“…
pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
malaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial ...”
(Alinea
Ke-IV Pembukaan UUD 1945)
Bab I
Mukadimah
Tercantum
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, tujuan dan fungsi dicanangkannya program Pendidikan Nasional.
Salah satu tujuan utama pencanangan Sistem Pendidikan Nasional tersebut adalah
mencetak pribadi bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia. Sedangkan fungsi daripada Pendidikan Nasional adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jabaran UUD 1945
tentang pendidikan dituangkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tersebut.
Tertera
pula dalam bab III pasal 4 mengenai enam prinsip yang menjadi pondasi
pencanangan program Pendidikan Nasional. Salah satunya prinsipnya adalah pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak bersifat
diskriminatif. Adapun upaya merealisasikannya, dengan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Dan
lagi, Pendidikan
diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Keputusan diselenggarakannya Pendidikan Nasional
tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945
alinea ke empat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu, tujuan
utama yang ingin dicapai dari upaya tersebut -sebagaimana yang tertera dalam pasal
31 ayat 3 UUD 1945, hasil amendemen ke-IV tahun 2002- yaitu guna meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mencetak pribadi bangsa
yang berakhlak mulia.
Tentunya, kita tak ingin aturan yang tertera dalam
ketetapan undang-undang tersebut hanya sebuah artefak linguistik belaka.
Pasalnya, begitu banyak orang menilai Sistem Pendidikan Nasional kita dirasa
kurang optimal dalam mencetak generasi bangsa yang berkarakter unggul. Bahkan,
ada yang menilainya gagal. Terlebih, banyak instansi pendidikan yang sudah
tidak percaya lagi dengan dedikasi negara. Mereka menganggap pendidikan di
tanah air tak ubahnya seperti bisnis. Yang dicari hanya kepentingan materi. Akibatnya,
Program Pendidikan Nasioanl semakin tidak terkontrol.
Untuk itu, perlu adanya penataan ulang sistem
pendidikan kita guna mereaktualisasikan ketetapan undang-undang. Sebuah
kebijakan yang konsisten pada tujuan, fungsi dan prinsip diberlakukannya
Pendidikan Nasional itu sendiri. Sebuah kebijakan yang mampu merefleksikan
substansi Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai agama, HAM dan moral. Tentunya,
kita perlu memahami kembali isi dari ketetapan undang-undang tersebut. Stigma
masyarakat mengenai pendidikan nasional harus secepatnya dihilangkan. Agar
tidak berlarut-larut, solusi efektif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
cara pemugaran kembali wacana pendidikan kita agar tetap eksis sesuai harapan
bangsa demi mencetak generasi Indonesia yang berkarakter, cerdas dan berbudi
luhur.
Bab II
Pembahasan
2.1 Amanat Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945
Memahami amanat pembukaan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke empat, menjadi jelas bahwa tanggung
jawab negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Kata “cerdas” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), berarti sempurna perkembangan akal budinya, baik untuk
berpikir dan mengerti. Sedangkan kata “Mencerdaskan” berarti mengusahakan agar
sempurna akal budinya atau dalam arti lain usaha agar menjadi cerdas. Secara
popular, kecerdasan kerap didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mempelajari
dan menerapkan pengetahuan untuk mengendalikan lingkungan. Para ahli sepakat
bahwa kecerdasan adalah kata yang memayungi berbagai kemampuan mental seperti
kemampuan memecahkan masalah, pengetahuan umum, kreativitas, kemampuan
menganalisis, serta kemampuan mengubah lingkungan saat ini. Dengan definisi semacam ini, dapat kita
simpulkan bahwa pada hakikatnya, kecerdasan seseorang tidak harus diperoleh
setelah melalui jenjang pendidikan tertentu. Untuk meraih kecerdasan, tidak
harus bergelar doktor atau profesor.
Ada yang berpendapat bahwa faktor utama
dalam menentukan cerdas dan tidaknya seseorang adalah faktor GEN keturunan. Menurut mereka,
kecerdasan adalah kemampuan belajar secara abstrak, dan kecerdasan itu
merupakan sesuatu yang diwariskan dan tidak dapat berubah (Lewis Madison Terman,
pakar psikologi asal AS).
Namun, Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan seseorang itu cerdas bukan
karena ibu atau bapaknya cerdas, tapi karena faktor penunjang lainnya.
Tentunya, Allah SWT menganugerahi akal, pikiran, serta nurani pada diri manusia
supaya mereka cerdas, yaitu cerdas dalam menyikapi realita kehidupan.
Berbeda dengan kata “pandai”, menurut
KBBI, kata “pandai” memiliki arti cepat menangkap pelajaran dan mengerti
sesuatu, pintar, cakap, mahir, dapat atau sanggup menyelesaikan pekerjaan
dengan baik. Oleh karena itu, arti dari kata pandai tidak bisa kita samakan
dengan arti kata cerdas. Karena masing-masing memiliki cakupan makna yang
berbeda.
Menurut pengamatan hemat penulis,
kepandaian seseorang terealisasi setelah melalui proses panjang dan terkesan
prosedural. Kepandaian seseorang dapat diperoleh setelah melalui jenjang
pendidikan tertentu. Untuk meraih kepandaian dalam bidang tertentu, ia harus
menamatkan materi dalam bidang tersebut secara tuntas. Artinya, untuk mampu
menguasai bidang C, ia harus melalui tahap A, tahap B. Sedangkan cerdas
tidaklah demikian. Meski ia masih berada di tahap A, namun ia mampu menguasai
tahap C tanpa harus melalui tahap B terlebih dahulu. Oleh karena itu, orang
pandai belum tentu cerdas, namun orang cerdas sudah pasti pandai. Benar juga
apa kata pepatah “Rajin Pangkal Pandai” bukan “Rajin Pangkal Cerdas”.
Banyak kritikan dari berbagai pihak mengenai
penggunaan kata “mencerdaskan” yang termaktub dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD
1945 tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa penggunaan kata tersebut
kurang objektif, karena merealisasikan kecerdasan tidak semudah merealisasikan
kepandaian. Mencerdaskan individu saja sangat sulit,
apalagi mencerdaskan kehidupan bangsa? Meski demikian, secara yuridis, Pembukaan
UUD (preambule) berkedudukan lebih tinggi daripada UUD itu sendiri, karena ia
berstatus sebagai pokok kaidah fundamental Negara Republik Indonesia. Sifatnya
abadi dan tidak dapat diubah oleh siapapun walaupun oleh MPR ataupun dengan
jalan hukum lainnya. Oleh karena itu, ia bersifat imperatif.
Hal tersebut dibuktikan bahwa dalam
amandemen UUD NKRI tahun 1945 the second framers bersepakat untuk tidak
mengubah pembukaan UUD. Karena mengubah pembukaan
UUD sama saja artinya dengan mengubah tujuan negara. Dalam kondisi tersebut
berarti bahwa tujuan negara yang ada dalam pembukaan tidak mengalami pergeseran
sedikit pun dari niat yang semula.
Terlepas
dari validitas diksi pada Pembukaan UUD dalam alinea ke-IV tersebut, negara
sebagai wadah bangsa mempunyai tanggung jawab besar dalam hal mengemban
pendidikan nasional yang dinilai mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah
keharusan bagi negara untuk melaksanakan amanat tersebut. Upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa harus terus digalakkan dan didukung oleh semua pihak.
Mengingat, bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang kaya akan SDA-nya, namun
bangsa yang kuat adalah bangsa yang kaya akan kecerdasan SDM-nya.
2.2 Dedikasi Negara dalam Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Mencerdaskan
kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Wujud implementasi dari tujuan negara tersebut salah
satunya adalah melindung hak memperoleh pendidikan. Pendidikan
adalah kebutuhan fitrah bagi setiap individu manusia guna melangsungkan
kehidupannya, sehingga pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Oleh karenanya, negara sebagai regulator wajib menjamin ketersediaan,
keterjangkauan dan pemerataan pemenuhan fasilitas pendidikan yang layak,
memadai dan bermutu. Oleh karena pendidikan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap
individu, maka persoalan pendidikan tidak dapat dianggap mudah. Dengan tidak
terkelolanya pendidikan dengan baik, maka akan menimbulkan dampak permasalahan
sosial yang serius bagi bangsa.
Upaya
Pemerataan dalam pemenuhan pendidikan merupakan bagian dari tanggung jawab
negara. Dalam mengambil segala kebijakan, negara/pemerintah harus senantiasa mengacu
pada tujuan utama guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan sampai dalih untuk
pemerataan pendidikan harus mengorbankan tujuan tersebut, terutama terkait pelaksanaan
program pendidikan dalam negeri berskala nasional. Dalam hal pendidikan,
hendaknya keberadaan negara mampu menjadi regulator yang baik dalam memberikan
manfaat sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan
amanat pasal 31 ayat 3 UUD 1945 hasil amendemen yang ke-IV tahun 2002, bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Salah
satu bentuk pilihan yang dilakukan oleh pemerintahan dalam pemerataan
pendidikan itu adalah dengan mengundangkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Undang-undang ini menggantikan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang dianggap tidak relevan serta perlu adanya penyempurnaan agar
sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Namun, akankah Undang-Undang yang baru ini dipahami secara secara
mendalam oleh para petinggi negara, dan pendidik bangsa, sehingga cita-cita luhur
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial dapat terwujud dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara??
Dalam ranah teori, pendidikan dan pengajaran
memiliki arti yang saling berbeda. Pengajaran hanya sekedar proses transformasi
ilmu dari pengajar kepada yang diajar (transfer of knowledge) tanpa
harus memperhatikan dampak dari ilmu itu sendiri. Sedangkan pendidikan adalah
proses pengawalan terhadap perkembangan pemikiran, moral, akhlak dan diri.
Artinya, pendidikan lebih luas cakupannya daripada pengajaran karena pendidikan
mencakup intelektual dan moralitas.
Oleh
Karena itu, pemerintah harus senantiasa mempertimbangkan segala kebijakan
program pendidikan. Dalam hal ini, penulis hanya ingin memaparkan dua poin
terpenting yang harus diketahui bersama, baik pemerintah maupun nonpemerintah:
Poin Pertama,
tujuan Program Pendidikan Nasional, guna meningkatkan keimanan, ketakwaan serta
akhlak mulia.
Hal ini, mengacu pada
isi UUD 1945 hasil amendemen ke-IV pasal 31 ayat 3. Disitu tertulis “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan, dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Ketakwaan,
keimanan dan akhlak mulia memiliki korelasi yang kuat dengan substansi keilmuan
seseorang. Tiga sifat tersebut merupakan cermin sikap patuh terhadap Tuhan Yang
Maha Esa berdasarkan kapasitas ilmu yang ia miliki. Semakin tinggi keilmuan
seseorang, semakin besar pula ketakwaan dan keimanannya. Firman Allah SWT dalam
surah Fathir,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya
adalah ulama” (QS. Fathir [35]: 28)
Bertendensi
pada isi pesan surah Al ‘Ashr, Dr. M. Quraisy Syihab, dalam bukunya “Wawasan Al
Quran” memaparkan bahwa keimanan seseorang dinilai belum cukup tanpa amal kebaikan.
Bahkan, menurutnya, iman dan amal kebaikan saja belum dianggap cukup, karena
masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal kebaikan dan ilmu saja masih belum
memadai, kalau tidak disertai keimanan[1].
Poin
Kedua, memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Sebagaimana isi pasal
31 ayat 5. Dalam ayat tersebut tertera “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Agama dan persatuan bangsa merupakan
cerminan ideologi Pancasila. Dalam hal kemajuan IPTEK pun tak lepas dari
substansi ajaran agama. Agama memerintahkan kita untuk senantiasa membaca, menganalisa,
mendalami, meneliti, bertafakur, dsb. atas segala sesuatu yang ada di alam
semesta ini sebagai perantara untuk mengenal-Nya lebih dalam. Allah SWT
berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil
albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk
atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi”. (QS.
Albaqarah [2]: 164)