Berawal dari obrolan ringan di whatsapp, akhirnya kami putuskan untuk berangkat ke wadi Do'an, tujuan kami adalah kawasan puncak Bugshan. Pasalnya, pemandangan alam wadi Do’an yang khas, menjadi gaya tarik tersendiri diantara wadi-wadi lain di Hadhramaut. Disamping juga buminya para wali dan salafussalihin, wadi Do’an juga dikenal dengan sebutan Arabia Paradise. Oase wadi Do’an yang khas, pepohonan kurma yang tingginya hampir tiga kali lipat dari jenis kurma biasa, tanah hijau yang subur, dan gaya rumah penduduk unik yang seperti pahatan gedung di kaki gunung, menjadi magnet bagi para pendatang khususnya para pelancong asing. Tidak hanya itu saja, salah satu penghasilan paling terkenal dari wadi ini adalah dari madunya. Kualitas madu Do’an sudah tak diragukan lagi keunggulannya di kancah dunia. Tak heran, jika harga satu kilogram-nya bisa mencapai $100.
Meski tak
satu pun diantara kami yang tahu arah jalan, tak peduli siapapun orangnya; orang
tua, anak kecil, anak muda, penjual toko, penjaga masjid, sampai pelayan pom
bensin pun tak segan-segan kami tanyai. Yang menjadi kendala bukan jaraknya yang
jauh, tapi mobil sedan sewaan yang kami pakai. Perihal banyak polisi tidur
dengan ketinggian diatas normal, mobil sedan yang kami pakai sesekali berjalan
sangat lambat jika ingin melewatinya. Tidak hanya satu, bahkan kami pun tak
sempat menghitung berapa banyak jumlahnya. Terkadang, beberapa diantara kami
harus rela turun karena takut akan merusak bagian bawah mobil. Tidak jarang
terdengar suara benturan antara aspal dan bagian bawah mobil. Tidak hanya dari
dalam, orang-orang sekitar kami pun juga ikut mendengar.
Sebelum
sampai ke wadi Do’an, terlebih dulu kami melewati kota Syibam. Kota yang
dikenal dengan sebutan Manhattan of Dessert ini, merupakan kota tua yang
sudah ada sejak lebih dari 5 abad yang lalu.
Kota Syibam juga masuk dalam daftar warisan pusaka dunia oleh UNESCO. Bentuk
kota ini sangatlah unik. Terdiri dari rumah penduduk yang berbentuk seperti
kumpulan gedung pencakar langit yang menjulang, pagar benteng yang mengelilingi
kota, gerbang masuk utama menuju jantung kota, dan saluran air yang mampu
mengalirkan air dalam skala yang besar sewaktu hujan turun. Dan yang lebih
menariknya, kesemuanya itu terbuat dari tanah, tiangnya dari batang pohon kurma
dan atapnya dari ranting kurma dan pohon bidara.
Tidak jauh dari wadi Do’an, sebelum kami
sampai, terlebih dulu kami harus melewati Al Hajarein. Kota yang akan selalu
memikat siapa saja yang melihatnya. Al Hajarein merupakan salah satu kota tua
di Hadhramaut. Pemandangan kota yang tak kalah menariknya dengan kota Syibam
dan kota lainnya. Kami pun tak sabar bergegas turun dari mobil untuk
mengabadikan kenangan dengan foto bersama. Dari Al Hajarein inilah, Umru Al
Qaes dilahirkan. Seorang raja penyair Arab yang sangat masyhur dan kondang,
siapa yang tak mengenalnya?
Meski
begitu lamanya kami di jalan, kami pun tak sempat berhenti hanya untuk makan
siang. Rasa capek, letih, lesu , lapar serasa hilang ketika kami akhirnya
sampai di wadi Do’an sebelum akhirnya sampai juga di puncak Bugshan. Tak
terasa, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan. Sudah 5 jam lebih, waktu
kami habiskan di jalan. Padahal, umumnya jarak sejauh ini bisa ditempuh hanya
dalam waktu kurang dari 3 jam perjalanan saja.
Dari atas
puncak, terlihat pemandangan alam di sekitar kawasan kheilah Bugshan.
Pemandangan alam yang sangat mengagumkan. Melihat rumah-rumah tanah yang masih
kokoh berdiri di atas bukit kecil dipinggir mulut wadi. Seolah rumah-rumah itu menjadi
satu dengan bukit, menyerupai pahatan batu di kaki wadi. Ditengah-tengah wadi,
tumbuh hijau-hijauan pohon kurma dan diantara pepohonan itu terlihat jalan
aliran air yang mengering yang ditandai dengan kumpulan batuan kerikil putih.
Jika dilihat dari atas, batu-batu itu membentuk pola yang sangat menarik.
Menyerupài garisan putih bercorak kehijauan seakan menyisir dan membelah perut wadi.
Tidak
sampai disitu, begitu kami sampai, cuaca berubah menjadi mendung gelap, angin
sepoi-sepoi berubah jadi kencang, tanda hujan mau turun. Dan akhirnya, beberapa
menit kemudian turunlah hujan. Dari atas, dari kejauhan terlihat arah datangnya
air hujan. Sampai air turun ke perut wadi dan mengalir diantara hijauan pohon
kurma. Batu-batu yang tadinya terlihat putih mengkilap, berubah menjadi putih
kecoklatan. Warna bukit dan rumah-rumah yang tadinya terlihat kering
kecoklatan, berubah jadi basah kehitam-hitaman. Lubang-lubang tanah yang
tadinya terlihat curam menganga, kini terisi dengan air segar. Hujan yang cukup
lebat membasahi kawasan wadi dan perbukitan. Menyaksikan kejadian alam ini,
seakan-akan kedatangan kami disambut ramah oleh alam.
Sudah
bukan hal baru lagi, jika sudah turun hujan, jalan penghubung antar lembah wadi
yang satu dengan yang lain pasti akan terputus. Aliran arus air yang deras,
seakan menghentikan aktivitas para pengguna sarana transportasi darat. Hingga
air hujan dan batu-batu yang ikut terseret berubah surut. Namun, hal ini bukan
lagi menjadi masalah bagi masyarakat wadi Do'an. Justru di saat momen seperti
inilah mereka merasa terhibur dan bersyukur. Tanah yang tadinya kering disaat
musim dingin, kini berubah jadi gambut dan berair. Air guna menyirami sawah dan
pepohonan yang tadinya susah payah menggali sumur dan membeli diesel, kini jadi
melimpah. Maka tak heran, ketika hujan reda, banyak orang-orang yang datang
berbondong-bondong ke perut wadi guna mencuci karpet rumah, mobil, motor dan
sesekali terlihat banyak anak kecil bermain air dan mandi disana.
Jika
dilihat dari bawah sana, disaat hujan turun, akan terlihat seperti air terjun
raksasa. Karena pada hakikatnya, geomorfologi wadi Do'an khususnya, dan wadi
Hadramaut umumnya, adalah sebuah tanah berbatu yang terpisah membentuk seperti
retakan besar dan curam. Dan luas retakan itu sampai bisa dihuni oleh
rumah-rumah penduduk dan ditumbuhi pepohonan dan cocok untuk kawasan pertanian.
Jika naik ke atas, yang terlihat bukan puncak yang mengerucut, namun hamparan
tanah tandus nan datar, luasnya tak kurang lebih dari luas permukaan bawah.
Subhanallah.. Maha Suci Allah, Pencipta langit,
bumi dan seisinya.
Hujan
turun sangat deras, sejak jam lima sore tadi hingga menjelang malam hari.
Jalanan putus, deras arus air yang memotong jalan tak mungkin surut di malam
hari. Karena tak memungkinkan untuk pulang, kami akhirnya bergegas menuju ke
sebuah penginapan. Di kawasan bugshan, ada dua macam penginapan. Pertama,
letaknya di bawah, tepatnya ada di dekat istana (Qashr) Bugshan, dan yang kedua
ada di atas wadi. Karena kebetulan posisi kami ada di atas, dan rasanya kondisi
jalanan yang lincin tidak mengizinkan kami untuk turun, akhirnya kami pilih penginapan
yang ada di atas. Setelah dapat kamar, kami bergegas menurunkan perkakas dapur
dan perbekalan makanan yang sudah kami siapkan sebelum naik ke atas. Karena
kami berangkat mendadak, persiapan kurang lengkap. Terpaksa harus pinjam
alat-alat dapur dan meminimalisir pemakaian. Karena, bila sudah berada di atas,
tak mudah bagi kami menemukan pasar, tempat pengisian bensin, toko, bahkan warung.
Jarang sekali ditemukan kehidupan di atas wadi. Jika ingin membeli bahan
makanan, kami harus terlebih dahulu turun.
Bunyi
rintik hujan diiringi suara angina sepoi-sepoi semakin lama semakin surut, lain
halnya dengan perut kami yang dari tadi makin lama makin berdentuman. Wajar,
jikalau dari tadi siang kami tak sempat rehat untuk makan siang di jalan.
Bahkan, saya sendiri tak sempat sarapan. Alhamdulillah, untungnya pagi tadi
saya sempatkan untuk makan biskuit dan minum susu sapi segar. Meski lapar, namun
tak seberapa. Tapi, saya lebih bersyukur lagi karena tidak ada dari kami yang
saling menyalahkan. Semua saling bahu membahu. Susah-senang, gembira-derita
perjalanan ini kami rasakan bersama-sama.
Malam
itu, menu makanan yang kami masak sangatlah sederhana. Tanpa lama menunggu,
akhirnya selesai juga pekerjaan masak-memasak. Ditemani ringkikan suara
jangkrik dan rintikan hujan yang saling berirama, kami makan satu nampan di
teras kamar. Hembusan angin semilir menambah ketenangan suasana. Angin mengalir
dari luar teras menuju bilik kamar. Jendela dan pintu kami biarkan terbuka.
Korden kamar yang tergantung dibalik pintu dibiarkan terurai berombak. Dan
Alhamdulillah, sebelum hujan reda, kami sudah terlebih dahulu selesai makan. Dalam
hati saya bergumam, “Wajar saja, karena kami semua memang sama laparnya, hehe”.
Me on gallery :