2.3 Pentingnya Pendidikan Karakter
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di
negeri kita, dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan. Diantaranya, yang paling
dominan adalah permasalahan sosial yang timbul dari kurangnya pendidikan moral.
Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasa belum berhasil membangun
manusia Indonesia yang berkarakter. Banyak yang menyebut, pendidikan bangsa
kita telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam
menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Kucuran
anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan
sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar, yakni bagaimana mencetak
alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional dan berkarakter,
sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.
Pemerintah Indonesia, melalui
Kementerian Pendidikan Nasional mengupayakan penerapan pendidikan karakter
untuk semua tingkat pendidikan, dari mulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD)
sampai di Perguruan Tinggi (PT). Prof. Muhammad Nuh, selaku Menteri Pendidikan
Nasional (Mendiknas), dalam pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas
Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010), memaparkan tentang pentingnya
pendidikan karakter dalam rangka turut mensukseskan amanat Undang-Undang dan
harapan bangsa Indonesia. Karena, dengan adanya pendidikan karakter tersebut,
para generasi penerus mampu membangun kepribadian bangsa. Menurutnya, pembentukan
karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Sebab, jika karakter sudah terbentuk
sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang[1].
Lalu, harus bagaimanakah sikap negara
dalam mengupayakan pembentukan karakter bangsa ini? Adian Husain dalam bukunya
yang berjudul “Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab”, memaparkan
bahwa gagasan yang dibawa oleh Rasulullah Saw dalam membina karakter masyarakat
Madinah sangatlah sesuai jika diterapkan di Indonesia. Bahkan, menurutnya,
gagasan ini mampu diterapkan di berbagai model masyarakat, suku, ras dan bangsa.
Pasalnya, nilai-nilai Islam dalam pandangan pemeluknya, diyakini sebagai
pembentuk karakter sekaligus menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat
Madinah yang dipimpin nabi Muhamamd Saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam,
baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural.
Namun, menurutnya, dalam soal
pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan
Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap
nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung
jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan
tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi,
masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya
masing-masing, tambahnya.
Adian menilai berbagai program
pendidikan dan pengajaran pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti,
Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila
(PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai
hasil yang optimal. Karena, pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang
seriusnya aspek pengalaman menjadi faktor penghalang utama dalam proses
pembentukan karakter pada diri anak didik. Dalam realitanya, tidak ada contoh
dalam program itu! Padahal, aspek
keteladanan dan percontohan menjadi pendorong utama dalam membentuk
karakternya. Program pendidikan karakter sangat memerlukan contoh dan
keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!,
tegasnya.
Lanjutnya, Ia sangat menyayangkan
praktek komersial yang terjadi di Indonesia dalam hal menyiasati kebijakan dan
peraturan. Ia mencontohkan beberapa kasus yang sudah tak asing lagi terdengar
di telinga kita. Seperti Ide UAN, kelihatannya bagus! Tapi, di lapangan, banyak
yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan
pejabat dan orang tua. Dan lagi, kebijakan sertifikasi guru, kelihatannya bagus!
Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu
memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu. Jelas sekali perbuatan
semacam ini dapat membunuh karakter generasi bangsa. Apalagi, sampai
dibudidayakan[1].
Dalam bukunya yang berjudul “Pribadi” (Jakarta:
Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia
yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul:
”Banyak
guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan
diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia
bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya
untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita,
lain daripada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan
karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali
menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”
Kiranya, cukup jelas bahwa
pendidikan karakter dinilai sangat penting dalam membangun pribadi bangsa ini.
Oleh karena itu, pemerintah harus terus mengupayakan pencanangan program
pendidikan karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional yang komprehensif dan
kompatibel. Terlebih, mendukung segala upaya dan terobosan dari para pendidik
yang cerdas dan kompeten. Sehingga pendidikan nasional tak hanya diterapkan di
bangku kelas, melainkan diterapkan dalam realita kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2.4
Pencanangan Megaproyek Pendidikan Keluarga
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 7
pada bagian kedua mengenai Hak dan Kewajiban Orang Tua, tertera ketetapan
sebagai berikut :
- Orang tua berhak
berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi
tentang perkembangan pendidikan anaknya.
- Orang tua dari
anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya.
Husain Muhammad Yusuf dalam bukunya
“Ahdâf al-Usrah Fil Islâm” menjelaskan, bahwa keluarga adalah batu
pertama dalam membangun negara. Menurutnya, sejauh mana keluarga dalam suatu
negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu
pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam
masyarakatnya. Penghargaan Islam terhadap keluarga sangatlah tinggi. Betapa
tidak, keluarga adalah unit yang paling mendasar diantara unit-unit pembangunan
negara. Di antara fungsi besar dalam keluarga adalah fungsi edukatif (tarbiyah).
Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila ada kesalahan
dalam pendidikan awalnya, maka peluang akan terjadinya berbagai penyimpangan di
masa mendatang pada anak akan semakin tinggi. Oleh kerena itu, pada dasarnya,
Islam menjadikan pendidikan sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Abdul
Ala' al-Maududi Ulama asal Pakistan, mengartikan kata tarbiyah sebagai
mendidik dan memberikan perhatian.
Setidaknya ada empat unsur penting
dalam pendidikan keluarga. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah obyek didik.
Kedua, mengembangkan bakat dan potensi obyek sesuai dengan kemampuannya
masing-masing. Ketiga, mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai
kebaikan dan kesempurnaan. Keempat, seluruh proses tersebut dilakukan secara
bertahap. Keempat unsur tersebut menunjukan pentingnya peran pendidikan dalam
keluarga. Karena keluarga akan membentuk karakter kepribadian anggotanya dan akan
mewarnai masyarakatnya. Singkatnya, keluarga merupakan laboratorium mini
peradaban suatu bangsa. Abdullah Nâsih Ulwan dalam bukunya “Tarbiyatul Awlâd
Fil Islâm”, menjelaskan bahwa ada 7 macam pendidikan integratif yang harus
terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga untuk mendidik anggota keluarga
untuk menjadi hamba Allah yang taat dan mampu mencetak kepribadian unggul
berkarakter. Ketujuh pendidikan tersebut adalah:
- Pendidikan Iman.
Pendidikan Iman merupakan pendidikan utama yang berperan sebagai pondasi
kokoh bagi semua jenis substansi pendidikan.
- Pendidikan Moral.
Pendidikan moral ini akan menjadi bingkai kehidupan manusia setelah
memiliki landasan kokoh berupa iman. Disaat budaya masyarakat menyebabkan
degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga
menjadi signifikan manfaatnya.
- Pendidikan Psikis.
Pendidikan ini membentuk berbagai karakter positif kejiwaan seperti
keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimis dan lain
sebagainya. Karakter akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal
terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya.
- Pendidikan Fisik.
Pendidikan ini menjadi benteng jasmani keluarga. Dalam keluarga, tumbuh
kembang seorang anak terpantau. Gaya hidup sehat dapat dibangun dalam
keluarga, seperti mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, serta
berolahraga. Proses ini sangat penting dalam menyiapkan kekuatan fisik
agar tubuh menjadi sehat dan kuat.
- Pendidikan Intelektual.
Pendidikan ini harus diterapkan dalam keluarga sejak dini. Karena
peradaban masa depan suatu bangsa akan bergantung pada kapasitas
intelektual generasi mudanya. Tentunya, anggota keluarga harus memiliki
kecerdasan yang memadai karena mereka akan mengahadapi arus persaingan di
era globalisasi saat ini. Peran sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian
sosial anggota keluarga agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan
menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat.
- Pendidikan Seksual.
Pendidikan ini diperlukan untuk membangun kesadaran anggota keluarga
terhadap peran dan tanggung jawabnya berdasarkan jenis kelamin; laki-laki
dan perempuan. Selain pengajaran tentang kesadaran peran tersebut, juga
perlu ditekankan tentang pengetahuan, sikap dan perilaku yang benar dalam
permasalahan kesehatan reproduksi. Bukan hanya kepada anak perempuan, tetapi
juga kepada anak laki-laki yang sudah menginjak usia dewasa, tentang tata
cara bersuci dan kewajiban mandi besar dalam konsep ilmu fikih.
- Pendidikan Politik.
Dalam keluarga, pendidikan ini juga diperlukan untuk membangun kesadaran
dan membangun kemampuan anggota keluarga dalam menyikapi berbagai
persoalan politik yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat[1].
Dan berikut adalah upaya yang dapat
dilakukan pemimpin rumah tangga dalam menyusun proyek dalam keluarga untuk
mewujudkan terlaksananya pendidikan keluarga melalui cara sebagai berikut:
1. Mengalokasikan waktu guna membangun rencana strategis keluarga,
yang dibagi dalam tujuh proyek sosialisasi keluarga untuk jangka waktu tertentu.
2. Membuat turunan dari rencana tersebut untuk program tahunannya.
Dan tidak lupa untuk menunjuk penanggungjawab setiap program. Sosialisasikanlah
kepada pihak-pihak terkait , seperti pembantu, keluarga yang tinggal serumah.
3. Melakukan evaluasi dan masukan bagi perbaikan pelaksana program
selanjutnya.
Selanjutnya, peran negara adalah turut mensukseskan megaproyek
pendidikan keluarga ini dengan cara mensosialisasikannya dalam gagasan sistem
pendidikan nasional. Dengan begitu, pesan amanat yang termaktub dalam pembukaan
alinea ke-IV yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta membangun generasi
bangsa Indonesia berkarakter, dapat tercapai dengan maksimal.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
- Pendidikan adalah proses pengawalan terhadap
perkembangan pemikiran, moral, akhlak dan diri. Pendidikan bukanlah sebuah
proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Acuan
utama bukan kelulusan semata, namun karakter anak didik juga perlu
perhatian intensif.
- Muncul stigma di tengah
masyarakat bahwa Pendidikan Nasional dianggap gagal. Salah satu solusi
efektif memperbaiki Sistem Pendidikan Nasional kita adalah dengan cara merestorasi
nilai-nilai yang terkandung dalam ketetapan Undang-Undang; tujuan, peran
dan fungsi.
- Memahami pesan amanat alinea
ke-IV Pembukaan UUD 1945, pemerintah harus serius dalam menangani masalah
pendidikan. Segala kebijakan harus dipertimbangkan secara proporsional.
- Sistem Pendidikan Nasional harus sesuai dengan Pasal 31
Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang”.
- Upaya pemerintah dalam pencangan Program Pendidikan
Karakter juga harus diimbangi dengan sistem pendidikan yang komprehensif. Bangsa
ini perlu belajar banyak tentang gagasan Rasulullah Saw dalam membina
karakter masyarakat Madinah. Gagasan ini sangat sesuai dengan corak
kemajemukan masyarakat Indonesia.
- Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk
berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat
curang; malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter
tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan
proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
- Perhatian lebih dari negara terhadap
pendidikan keluarga. Karena keluarga adalah lingkungan pertama dimana
manusia hidup dan mendapatkan bimbingan. Dalam keluarga tumbuh berbagai
bakat, terbentuk pemikiran, dan remaja beraktivitas dalam keluarga.
Keluarga adalah institusi pendidikan utama membentuk dan membentuk
generasi. Wa Allahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an
dan Terjemahannya. Madinah Munawwarah: Mujamma' al-Mâlik
Fahd li Thibâ'at al-Mushȟaf
al-Syarîf.
Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amendemen Ke-IV)
UU
RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang, “Sistem Pendidikan Nasional”, Lembaran
Negara RI No. 4301.
Peraturan
Mendikbud RI Nomor 3 Tahun 2013. Tentang, “Kriteria Kelulusan Peserta Didik
dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan
Kesetaraan dan Ujian Nasional”, Berita Negara RI Tahun 2013 Nomor 107.
Al
Kilâniy, Mâjid ‘Arsân. 2009. Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyah.
Yordania: Dâr al-Fath.
Al-Ghazâlî,
Muhammad. 2005. Ȟuqûq
al-Insân baina Ta'âlîm al-Islâm wa I'lân al-Umam al-Muttaȟidah.
Cet. Ke-4. Nahdhah Mishr.
Antara
News. (15/4/2010). “Mendiknas: Penerapan Pendidikan Karakter Dimulai SD”,
http://antaranews.com/berita/1273933824/mendiknas-penerapan-pendidikan-karakter-dimulai-sc.
Husaini,
Adian. 2010. Pendidikan Islam:Membangun Manusia Berkarakter dan Beadab. Jakarta:
Cakrawala Publishing.
Malik,
Abdul (HAMKA). 1982. Pribadi. Cetakan Ke-10. Jakarta: Bulan Bintang.
Syihab,
Muhammad Quraisy. 1996. Wawasan Alquran. Cet. Ke-13. Jakarta: Penerbit
Mizan.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Ulwan,
Abdullah Nâsih. Tarbiyatul Awlâd. Kairo: Dâr al-Salâm.
Yusuf,
Husain Muhammad. 1991. Ahdâf al-Usrah fi al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr
al-'Arabi.