Senin, 25 November 2013 0 comments

Catatan Emas Untuk Sahabat (Sisi lain hari raya di Kampung Jauh)




Merayakan Hari Raya ‘Îed memang tak sepenuhnya menyenangkan bila tidak bersama sanak famili. Itulah fenomena yang dialami oleh diriku dan sebagian teman-teman seperjuanganku. Rasa ingin meramaikan hari yang diistimewakan oleh Allah swt. sedikit pupus jika sudah membayangkan sanak famili dan kerabat saling melepas kerinduan di kampung halaman. Mungkin banyak yang tidak mempedulikan hal itu. Ada yang tetap menampakkan wajah bahagianya meski sedikit terbebani. Ada pula yang masih berlagak seperti halnya di hari-hari biasa.



Seperti biasa, tidak seperti Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha nampaknya hanya diramaikan dengan hidangan menu-menu makanan bertemakan daging. Acara pemotongan hewan kurban hampir-hampir kasat mata. Tidak seperti suasana di kampung halaman, jangankan potong sapi, ritual potong ayam pun mudah ditemukan dan ditonton tanpa harus mencari papan pengumuman lokasi penyembelihannya.
Mungkin cerita yang sering kudengar ketika dulu masih duduk di bangku SMP itu sedikit ada benarnya, bahwa suasana perayaan Hari Idul Adha di negeri Arab itu lebih ramai dan meriah jika dibandingkan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitrinya. Akan tetapi, kebenaran cerita itu lebih tepatnya adalah penggambaran suasana di tanah suci. Keramaian tersebut sudah bisa dirasakan jauh hari sebelum hari H, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah. Dimulai dari aktivitas para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia bersatu-padu berada dalam satu tempat suci di Padang Arafah. Kemudian setelah waktu Maghrib tiba, mereka berbondong-bondong menuju satu tempat tujuan ke Muzdalifah. Lalu ketika fajar menyongsong, tepatnya seusai shalat Subuh, mereka bergegas menuju ke Mina untuk melempar jumroh, dan berikutnya melakukan thawaf dan Sa’i di Masjidil Haram. Disamping itu, gema suara talbiyah senantiasa mengiringi derap langkah kaki para jamaah haji, seakan menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya. Seiring perkembangan alat komukiasi modern, pemandangan luar biasa ini dapat disaksikan langsung oleh orang-orang di seluruh dunia yang dipancarkan di berbagai chanel televisi dan berita berskala internasional. Mungkin keramaian yang dimaksud dalam cerita yang terekam dalam memori ingatanku itu adalah keramaian ini, bukan keramaian yang sekarang sedang kualami dan kurasakan sendiri.
Kebahagiaan dan keramaian di Hari ‘Îed jadi lebih pupus lagi, setelah tadi pagi seusai Sang Khotib menyampaikan khutbahnya, aku terperanjat kaget mendengar kata penutup khutbahnya, “Bagi yang ingin pulang, silakan. Namun, telah ada di depan kalian jenazah orang mukmin, mari bersama-sama kita menyalatinya”. Aku sedikit tidak mempercayainya ternyata di depan shaf terdapat keranda mayat berkain hijau bertuliskan kalimat syahadat, spontan aku berucap, “Innâ lillâhi wa Innâ Ilaihi Râji’ûn”.
Seusai shalat jenazah, seperti biasa, lalu-lalang orang-orang memadati area parkir. Anak-anak perempuan kecil imut dihiasi seperti boneka, bergerombol sambil membawa pernak-pernik mainan kesana-kemari sembari ayahnya memegangi tangannya. Sekilas aku gemas melihat centilnya anak-anak kecil itu, namun sesekali aku membayangkan tingkah lucu adikku yang masih kecil dan imut. Aku merasa sedang ditemani adik kecilku kala suasana hatiku sedang merana kesepian.
Barangkali, sisi lain merayakan hari raya sudah semestinya aku rasakan. Tidak terus-menerus harus bersama sanak keluarga. Itu pun hanya kualami baru beberapa tahun ini. Tidak harus merasa kehilangan dan kesepian. Karena hal yang sama juga dirasakan oleh teman-teman seperjuanganku. Mereka selalu menjadi pelipur lara di saat hati sedang gundah-gelisah. Mereka juga selalu menjadi tempat berbagi cerita dan bertukar pikiran bila kekalutan tengah menghampiri pikiran. Pada akhirnya, sahabat-sahabatku inilah menjadi pelengkap kebahagiaanku di hari ini. Terima kasih sahabatku.

Kamis, 12 September 2013 0 comments

Restorasi Sistem Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Berkarakter (Bag.II)


2.3 Pentingnya Pendidikan Karakter
            Munculnya gagasan program pendidikan karakter di negeri kita, dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan. Diantaranya, yang paling dominan adalah permasalahan sosial yang timbul dari kurangnya pendidikan moral. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasa belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Banyak yang menyebut, pendidikan bangsa kita telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional mengupayakan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari mulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai di Perguruan Tinggi (PT). Prof. Muhammad Nuh, selaku Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dalam pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010), memaparkan tentang pentingnya pendidikan karakter dalam rangka turut mensukseskan amanat Undang-Undang dan harapan bangsa Indonesia. Karena, dengan adanya pendidikan karakter tersebut, para generasi penerus mampu membangun kepribadian bangsa. Menurutnya, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Sebab, jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang[1].
Lalu, harus bagaimanakah sikap negara dalam mengupayakan pembentukan karakter bangsa ini? Adian Husain dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab”, memaparkan bahwa gagasan yang dibawa oleh Rasulullah Saw dalam membina karakter masyarakat Madinah sangatlah sesuai jika diterapkan di Indonesia. Bahkan, menurutnya, gagasan ini mampu diterapkan di berbagai model masyarakat, suku, ras dan bangsa. Pasalnya, nilai-nilai Islam dalam pandangan pemeluknya, diyakini sebagai pembentuk karakter sekaligus menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin nabi Muhamamd Saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural.
Namun, menurutnya, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing, tambahnya.
Adian menilai berbagai program pendidikan dan pengajaran pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil yang optimal. Karena, pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman menjadi faktor penghalang utama dalam proses pembentukan karakter pada diri anak didik. Dalam realitanya, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal,  aspek keteladanan dan percontohan menjadi pendorong utama dalam membentuk karakternya. Program pendidikan karakter sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!, tegasnya.
Lanjutnya, Ia sangat menyayangkan praktek komersial yang terjadi di Indonesia dalam hal menyiasati kebijakan dan peraturan. Ia mencontohkan beberapa kasus yang sudah tak asing lagi terdengar di telinga kita. Seperti Ide UAN, kelihatannya bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Dan lagi, kebijakan sertifikasi guru, kelihatannya bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu. Jelas sekali perbuatan semacam ini dapat membunuh karakter generasi bangsa. Apalagi, sampai dibudidayakan[1].
Dalam bukunya yang berjudul “Pribadi” (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul:

”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain daripada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”

Kiranya, cukup jelas bahwa pendidikan karakter dinilai sangat penting dalam membangun pribadi bangsa ini. Oleh karena itu, pemerintah harus terus mengupayakan pencanangan program pendidikan karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional yang komprehensif dan kompatibel. Terlebih, mendukung segala upaya dan terobosan dari para pendidik yang cerdas dan kompeten. Sehingga pendidikan nasional tak hanya diterapkan di bangku kelas, melainkan diterapkan dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara.  
2.4 Pencanangan Megaproyek Pendidikan Keluarga
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 7 pada bagian kedua mengenai Hak dan Kewajiban Orang Tua, tertera ketetapan sebagai berikut :
  1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
  2. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Husain Muhammad Yusuf dalam bukunya “Ahdâf al-Usrah Fil Islâm” menjelaskan, bahwa keluarga adalah batu pertama dalam membangun negara. Menurutnya, sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya. Penghargaan Islam terhadap keluarga sangatlah tinggi. Betapa tidak, keluarga adalah unit yang paling mendasar diantara unit-unit pembangunan negara. Di antara fungsi besar dalam keluarga adalah fungsi edukatif (tarbiyah). Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila ada kesalahan dalam pendidikan awalnya, maka peluang akan terjadinya berbagai penyimpangan di masa mendatang pada anak akan semakin tinggi. Oleh kerena itu, pada dasarnya, Islam menjadikan pendidikan sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Abdul Ala' al-Maududi Ulama asal Pakistan, mengartikan kata tarbiyah sebagai mendidik dan memberikan perhatian.
Setidaknya ada empat unsur penting dalam pendidikan keluarga. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah obyek didik. Kedua, mengembangkan bakat dan potensi obyek sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ketiga, mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Keempat, seluruh proses tersebut dilakukan secara bertahap. Keempat unsur tersebut menunjukan pentingnya peran pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga akan membentuk karakter kepribadian anggotanya dan akan mewarnai masyarakatnya. Singkatnya, keluarga merupakan laboratorium mini peradaban suatu bangsa. Abdullah Nâsih Ulwan dalam bukunya “Tarbiyatul Awlâd Fil Islâm”, menjelaskan bahwa ada 7 macam pendidikan integratif yang harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga untuk mendidik anggota keluarga untuk menjadi hamba Allah yang taat dan mampu mencetak kepribadian unggul berkarakter. Ketujuh pendidikan tersebut adalah:
  1. Pendidikan Iman. Pendidikan Iman merupakan pendidikan utama yang berperan sebagai pondasi kokoh bagi semua jenis substansi pendidikan.
  2. Pendidikan Moral. Pendidikan moral ini akan menjadi bingkai kehidupan manusia setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Disaat budaya masyarakat menyebabkan degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi signifikan manfaatnya.
  3. Pendidikan Psikis. Pendidikan ini membentuk berbagai karakter positif kejiwaan seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimis dan lain sebagainya. Karakter akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya.
  4. Pendidikan Fisik. Pendidikan ini menjadi benteng jasmani keluarga. Dalam keluarga, tumbuh kembang seorang anak terpantau. Gaya hidup sehat dapat dibangun dalam keluarga, seperti mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, serta berolahraga. Proses ini sangat penting dalam menyiapkan kekuatan fisik agar tubuh menjadi sehat dan kuat.
  5. Pendidikan Intelektual. Pendidikan ini harus diterapkan dalam keluarga sejak dini. Karena peradaban masa depan suatu bangsa akan bergantung pada kapasitas intelektual generasi mudanya. Tentunya, anggota keluarga harus memiliki kecerdasan yang memadai karena mereka akan mengahadapi arus persaingan di era globalisasi saat ini. Peran sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat.
  6. Pendidikan Seksual. Pendidikan ini diperlukan untuk membangun kesadaran anggota keluarga terhadap peran dan tanggung jawabnya berdasarkan jenis kelamin; laki-laki dan perempuan. Selain pengajaran tentang kesadaran peran tersebut, juga perlu ditekankan tentang pengetahuan, sikap dan perilaku yang benar dalam permasalahan kesehatan reproduksi. Bukan hanya kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki yang sudah menginjak usia dewasa, tentang tata cara bersuci dan kewajiban mandi besar dalam konsep ilmu fikih.
  7. Pendidikan Politik. Dalam keluarga, pendidikan ini juga diperlukan untuk membangun kesadaran dan membangun kemampuan anggota keluarga dalam menyikapi berbagai persoalan politik yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat[1].
Dan berikut adalah upaya yang dapat dilakukan pemimpin rumah tangga dalam menyusun proyek dalam keluarga untuk mewujudkan terlaksananya pendidikan keluarga melalui cara sebagai berikut:
1.      Mengalokasikan waktu guna membangun rencana strategis keluarga, yang dibagi dalam tujuh proyek sosialisasi keluarga untuk jangka waktu tertentu.
2.      Membuat turunan dari rencana tersebut untuk program tahunannya. Dan tidak lupa untuk menunjuk penanggungjawab setiap program. Sosialisasikanlah kepada pihak-pihak terkait , seperti pembantu, keluarga yang tinggal serumah.
3.      Melakukan evaluasi dan masukan bagi perbaikan pelaksana program selanjutnya.
Selanjutnya, peran negara adalah turut mensukseskan megaproyek pendidikan keluarga ini dengan cara mensosialisasikannya dalam gagasan sistem pendidikan nasional. Dengan begitu, pesan amanat yang termaktub dalam pembukaan alinea ke-IV yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta membangun generasi bangsa Indonesia berkarakter, dapat tercapai dengan maksimal.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
  1. Pendidikan adalah proses pengawalan terhadap perkembangan pemikiran, moral, akhlak dan diri. Pendidikan bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Acuan utama bukan kelulusan semata, namun karakter anak didik juga perlu perhatian intensif.
  2. Muncul stigma di tengah masyarakat bahwa Pendidikan Nasional dianggap gagal. Salah satu solusi efektif memperbaiki Sistem Pendidikan Nasional kita adalah dengan cara merestorasi nilai-nilai yang terkandung dalam ketetapan Undang-Undang; tujuan, peran dan fungsi.
  3. Memahami pesan amanat alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945, pemerintah harus serius dalam menangani masalah pendidikan. Segala kebijakan harus dipertimbangkan secara proporsional.
  4. Sistem Pendidikan Nasional harus sesuai dengan Pasal 31 Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
  5. Upaya pemerintah dalam pencangan Program Pendidikan Karakter juga harus diimbangi dengan sistem pendidikan yang komprehensif. Bangsa ini perlu belajar banyak tentang gagasan Rasulullah Saw dalam membina karakter masyarakat Madinah. Gagasan ini sangat sesuai dengan corak kemajemukan masyarakat Indonesia.
  6. Pendidikan karakter  memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
  7. Perhatian lebih dari negara terhadap pendidikan keluarga. Karena keluarga adalah lingkungan pertama dimana manusia hidup dan mendapatkan bimbingan. Dalam keluarga tumbuh berbagai bakat, terbentuk pemikiran, dan remaja beraktivitas dalam keluarga. Keluarga adalah institusi pendidikan utama membentuk dan membentuk generasi. Wa Allahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahannya. Madinah Munawwarah: Mujamma' al-Mâlik Fahd li Thibâ'at al-Mushȟaf al-Syarîf.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amendemen Ke-IV)

UU RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang, “Sistem Pendidikan Nasional”, Lembaran Negara RI No. 4301.

Peraturan Mendikbud RI Nomor 3 Tahun 2013. Tentang, “Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional”, Berita Negara RI Tahun 2013 Nomor 107.

Al Kilâniy, Mâjid ‘Arsân. 2009. Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Yordania: Dâr al-Fath.

Al-Ghazâlî, Muhammad. 2005. Ȟuqûq al-Insân baina Ta'âlîm al-Islâm wa I'lân al-Umam al-Muttaȟidah. Cet. Ke-4. Nahdhah Mishr.

Antara News. (15/4/2010). “Mendiknas: Penerapan Pendidikan Karakter Dimulai SD”, http://antaranews.com/berita/1273933824/mendiknas-penerapan-pendidikan-karakter-dimulai-sc.

Husaini, Adian. 2010. Pendidikan Islam:Membangun Manusia Berkarakter dan Beadab. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Malik, Abdul (HAMKA). 1982. Pribadi. Cetakan Ke-10. Jakarta: Bulan Bintang.

Syihab, Muhammad Quraisy. 1996. Wawasan Alquran. Cet. Ke-13. Jakarta: Penerbit Mizan.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Ulwan, Abdullah Nâsih. Tarbiyatul Awlâd. Kairo: Dâr al-Salâm.

Yusuf, Husain Muhammad. 1991. Ahdâf al-Usrah fi al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabi.

0 comments

Restorasi Sistem Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Berkarakter (Bag.I)


“… pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut malaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”
(Alinea Ke-IV Pembukaan UUD 1945)

Bab I
Mukadimah
Tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan dan fungsi dicanangkannya program Pendidikan Nasional. Salah satu tujuan utama pencanangan Sistem Pendidikan Nasional tersebut adalah mencetak pribadi bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Sedangkan fungsi daripada Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tersebut. 
Tertera pula dalam bab III pasal 4 mengenai enam prinsip yang menjadi pondasi pencanangan program Pendidikan Nasional. Salah satunya prinsipnya adalah pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak bersifat diskriminatif. Adapun upaya merealisasikannya, dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Dan lagi, Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Keputusan diselenggarakannya Pendidikan Nasional tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu, tujuan utama yang ingin dicapai dari upaya tersebut -sebagaimana yang tertera dalam pasal 31 ayat 3 UUD 1945, hasil amendemen ke-IV tahun 2002- yaitu guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mencetak pribadi bangsa yang berakhlak mulia.
Tentunya, kita tak ingin aturan yang tertera dalam ketetapan undang-undang tersebut hanya sebuah artefak linguistik belaka. Pasalnya, begitu banyak orang menilai Sistem Pendidikan Nasional kita dirasa kurang optimal dalam mencetak generasi bangsa yang berkarakter unggul. Bahkan, ada yang menilainya gagal. Terlebih, banyak instansi pendidikan yang sudah tidak percaya lagi dengan dedikasi negara. Mereka menganggap pendidikan di tanah air tak ubahnya seperti bisnis. Yang dicari hanya kepentingan materi. Akibatnya, Program Pendidikan Nasioanl semakin tidak terkontrol.
Untuk itu, perlu adanya penataan ulang sistem pendidikan kita guna mereaktualisasikan ketetapan undang-undang. Sebuah kebijakan yang konsisten pada tujuan, fungsi dan prinsip diberlakukannya Pendidikan Nasional itu sendiri. Sebuah kebijakan yang mampu merefleksikan substansi Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai agama, HAM dan moral. Tentunya, kita perlu memahami kembali isi dari ketetapan undang-undang tersebut. Stigma masyarakat mengenai pendidikan nasional harus secepatnya dihilangkan. Agar tidak berlarut-larut, solusi efektif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan cara pemugaran kembali wacana pendidikan kita agar tetap eksis sesuai harapan bangsa demi mencetak generasi Indonesia yang berkarakter, cerdas dan berbudi luhur.

Bab II
Pembahasan
2.1 Amanat Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945
Memahami amanat pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke empat, menjadi jelas bahwa tanggung jawab negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kata “cerdas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti sempurna perkembangan akal budinya, baik untuk berpikir dan mengerti. Sedangkan kata “Mencerdaskan” berarti mengusahakan agar sempurna akal budinya atau dalam arti lain usaha agar menjadi cerdas. Secara popular, kecerdasan kerap didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mempelajari dan menerapkan pengetahuan untuk mengendalikan lingkungan. Para ahli sepakat bahwa kecerdasan adalah kata yang memayungi berbagai kemampuan mental seperti kemampuan memecahkan masalah, pengetahuan umum, kreativitas, kemampuan menganalisis, serta kemampuan mengubah lingkungan saat ini.  Dengan definisi semacam ini, dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya, kecerdasan seseorang tidak harus diperoleh setelah melalui jenjang pendidikan tertentu. Untuk meraih kecerdasan, tidak harus bergelar doktor atau profesor.
Ada yang berpendapat bahwa faktor utama dalam menentukan cerdas dan tidaknya seseorang adalah  faktor GEN keturunan. Menurut mereka, kecerdasan adalah kemampuan belajar secara abstrak, dan kecerdasan itu merupakan sesuatu yang diwariskan dan tidak dapat berubah (Lewis Madison Terman, pakar psikologi asal AS). Namun, Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan seseorang itu cerdas bukan karena ibu atau bapaknya cerdas, tapi karena faktor penunjang lainnya. Tentunya, Allah SWT menganugerahi akal, pikiran, serta nurani pada diri manusia supaya mereka cerdas, yaitu cerdas dalam menyikapi realita kehidupan.
Berbeda dengan kata “pandai”, menurut KBBI, kata “pandai” memiliki arti cepat menangkap pelajaran dan mengerti sesuatu, pintar, cakap, mahir, dapat atau sanggup menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu, arti dari kata pandai tidak bisa kita samakan dengan arti kata cerdas. Karena masing-masing memiliki cakupan makna yang berbeda.
Menurut pengamatan hemat penulis, kepandaian seseorang terealisasi setelah melalui proses panjang dan terkesan prosedural. Kepandaian seseorang dapat diperoleh setelah melalui jenjang pendidikan tertentu. Untuk meraih kepandaian dalam bidang tertentu, ia harus menamatkan materi dalam bidang tersebut secara tuntas. Artinya, untuk mampu menguasai bidang C, ia harus melalui tahap A, tahap B. Sedangkan cerdas tidaklah demikian. Meski ia masih berada di tahap A, namun ia mampu menguasai tahap C tanpa harus melalui tahap B terlebih dahulu. Oleh karena itu, orang pandai belum tentu cerdas, namun orang cerdas sudah pasti pandai. Benar juga apa kata pepatah “Rajin Pangkal Pandai” bukan “Rajin Pangkal Cerdas”.
Banyak kritikan dari berbagai pihak mengenai penggunaan kata “mencerdaskan” yang termaktub dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa penggunaan kata tersebut kurang objektif, karena merealisasikan kecerdasan tidak semudah merealisasikan kepandaian.  Mencerdaskan individu saja sangat sulit, apalagi mencerdaskan kehidupan bangsa? Meski demikian, secara yuridis, Pembukaan UUD (preambule) berkedudukan lebih tinggi daripada UUD itu sendiri, karena ia berstatus sebagai pokok kaidah fundamental Negara Republik Indonesia. Sifatnya abadi dan tidak dapat diubah oleh siapapun walaupun oleh MPR ataupun dengan jalan hukum lainnya. Oleh karena itu, ia bersifat imperatif.
Hal tersebut dibuktikan bahwa dalam amandemen UUD NKRI tahun 1945 the second framers bersepakat untuk tidak mengubah pembukaan UUD. Karena  mengubah pembukaan UUD sama saja artinya dengan mengubah tujuan negara. Dalam kondisi tersebut berarti bahwa tujuan negara yang ada dalam pembukaan tidak mengalami pergeseran sedikit pun dari niat yang semula.
Terlepas dari validitas diksi pada Pembukaan UUD dalam alinea ke-IV tersebut, negara sebagai wadah bangsa mempunyai tanggung jawab besar dalam hal mengemban pendidikan nasional yang dinilai mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah keharusan bagi negara untuk melaksanakan amanat tersebut. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus digalakkan dan didukung oleh semua pihak. Mengingat, bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang kaya akan SDA-nya, namun bangsa yang kuat adalah bangsa yang kaya akan kecerdasan SDM-nya.

2.2 Dedikasi Negara dalam Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wujud implementasi dari tujuan negara tersebut salah satunya adalah melindung hak memperoleh pendidikan. Pendidikan adalah kebutuhan fitrah bagi setiap individu manusia guna melangsungkan kehidupannya, sehingga pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karenanya, negara sebagai regulator wajib menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan pemenuhan fasilitas pendidikan yang layak, memadai dan bermutu. Oleh karena pendidikan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap individu, maka persoalan pendidikan tidak dapat dianggap mudah. Dengan tidak terkelolanya pendidikan dengan baik, maka akan menimbulkan dampak permasalahan sosial yang serius bagi bangsa.
Upaya Pemerataan dalam pemenuhan pendidikan merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Dalam mengambil segala kebijakan, negara/pemerintah harus senantiasa mengacu pada tujuan utama guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan sampai dalih untuk pemerataan pendidikan harus mengorbankan tujuan tersebut, terutama terkait pelaksanaan program pendidikan dalam negeri berskala nasional. Dalam hal pendidikan, hendaknya keberadaan negara mampu menjadi regulator yang baik dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan amanat pasal 31 ayat 3 UUD 1945 hasil amendemen yang ke-IV tahun 2002, bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Salah satu bentuk pilihan yang dilakukan oleh pemerintahan dalam pemerataan pendidikan itu adalah dengan mengundangkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini menggantikan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak relevan serta perlu adanya penyempurnaan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, akankah Undang-Undang yang baru ini dipahami secara secara mendalam oleh para petinggi negara, dan pendidik bangsa, sehingga cita-cita luhur memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat terwujud dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara??
Dalam ranah teori, pendidikan dan pengajaran memiliki arti yang saling berbeda. Pengajaran hanya sekedar proses transformasi ilmu dari pengajar kepada yang diajar (transfer of knowledge) tanpa harus memperhatikan dampak dari ilmu itu sendiri. Sedangkan pendidikan adalah proses pengawalan terhadap perkembangan pemikiran, moral, akhlak dan diri. Artinya, pendidikan lebih luas cakupannya daripada pengajaran karena pendidikan mencakup intelektual dan moralitas.
Oleh Karena itu, pemerintah harus senantiasa mempertimbangkan segala kebijakan program pendidikan. Dalam hal ini, penulis hanya ingin memaparkan dua poin terpenting yang harus diketahui bersama, baik pemerintah maupun nonpemerintah:
Poin Pertama, tujuan Program Pendidikan Nasional, guna meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia.
Hal ini, mengacu pada isi UUD 1945 hasil amendemen ke-IV pasal 31 ayat 3. Disitu tertulis “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Ketakwaan, keimanan dan akhlak mulia memiliki korelasi yang kuat dengan substansi keilmuan seseorang. Tiga sifat tersebut merupakan cermin sikap patuh terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kapasitas ilmu yang ia miliki. Semakin tinggi keilmuan seseorang, semakin besar pula ketakwaan dan keimanannya. Firman Allah SWT dalam surah Fathir,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya adalah ulama” (QS. Fathir [35]: 28)
Bertendensi pada isi pesan surah Al ‘Ashr, Dr. M. Quraisy Syihab, dalam bukunya “Wawasan Al Quran” memaparkan bahwa keimanan seseorang dinilai belum cukup tanpa amal kebaikan. Bahkan, menurutnya, iman dan amal kebaikan saja belum dianggap cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal kebaikan dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak disertai keimanan[1].
Poin Kedua, memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Sebagaimana isi pasal 31 ayat 5. Dalam ayat tersebut tertera “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
            Agama dan persatuan bangsa merupakan cerminan ideologi Pancasila. Dalam hal kemajuan IPTEK pun tak lepas dari substansi ajaran agama. Agama memerintahkan kita untuk senantiasa membaca, menganalisa, mendalami, meneliti, bertafakur, dsb. atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini sebagai perantara untuk mengenal-Nya lebih dalam. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi”. (QS. Albaqarah [2]: 164)

Sabtu, 06 Juli 2013 1 comments

صيغة منتهى الجموع


بسم الله الرحمن الرحيم


          الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين سيدنا محمد بن عبد الله الأمين وعلى آله وأصحابه أجمعين. أما بعد، فإن هذا بُحيث يعبر فيه عن ما يدور في ذهني حول الموضوع المطروح. وقد كتبت موضوعا عاما عن صيغة منتهى الجموع. وسأحاول أن أجمعه باختصار تحت عناوين صغرى كالتالي :
أولا: تعريف "منتهى الجموع"
          هو كل جمع كان بعد ألف تكسيره حرفان، أو ثلاثة أحرف وسطها ساكن([1]). وقد تسمى أيضا الجمع الأقصى. وهناك شيء اسمه "شبه منتهى الجموع". تعريفه، ذكره في المعجم المفصل عن تعريف شبه منتهى الجموع تعريفَ الاصطلاحي، هو اسم يدل على واحد، وهو بصيغة من صيَغ منتهى الجموع، نحو : ((سراويل)) الذي يدل على مفرد وهو بمعنى ((السروال)).  وسميت بصيغة منتهى الجموع لانتهاء الجمع إليها، فلا يجوز أن يجمع بعدها مرة أخرى، بخلاف غيرها من الجموع فإنها قد تجمع، مثل : كلب، وأكلب وأكالب. ونَعْم وأنعام وأناعم.
قال الشيخ الرضى: ((وصيغة منتهى الجموع هي وزن غاية جموع التكسير؛ لأنه، يجمع الاسم جمع التكسير جمعاً بعد جمع فإذا وصل إلى هذا الوزن امتنع جمعه التكسير. وإنما قيدنا بغاية جمع التكسير؛لأنه لا يمتنع جمعه جمع السلامة، وإن لم يكن قياساً مطردا )) ([2])،ومثّل بقوله صلى الله عليه وسلم: ((انّكن صواحبات يوسف )) وقوله: جذب الصراريين بالكرور... يثانيها. فـ صراريين جمع صراء،وهو جمع صار بمعنى الملاح، فهما جمعا سلامة.
ثانيا: صيَغه
أما صيغه فكثيرة جدا، عددها علماء الصرف على تسعة عشر وزنا([3])، وهي:
-فَعالِيل كـ دنانير
-مَفاعِل كـ مساجد
-فَواعِيل كـ طواحين
-فَعالِي كـ تراق
-أفاعِل كـ أنامل
-مفَاعِيل كـ مصابيح
-فَيََاعِل كـ صيارف
-فُعالى كـ سكارى
-أفاعِيل كـ أضابير
-يَفاعِل كـ يحامد
-فياعِيل كـ دياجير
-فَعالِيُّ كـ كراسِيّ
-تفاعِل كـ تجارب
-يَفاعِيل كـ يحاميم
-فعائل كـ صحائف

-تفاعِيْل كـ تسابيح
-فَوَاعِل كـ خواتم
-فَعَالى كـ عذارى

وحاول علماء اللغة أن يجعلوها تحت قاعدة مطردة. قال شيخ الرضى في شرحه على الكافية: (( وضابط هذه الصيغة: أن يكون أولها مفتوحا، وثالثها ألفا وبعدها حرفان، أدغم أحدهما في الآخر، أو لا، كمساجد، ودواب، أو ثلاثة ساكنة الوسط، فلو فات هذه الصيغة لم تؤثر الجمعية، كما في حمر، وحسان، مع أن في كل واحد منهما الجمعية والصفة)).
واشترط في هذه الصيغة أن تكون بغير هاء. وذلك، احترازا عن نحو: ملائكة؛ لأنّ التاء تقرب اللفظ من وزن المفرد، نحو كراهية وطواعية وعلانية، فتكسر من قوة جمعيته، فلا يقوم مقام السببين، ولا سيما على مذهب من قال إنّ قيامه مقامهما لكونه لا نظير له في الآحاد، ولا يلزم منع ثمان ورباع وحزاب، وإن حصلت فيها صيغة منتهى الجموع؛ لأن هذه الصيغة شرط السبب، والمؤثر هو المشروط مع الشرط([4]).
ثالثا: الفرق بين منتهى الجموع و جمع الجمع
          ويمكن أن نقول الفرق بينهما أن منتهى الجموع له صيغة معينة يقاس عليه، بينما جمع الجمع سماعيّ، فما ورد منه يُحفظ ولا يقاس عليه. ومما سُمع: بيت بُيوت بُيوتات، رَجُل رِجال رجالات، طريق طرق طرقات، عَطاء أَعْطية أَعْطِيات، فتْح فتوح فتوحات، فَيْض فُيوض فُيُوضات.
رابعا: المسائل المتعلقة بها
1-في باب التصغير؛ جواز التصحيح وقلب الواو ياء في الكلمة التي جمعت على صيغة منتهى الجموع.
يقال فيه أن الواو الواقعة بعد ياء التصغير -التي لا تحذف - لا يخلوا إما أن تكون لاماً أو غير لام، فاللام تقلب ياء لا غير، تقول: غُزَيّ وعُرَيَّة في غَزْو وعُرْوة، وكذا غُزَيَّان وعُشَيَّاء وغُزَيَّيّة بياءين مشدّدتين، في تصغير غزوان وعشوا وغَزْويَّة منسوبة إلى الغزو وأما غير اللام فإن كانت ساكنة في المكبر فلابد من قلبها ياء، نحو عُجَيِّز وجُزَير في عَجوز  وجَزور، وإن كانت فيه متحركة أصليةً كانت كأسْوَد ومِزْوَد، أَو زائدة كَجَدْوَل فالأكثر القلب، ويجوز تركه كأسَيْوِد وجُدَيْوِل ، وذلك، لقوّة الواو المتحركة، وعدم كونها في الآخر هو محل التغيير، وكون ياء التصغير عارضة غير لازمة. قال شيخ الرضى الاسترابادي في شرحه على ابن حاجب :(( قال بعضهم: إنما جاز ذلك حملاً على التكسير، نحو جداول وأساود، ولو كان حملاً عليه لجاز في مقام ومقال مُقَيْوم ومُقَيْول كما في مقاول ومقاوم))([5]).
قال في الهامش تعليقا على قوله ((أسود وجدول)): ((أسود أصله صفة من السواد، وقد سمى به نوع الحيات وهو العظيم الذى فيه سواد وقد قالوا في مؤنثه أسودة وقالوا في مؤنث الصفة سوداء ولم يفرق المؤلف رحمه الله بين الصفة والاسم في جواز الوجهين - وهما التصحيح وقلب الواو ياء في التصغير -، والذي حكاه أبو الحسن الأشمونى في شرحه الى الالفية في باب الابدال أنه إن جمعت الكلمة على صيغة منتهى الجموع جاز فيها الوجهان في التصغير، وذلك كأسود الاسم وجدول فقد قيل في جمعهما أساود وجداول، وأما إن كانت الكلمة لم تجمع على هذه الزنة فليس فيها إلا الاعلال وذلك كأسود وأعور وأحول وأحور إذ جاء جمعها على فعل - بضم فسكون - وإنما أجاز الوجهين: أما الاعلال فلانه الاصل، وأما التصحيح فحملا للتصغير على التكسير، وإنما لم يفرق المؤلف هذا الفرق لانه جعل علة جواز التصحيح قوة الواو بالحركة. اهـ)).([6])
2-إلحاق صيغة منتهى الجموع بالتاء  
قد تلحق التاء صيغة منتهى الجموع: إمَّا عِوَضًا عن الياء المحذوفة، كقَنَادِلَة فى قناديل، وإمّا للدلالة على أن الْجمع للمنسوب لا للمنسوب إليه، كأشَاعِثَة وأزارِقَة ومَهَالِبَة، وفي جمع أَشْعَثي وأزرقيّ ومُهَلَّبِي، نسبة إلى أشعثَ وأزرقَ ومهلبَ، وإمّا لإلحاق الجمع بالمفرد، كصَيَارِفة وصيَاقِلة، جمع صَيْرَف وصَيْقل لإلحاقهما بطَواعية وكراهية، وبها يصير الجمع منصرفا بعد أن كان ممنوعًا من الصرف. وربما تلحق التاءُ بعضَ صيغ الجموع لتأكيد التأنيث اللاّحق له، كحجارة وغمومة وخُؤولة([7]).
3-في العدد؛ ابتداء العدد في صيغة منتهى الجموع      
كما قد عرفنا، أن جمع القلة يبتديء بالثلاثة وينتهي بالعشرة. وجمع الكثرة يبتديء بالثلاثة ولا نهاية له. ويستثنى من ذلك، صيغة منتهى الجموع، فإنها تبتديء بأحد عشر. وذلك، إنما هو فيما كان له جمع قلة وجمع كثرة. أما ما لم يكن له إلا جمع واحد ولو كان صيغة منتهى الجموع فهو يستعمل للقلة والكثرة. وذلك كرجال وأرجل وكتب وكتاب وأفئدة وأعناق وكواتب ومساجد وقناديل([8]). أما ما له جمع قلة وجمع كثرة، كأضلع وضلوع وأضالع فالعرب قد تستعمل اللفظ الموضوع للقليل في موضع الكثير. وإنّ الجموع قد يقع بعضها موضع بعض ويستغنى ببعضها.
4-خلاف العلماء في تنوين العوض، هل الإعلال مقدَّم على منع الصرف أو العكس؟
          كما قد عرفنا، أن أقسام التنوين أربعة، منها تنوين العوض. وقد اختلف العلماء فيه. يقال أنّ تنوين العوض وهو إما عوض عن حرف. وذلك تنوين نحو جوارٍ وغواشٍ،وذك التنوين عوض عن الياء المحذوفة في الرفع والجر، وهذا مذهب سيبويه والجمهور. وذلك، لما فيه من التقاء الساكنين. وقالوا أنّ الإعلال مقدَّم على منع الصرف لتعلق الإعلال بجوهر الكلمة بخلاف منع الصرف فإنه حال للكلمة. فأصل جوارٍ جواريُ بالضم، والتنوين استثقلت الضمة على الباء فحذفت ثم حذفت الياء لالتقاء الساكنين ثم حذف التنوين لوجود صيغة منتهى الجموع تقديرًا؛ لأنّ المحذوف لعلة كالثابت فخيف رجوع الياء لزوال الساكنين في غير المنصرف المستثقل لفظًا بكونه منقوصًا ومعنى بكونه فرعًا، فعوّضوا التنوين من الياء لينقطع طمع رجوعها، أو للتخفيف بناءً على حمل مذهبهم على تقديم منع الصرف على الإعلال: فأصله بعد منع صرفه جواري بإسقاط التنوين استثقلت الضمة على الياء فحذفت ثم حذفت الياء تخفيفًا، وعوّض عنها التنوين لئلا يكون في اللفظ إخلال بالصيغة.
ومقابل مذهب سيبويه والجمهور ما قاله المبرد والزجاج أنه عوض عن حركة الياء ومنع الصرف مقدّم على الإعلال فأصله بعد منع صرفه جواري بإسقاط التنوين استثقلت الضمة على الياء فحذفت وأتى بالتنوين عوضًا عنها ثم حذفت الياء لالتقاء الساكنين، وكذا يقال في حالة الجر على الأقوال الثلاثة. وإنما كانت الفتحة حال الجر على تقديم منع الصرف ثقيلة لنيابتها عن ثقيل وهو الكسرة([9]).
والله أعلم بالصواب

Jumat, 05 Juli 2013 0 comments

الأشعار المؤثرة في نفوس الأخيار


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين وخاتم النبيين سيدنا محمد الصادق الأمين وعلى آله الطيبين وصحابته المنتجبين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.  أما بعد، فهذا كتيب يبحث فيه عن الأشعار المؤثرة في النفوس. ونخص في هذا البحث عن تأثيراتها في ذات النبي صلى الله عليه وسلم وبقية الأصحاب الأخيار.
وكما قد عرفنا، أنّ رسول الله r ليس بشاعر ولا بكاهن ولا بساحر. وإنما هو رسول من عند الله تعالى، أرسله الله تعالى خاتم الأنبياء والمرسلين، ليدل الناس طريق السلام وصراط المستقيم. وأيّده الله تعالى بوحي ذي قيمة عظيمة مظهر صدق رسالته، ألا وهو القرآن الكريم.
فقد ورد في القرآن أنه يرد على المشركين على استنكارهم للإسلام مدعّما بأقوال شعرائهم، وينزل بحقهم آيات بينات تفضح مواقف شعرائهم الجهيلية. فقال تعالى: ]والشعراء يتبعهم الغاوون ألم تر أنهم في كل واد يهيمون وأنهم يقولون ما لا يفعلون[ [ الشعراء: 224-226].
وفي المقابل، لقد ظهر شعراء المسلمين حيث أسلموا بأسباب مختلفة، منها لاطلاعهم ولمعرفتهم دقائق أسلوب القرآن الكريم الذي ليس من كلام البشر. وما زال عندهم قدرة في إبداع أشعارهم ويغيرون بعض الأسلوب الذين كانوا يستألفون في إنشاء أشعارهم قبل إسلامهم. فجعل شعراء المدينة الشعر سلاحاً فعالاً فيه قيم إيجابية وردود عملية على تحدي المشركين، فنزلت بقية الآية تخفف من حدة إثم الشعر: ]إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وذكروا الله كثيراً وانتصروا من بعدما ظلموا وسيعلم الذين ظلموا أي منقلب ينقلبون[ [ الشعراء: 227]
وكان يقول: ((إنما الشعر كلام مؤلف، فما وافق الحق منه فهو حسن وما لم يوافق الحق منه فلا خير منه))  

أولا: تأثير الشعر في ذات النبي r
 فقد كان رسول r يريد أن يدخل الشعر في المعركة مع قريش وكان يقول: (( ما يمنع القوم([1])  الذي نصروا رسول الله بسلاحهم أن ينصروه بألسنتهم؟)) فقال حسان بن ثابت: أنا لها، وأخذ بطرف لسانه، وقال: ((والله ما يسرّني به مقول بين بصري وصنعاء))([2]) .
وكان رسول الله r يرى في بعض الشعر حكمة، ويرى في البيان الواضح منه سحراً يأخذ بالألباب، وكل هذا يدل على نفوذ الشعر في عصره. وكان بين يدي المسلمين آنذك، حسان بن ثابت([3]). وهو شاعر الرسول r، واللسان المبين للدعوة الإسلامية، الذي خلّد مواقفها في غرر شعره، وأبلى بلاءً حميداً في المنافحة عن رسول الله r، وهجاء أعدائه، حتى كانوا يستجيرون بالرسول عليه الصلاة والسلام من وقع هجائه ومضاء لسانه، وكان حسان أيضاً شاعر الأنصار في الجاهلية، وشاعر أهل اليمن في الإسلام.
وقد انبرى حسان منذ هجرة المصطفى r إلى المدينة للدفاع عن الإسلام وهجاء أعدائه، خاصة أولئك الشعراء من قريش الذين كانوا يهجون رسول الله صلى الله عليه وسلم.
فلما اشتد هجاؤهم لرسول الله r، قال رسول الله r:« مايمنع القوم الذين نصروا رسول الله بأسيافهم أن ينصروه بألسنتهم ؟» فقال حسان: أنا لها، وأخذ بطرف لسانه، فقال رسول الله r:«كيف تهجوهم وأنا منهم ؟» فقال حسان: يارسول الله لأسلنك منهم كما تُسلّ الشعرة من العجين، فسُرَّ الرسول r به، وأكرمه ودعا له: أن يؤيده الله بروح القدس، ووعده الجنة جزاء منافحته عنه، ونصب له منبراً في المسجد الشريف ليلقي من فوقه شعره .
وقد سجلت كتب الأدب والتاريخ الكثير من الأشعار التي ألقاها حسان في مسجد سيد الأولين والآخرين عليه أفضل الصلاة وأتم التسليم، وهي في هجاء الكفار ومعارضتهم، أو في مدح المسلمين ورثاء شهدائهم وأمواتهم.
فمن الأشعار التي يهجو بها شعراء المشركين قوله من قصيدة ينافح بها عن النبي r ويهجو سفيان بن الحارث بن عبدالمطلب الذي هجا الرسول صلى الله عليه وسلم:

ألا أبلغ أبا سفيان عني فأنت مجوف نخب هواء
*
بأن سيوفنا تركتك عبداً وعبد الدار سادتها الإماء
هجوت محمداً فأجبت عنه وعند الله في ذاك الجزاء
*
أتهجوه ولستَ له بكفءٍ فشركما لخيركما الفداء
هجوت مباركاً برّاً حنيفاً أمين الله شيمته الوفاء
*
فمن يهجورسول الله منكم ويمدحه وينصُره سواء
فإن أبي ووالده وعرضي لعرض محمد منكم وقاء
*
لساني صارم لاعيب فيه وبحري لاتكدره الدلاء([4]).

وربما أثّر الشعر في ذات الرسول r، فحمله على إصدار العفو عن الذين اتخذوا المواقف السلبية من الدعوة الجديدة، كما فعل مع كعب بن زهير. ومن هذا القبيل موقفه من قتيلة بنت النَّضر، فقد قتل النبي r أباها النّضر بن الحارث بن كلدة عقب معركة بدر، لشرّه وشدّة أذاه، فجاءته قتيلة فأسمعته([5]) :
أمُحَمَّدٌ ولأَنْتَ ضَنءُ نَجِيْبَةٍ


في قَوْمِها والفَحْل فحلٌ مُعْرِقُ

ما كانَ ضرَّكَ لو مننْتَ وربَّمَا


منّ الفتى وهو المغيظ المحنِقُ

فالنّضر أقربُ من تركْتَ قرابةً


وأحَقّهم إنْ كانَ عِتْقٌ يَعْتِقُ

معنى الأبيات:
1.  الضنء: الولد، والنجيبة: الكريمة، والمعرق: من له عرق في الكرم. والمعنى: يا محمد إن التي ولدتك كريمة قومها والذي ولدك سيد عريق في الكرم فأنت خلاصة شريفين.
2.  المعنى: إذا كنت كذلك فما كان يضرك لو مننت على أخي وأطلقته وليس هذا عيبا عليك إذ قد يعفو الفتى مع انطوائه على الغيظ والحنق.
3.    المعنى أن النضر أقرب الإسراء الذين أسرتهم إليك وأحقهم بالعتق إن وقع فكاك أو عتق([6]).

فرق لها الرسول r وبكى، وقال: ((لو بلغني شعرها قبل قتله ما قتلته)). ولكن، ليس معناه الندم؛ لأنه r لا يفعل إلاّ حقًّا. والظاهر، أنّ التأثير جاء من عند رسول الله من حيث هي فتاة فقدت معيلها ووالدها؛لأنّ الشعر- كما نرى- لا شيء فيه سوى الحديث عن مواقف يتخذها رؤساء القبائل في حروبهم، من عفو عند المقدرة، ومن كرم. وما كان رسول الله إلا نبيّاً رحيماً ليس إلا.
كذلك عفا النبي عن أسرى حنين من هوازن بشعر أبي جرول الجشمي وكان رئيس قومه، فوقف وهو بين الأسرى الذين أسرهم الرسول يوم حنين، وأنشده([7]) :
امْنِنْ علينَا رسول في حرم


فإنك المرء نرجوه وننتظر

امْنِنْ على نسوة قد كنتَ ترضعها


يا أرجحَ النّاسِ حِلماً حين يختبر

إنّا لنشكر للنعمى التي كفرت


وعندنا بعد هذا اليوم مدّخر

فلما سمع رسول الله r هذا الشعر قال : ((ما كان لي ولبني عبد المطلب فهو لكم)) فقالت القريش: ما كان لنا فهو لله ورسوله وقالت الأنصار:ما كان لنا فهو لله ولرسوله.

ثانيا: تأثيره في ذات عمر بن خطاب
ولعب الشعر الدور ذاته بعد الرسول r وفي أبرز مسائل العقيدة وفي ركن من أهم أركان الإسلام وهو الجهاد. فيحقق المخبّل السعدي غايته في استرداد ابنه شيبان الذي خرج مع سعد بن أبي وقاص إلى غزو فارس، وكان شيخاً مسناً ضعيفاً، فما برح يناديه ويتألم لفراقه ويدعوه للعودة ألماً عليه ووَجْداً، وحين لم يملك الصبر، مضى إلى الخليفة عمر، فأنشده([8]) :
أيهلكني شبيان في كلِّ ليلةٍ


لقلبي من خَوْف الفراق وجيبُ

ويخبرني شيبان أن لم يعفني


تعق إذا فارقتني وتحوبُ

فإن يك غصني أصبح اليوم بالياً


وغصنك من ماء الشباب رطيبُ

فإني حنت ظهري خطوب تتابعت


فمشي ضعيف في الرجال دبيبُ

أشيبان ما يدريك أن كلَّ ليلة


غبقتك فيها والغبوق حبيبُ

فأمر بأشخاصه إليه، وتأثر كثيراً فأمر بأن لا يغزو من له أب هرم إلا بعد أن يأذن لـه راضياً بهجرته. وعرف الشعراء نفوذ الشعر في عهد عمر، ففزع إليه أبو خراش الهذلي حين هاجر ابنه مع المجاهدين إلى الشام. فأنشده شعراً مؤثراً، فأمر برده عليه، وأصدر أمره السابق الذكر.

ثالثا: تأثيره في ذات علي كرم الله وجهه
وقد وقف أعرابي على عليّ بن أبي طالب، فقال: إن لي إليك حاجة رفعتها إلى الله قبل أن أرفعها إليك، فإن قضيتها حمدت الله تعالى وشكرتك، وإن لم تقضها حمدت الله تعالى وعذرتك. فقال له علي: خط حاجتك في الأرض فإني أرى الضرَّ عليك، فكتب الأعرابي على الأرض (إني فقير) فقال عليّ: يا قنبر، ادفع إليه حلتي الفلانية، فلما أخذها مثل بين يديه، فقال:
كسوتني حلّة تبلى محاسنها


فسوف أكسوكَ من حُسْن الثّنا حلَلا

إن الثّناء ليحي ذكرَ صاحبه


كالغيث يُحْي نداه السّهل والجبلا

لا تزهدِ الدَّهر في عرف بدأت به


فكلُّ عَبْدٍ سيُجْزى بالذي فعلا

فقال علي: يا قنبر أعطه خمسين ديناراً، أما الحلة فلمسألتك، وأما الدنانير فلأدبك، سمعت رسول الله r يقول: [انزلوا الناس منازلهم]([9]) .
ثم إنّ الثناء ليس إلاّ الإعلام ويكون في الإيجابي من الأمور. وهو في الشعر مقابل لوسائل الإعلام في عصرنا. فهي من أكثر الأمور نفعاً للمرء، فالصحف، والإذاعات، والرأي، والتصوير بأشكاله المتنوعة، في عالمنا المعاصر تعطي مردوداً إيجابياً لمن دارت حوله تلك الوسائل، إن كانت فيه تلك الصفات حقاً، وإلا فالمردود عكسي. ومردود تلك الوسائل لا يقل عن مردود الثناء الشعري الإيجابي عصرئذ. والله أعلم
 
;