan dalam tiga macam masaalik al-‘illat, yakni nash, ijma’, dan istinbath (metode pencarian dari selain nash dan ijma’).
1. Nash (Al-Quran dan Al-Hadist)
Dalam pemilahan masalik al-‘illat dalam nash, terdapat perbedaan cara pandang. Sebagian ulama’ membaginya dalam dua model penunjukan :
- nash menunjukkan secara eksplisit (shariih), maksudnya dalam penunjukkan tidak dibutuhkan lagi pemikiran dan istidlal (pencarian bukti), bersifat pasti (qathi’) ataupun sekedar dugaan (zhanni). Namun ada pula ulama’ yang mengharuskan qathi’.
- nash menunjukkan secara implisit (ghair shariih), termasuk isyarat (iimaa’) atau peringatan (tanbiih).
Adapula yang membaginya menjadi tiga, dengan menjadikan isyarat dan peringatan dalam kategori masaalik al-‘illat yang mandiri sebagaimana termaktub dalam kitab Ghayatul Wushul ilaa Lubbil Ushuul .
*Eksplisit (Shariih).
Penunjuk secara eksplisit dari nash terbagi dalam dua dimensi, qath’i dan zhanni :
a. Qath’i (pasti)
Secara berurutan sesuai kadar kekuatan penunjukannya, bentuk-bentuk tekstual nash yang menunjukkan ‘illat secara shariih sekaligus qhat’i adalah:
- Lafadz لعلة كذا (karena alasan demikian) ataupun لسبب كذا (karena sebab demikian.
- Lafadz من أجل كذا (oleh karena).
- Lafadz كي (supaya) ataupun كي لا (supaya tidak), dan juga إذن.
b. Zhanni (asumtif)
Secara berurutan, huruf-huruf tersebut adalah:
- Huruf لام (Laam)
- Huruf أن (An), dengan terbaca fathaah pada hamzah, dengan sukun (mati) pada nun-nya. Lafadz ini menggunakan arti kata لأجل (li ajli) yang berarti “dengan maksud”, jadi fi’il mustaqbal yang jatuh setelah an menjadi ‘illat dari lafadz sebelumnya.
- باء (ba’), Al-Zarkasyi mensyaratkan ba’ bisa berfungsi sebagai ta’liil bila layak menempati posisi laam.
- إن (inna), dengan dibaca kasrah pada hamzah-nya dan sukun pada nun-nya.
*Implisit (Ghair al-shariih).
Yang dimaksud nash menunjukkan ‘illat secara implisit adalah bilamana nash tidak secara langsung menunjukkan ‘illat, akan tetapi perlu adanya suatu qariinah (indikasi) untuk mengarahkan suatu sifat yang terkandung dalam nash tersebut menjadi ‘illat. Dalam artian, nash tersebut tidak secara jelas menunjukkan ‘illat, akan tetapi hanya dengan isyarat dan peringatan (إيماء و تنبيها). Hal ini terjadi jika ditemukan qariinah yang menjadikan nash tersebut menunjukkan ‘illat. Diantara indikasi-indikasi (qariinah) tersebut adalah:
(1) Sebuah hukum muncul sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah saw. Sebagaimana jawaban rasulullah saw atas kejadian yang menimpa orang badui :"أعتق رقبة" . Ungkapan rasul tersebut menunjukkan bahwa hubungan badan adalah ‘illat dari hukuman untuk memerdekakan budak.
(2) Menggantungkan hukum atas ‘illat dengan fa’ ta’qiib (fa’ yang menunjukkan arti beriringan). Sebagaimana firman Allah SWT : (والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما).
(3) Hukum ketika bersamaan dengan sifat yang munaasib (serasi). Contohnya adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: (لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان).
(4) Membedakan hukum dengan perbedaan sifat. Hal ini juga juga bisa dijadikan jalan untuk menemukan ‘illat dari suatu nash. Penyebutan dua hukum dan sifat yang berbeda adakalanya secara bersamaan seperti sabda nabi yang berbunyi: (للراجل سهم وللفارس سهمان). Dan adakalanya dengan menyebutkan salah satunya saja sebagaimana sabda nabi: (القاتل لا يرث).
2. Ijma’
Dalam memposisikan ijma’ sebagai metode pencarian ‘illat para ulama’ berbeda pandangan. Ibn al-Haajib, al-Zarkasyi, dan Syaikhul Islam memilih untuk mendahulukan ijma’ daripada nash, dengan dalih bahwasannya ijma’ adalah salah satu faktor tarjiih (preferensi) dan merupakan alternatif pertama saat terjadi kontradiksi diantara dalil-dalil nash. Terlebih lagi kecil kemungkinan ijma’ dapat direvisi (naskh). Sedangkan al-Baidlhawi memilih mendahulukan nash daripada ijma’, dengan alas an bahwa nash adalah sumber sandaran bagi ijma’. Selain itu, dalil nash lebih mulia dan utama dibanding dalil-dalil lain.
3. Al-Taqsiim wa al-Sabru
Al-Taqsiim adalah pengakomodiran seorang mujtahid terhadap semua sifat yang terkandung didalam ashl yang disinyalir pantas dan layak untuk diplot sebagai ‘illat hukum ashl. Sedangkan al-sabru adalah observasi seorang mujtahid untuk menentukan satu dari sekian banyak sifat yang terkandung dalam ashl yang berhasil diinventarisir, dengan cara membuang semua sifat yang dinilai tidak layak dijadikan ‘illat dengan berpedoman pada dalil-dalil yang bisa menguatkannya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa al-taqsiim wa al-sabru secara istilah adalah pengakomodiran mujtahid terhadap semua sifat yang disinyalir layak sebagai ‘illat hukum ashl kemudian dengan berpedoman pada syarat-syarat ‘illat, mujtahid mengkaji serta meneliti satu persatu dari sifat-sifat tersebut, yang pada akhirnya sang mujtahid menetapkan satu sifat yang dianggap paling tepat untuk dijadikan ‘illat dan membuang sifat-sifat yang dianggap tidak tepat. Praktek definisi di atas adalah seperti ungkapan mujtahid, “Setelah saya mengakomodir semua sifat yang layak kemudian mengkaji serta meneliti satu persatu sejauh kemampuan dengan tetap berpegang pada syarat-syarat ‘illat, ternyata hanya sifat inilah yang pantas dan paling tepat untuk diplot menjadi ‘illat”.
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari pembahasan al-taqsiim wa al-sabru adalah mengenai cara pembersihan sifat-sifat yang dinilai tidak relevan dan layak untuk diplot sebagai ‘illat. Dan saat melakukan sweeping terhadap sifat-sifat yang dinilai sesuai untuk hukum ashl. Dalam hal ini, ada dua langkah yang bisa ditempuh oleh para mujtahid, yakni al-ilghaa’, dan al-thardiyyah.
*Al-Ilghaa’ (pembatalan)
Sewaktu melakukan identifikasi terhadap sejumlah sifat, mujtahid menemukan sifat bahwa yang akan dijadikan ‘illat tersebut ternyata telah dinonfungsikan atau tidak dijadikan pijakan oleh ketetapan hukum yang telah ada, alias hukum syara’ bisa ditetapkan tanpa memperhitungkan sifat tersebut. Jadi, sifat tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap hukum. Seperti kalangan Hanafiyyah yang menganggap sifat shighar sebagai sebab tetapnya kekuasaan ayah dalam menikahkan anak gadisnya yang masih kecil, dengan tendensi bahwa untuk menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa, seorang ayah masih diperintahkan meminta izin anaknya terlebih dahulu.
*Al-Thardiyyah (pembuangan)
Al-Thardiyyah adalah Pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak dianggap oleh Syaari’ yang dapat mempengaruhi penetapan hukum syara’. Jalan pembersihan sifat dengan menggunakan system ini ada dua macam:
(1) Tidak diperhitungkan secara mutlak, yakni pembuangan sifat yang menurut mujtahid sama sekali tidak diperhitungkan oleh Syaari’ dalam penetapan semua hukum syara’. Seperti sifat panjang dan pendek, hitam dan putih, dan lain sebagainya.
(2) Tidak diperhitungkan secara khusus dalam hukum sedang dibahas. Yakni, pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak diperhitungkan Syaari’ dalam penetapan hukum pada kasus sejenis, kendati masih diperhitungkan dalam kasus lain. Seperti sifat gender (laki-laki dan perempuan) yang diperhitungkan Syaari’ dalam menetapkan hukum pembagian harta pusaka, persaksian, dan lain-lain.
*Tidak Nampak adanya munaasabah
Maksudnya adalah, bahwa dalam pandangan mujtahid, tidak nampak pada sifat yang akan dibuangnya, adanya munaasabah (keserasian) dengan hukum ashl yang dicarikan ‘illat-nya. Dalam menetapkan ada tidaknya munaasabah, mujtahid cukup menyatakan: “Setelah sifat ini saya kaji dengan teliti, ternyata tidak saya temukan adanya keserasian antara sifat ini dengan hukum yang saya bahas”. Mujtahid juga tidak diharuskan mengungkapkan bukti-butki ketidakserasian sifat tersebut, karena kecerdasan intelektual dan sifat adilnya cukup sebagai bukti atas kebenarannya.
4. Tanqiih al-Manaath
Secara harfiah, tanqiih berarti perbaikan, pemisahan dan pemurnian, sedangkan manaath mempunyai arti sesuatu yang dijadikan hubungan atau persambungan (‘illat). Dalam terminologi ushul fiqh, terdapat dua versi