Kamis, 12 September 2013 0 comments

Restorasi Sistem Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Berkarakter (Bag.I)


“… pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut malaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”
(Alinea Ke-IV Pembukaan UUD 1945)

Bab I
Mukadimah
Tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan dan fungsi dicanangkannya program Pendidikan Nasional. Salah satu tujuan utama pencanangan Sistem Pendidikan Nasional tersebut adalah mencetak pribadi bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Sedangkan fungsi daripada Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tersebut. 
Tertera pula dalam bab III pasal 4 mengenai enam prinsip yang menjadi pondasi pencanangan program Pendidikan Nasional. Salah satunya prinsipnya adalah pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak bersifat diskriminatif. Adapun upaya merealisasikannya, dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Dan lagi, Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Keputusan diselenggarakannya Pendidikan Nasional tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu, tujuan utama yang ingin dicapai dari upaya tersebut -sebagaimana yang tertera dalam pasal 31 ayat 3 UUD 1945, hasil amendemen ke-IV tahun 2002- yaitu guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mencetak pribadi bangsa yang berakhlak mulia.
Tentunya, kita tak ingin aturan yang tertera dalam ketetapan undang-undang tersebut hanya sebuah artefak linguistik belaka. Pasalnya, begitu banyak orang menilai Sistem Pendidikan Nasional kita dirasa kurang optimal dalam mencetak generasi bangsa yang berkarakter unggul. Bahkan, ada yang menilainya gagal. Terlebih, banyak instansi pendidikan yang sudah tidak percaya lagi dengan dedikasi negara. Mereka menganggap pendidikan di tanah air tak ubahnya seperti bisnis. Yang dicari hanya kepentingan materi. Akibatnya, Program Pendidikan Nasioanl semakin tidak terkontrol.
Untuk itu, perlu adanya penataan ulang sistem pendidikan kita guna mereaktualisasikan ketetapan undang-undang. Sebuah kebijakan yang konsisten pada tujuan, fungsi dan prinsip diberlakukannya Pendidikan Nasional itu sendiri. Sebuah kebijakan yang mampu merefleksikan substansi Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai agama, HAM dan moral. Tentunya, kita perlu memahami kembali isi dari ketetapan undang-undang tersebut. Stigma masyarakat mengenai pendidikan nasional harus secepatnya dihilangkan. Agar tidak berlarut-larut, solusi efektif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan cara pemugaran kembali wacana pendidikan kita agar tetap eksis sesuai harapan bangsa demi mencetak generasi Indonesia yang berkarakter, cerdas dan berbudi luhur.

Bab II
Pembahasan
2.1 Amanat Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945
Memahami amanat pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke empat, menjadi jelas bahwa tanggung jawab negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kata “cerdas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti sempurna perkembangan akal budinya, baik untuk berpikir dan mengerti. Sedangkan kata “Mencerdaskan” berarti mengusahakan agar sempurna akal budinya atau dalam arti lain usaha agar menjadi cerdas. Secara popular, kecerdasan kerap didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mempelajari dan menerapkan pengetahuan untuk mengendalikan lingkungan. Para ahli sepakat bahwa kecerdasan adalah kata yang memayungi berbagai kemampuan mental seperti kemampuan memecahkan masalah, pengetahuan umum, kreativitas, kemampuan menganalisis, serta kemampuan mengubah lingkungan saat ini.  Dengan definisi semacam ini, dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya, kecerdasan seseorang tidak harus diperoleh setelah melalui jenjang pendidikan tertentu. Untuk meraih kecerdasan, tidak harus bergelar doktor atau profesor.
Ada yang berpendapat bahwa faktor utama dalam menentukan cerdas dan tidaknya seseorang adalah  faktor GEN keturunan. Menurut mereka, kecerdasan adalah kemampuan belajar secara abstrak, dan kecerdasan itu merupakan sesuatu yang diwariskan dan tidak dapat berubah (Lewis Madison Terman, pakar psikologi asal AS). Namun, Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan seseorang itu cerdas bukan karena ibu atau bapaknya cerdas, tapi karena faktor penunjang lainnya. Tentunya, Allah SWT menganugerahi akal, pikiran, serta nurani pada diri manusia supaya mereka cerdas, yaitu cerdas dalam menyikapi realita kehidupan.
Berbeda dengan kata “pandai”, menurut KBBI, kata “pandai” memiliki arti cepat menangkap pelajaran dan mengerti sesuatu, pintar, cakap, mahir, dapat atau sanggup menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu, arti dari kata pandai tidak bisa kita samakan dengan arti kata cerdas. Karena masing-masing memiliki cakupan makna yang berbeda.
Menurut pengamatan hemat penulis, kepandaian seseorang terealisasi setelah melalui proses panjang dan terkesan prosedural. Kepandaian seseorang dapat diperoleh setelah melalui jenjang pendidikan tertentu. Untuk meraih kepandaian dalam bidang tertentu, ia harus menamatkan materi dalam bidang tersebut secara tuntas. Artinya, untuk mampu menguasai bidang C, ia harus melalui tahap A, tahap B. Sedangkan cerdas tidaklah demikian. Meski ia masih berada di tahap A, namun ia mampu menguasai tahap C tanpa harus melalui tahap B terlebih dahulu. Oleh karena itu, orang pandai belum tentu cerdas, namun orang cerdas sudah pasti pandai. Benar juga apa kata pepatah “Rajin Pangkal Pandai” bukan “Rajin Pangkal Cerdas”.
Banyak kritikan dari berbagai pihak mengenai penggunaan kata “mencerdaskan” yang termaktub dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa penggunaan kata tersebut kurang objektif, karena merealisasikan kecerdasan tidak semudah merealisasikan kepandaian.  Mencerdaskan individu saja sangat sulit, apalagi mencerdaskan kehidupan bangsa? Meski demikian, secara yuridis, Pembukaan UUD (preambule) berkedudukan lebih tinggi daripada UUD itu sendiri, karena ia berstatus sebagai pokok kaidah fundamental Negara Republik Indonesia. Sifatnya abadi dan tidak dapat diubah oleh siapapun walaupun oleh MPR ataupun dengan jalan hukum lainnya. Oleh karena itu, ia bersifat imperatif.
Hal tersebut dibuktikan bahwa dalam amandemen UUD NKRI tahun 1945 the second framers bersepakat untuk tidak mengubah pembukaan UUD. Karena  mengubah pembukaan UUD sama saja artinya dengan mengubah tujuan negara. Dalam kondisi tersebut berarti bahwa tujuan negara yang ada dalam pembukaan tidak mengalami pergeseran sedikit pun dari niat yang semula.
Terlepas dari validitas diksi pada Pembukaan UUD dalam alinea ke-IV tersebut, negara sebagai wadah bangsa mempunyai tanggung jawab besar dalam hal mengemban pendidikan nasional yang dinilai mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah keharusan bagi negara untuk melaksanakan amanat tersebut. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus digalakkan dan didukung oleh semua pihak. Mengingat, bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang kaya akan SDA-nya, namun bangsa yang kuat adalah bangsa yang kaya akan kecerdasan SDM-nya.

2.2 Dedikasi Negara dalam Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wujud implementasi dari tujuan negara tersebut salah satunya adalah melindung hak memperoleh pendidikan. Pendidikan adalah kebutuhan fitrah bagi setiap individu manusia guna melangsungkan kehidupannya, sehingga pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karenanya, negara sebagai regulator wajib menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan pemenuhan fasilitas pendidikan yang layak, memadai dan bermutu. Oleh karena pendidikan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap individu, maka persoalan pendidikan tidak dapat dianggap mudah. Dengan tidak terkelolanya pendidikan dengan baik, maka akan menimbulkan dampak permasalahan sosial yang serius bagi bangsa.
Upaya Pemerataan dalam pemenuhan pendidikan merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Dalam mengambil segala kebijakan, negara/pemerintah harus senantiasa mengacu pada tujuan utama guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan sampai dalih untuk pemerataan pendidikan harus mengorbankan tujuan tersebut, terutama terkait pelaksanaan program pendidikan dalam negeri berskala nasional. Dalam hal pendidikan, hendaknya keberadaan negara mampu menjadi regulator yang baik dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan amanat pasal 31 ayat 3 UUD 1945 hasil amendemen yang ke-IV tahun 2002, bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Salah satu bentuk pilihan yang dilakukan oleh pemerintahan dalam pemerataan pendidikan itu adalah dengan mengundangkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini menggantikan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak relevan serta perlu adanya penyempurnaan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, akankah Undang-Undang yang baru ini dipahami secara secara mendalam oleh para petinggi negara, dan pendidik bangsa, sehingga cita-cita luhur memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat terwujud dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara??
Dalam ranah teori, pendidikan dan pengajaran memiliki arti yang saling berbeda. Pengajaran hanya sekedar proses transformasi ilmu dari pengajar kepada yang diajar (transfer of knowledge) tanpa harus memperhatikan dampak dari ilmu itu sendiri. Sedangkan pendidikan adalah proses pengawalan terhadap perkembangan pemikiran, moral, akhlak dan diri. Artinya, pendidikan lebih luas cakupannya daripada pengajaran karena pendidikan mencakup intelektual dan moralitas.
Oleh Karena itu, pemerintah harus senantiasa mempertimbangkan segala kebijakan program pendidikan. Dalam hal ini, penulis hanya ingin memaparkan dua poin terpenting yang harus diketahui bersama, baik pemerintah maupun nonpemerintah:
Poin Pertama, tujuan Program Pendidikan Nasional, guna meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia.
Hal ini, mengacu pada isi UUD 1945 hasil amendemen ke-IV pasal 31 ayat 3. Disitu tertulis “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Ketakwaan, keimanan dan akhlak mulia memiliki korelasi yang kuat dengan substansi keilmuan seseorang. Tiga sifat tersebut merupakan cermin sikap patuh terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kapasitas ilmu yang ia miliki. Semakin tinggi keilmuan seseorang, semakin besar pula ketakwaan dan keimanannya. Firman Allah SWT dalam surah Fathir,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya adalah ulama” (QS. Fathir [35]: 28)
Bertendensi pada isi pesan surah Al ‘Ashr, Dr. M. Quraisy Syihab, dalam bukunya “Wawasan Al Quran” memaparkan bahwa keimanan seseorang dinilai belum cukup tanpa amal kebaikan. Bahkan, menurutnya, iman dan amal kebaikan saja belum dianggap cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal kebaikan dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak disertai keimanan[1].
Poin Kedua, memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Sebagaimana isi pasal 31 ayat 5. Dalam ayat tersebut tertera “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
            Agama dan persatuan bangsa merupakan cerminan ideologi Pancasila. Dalam hal kemajuan IPTEK pun tak lepas dari substansi ajaran agama. Agama memerintahkan kita untuk senantiasa membaca, menganalisa, mendalami, meneliti, bertafakur, dsb. atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini sebagai perantara untuk mengenal-Nya lebih dalam. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi”. (QS. Albaqarah [2]: 164)

Sabtu, 06 Juli 2013 1 comments

صيغة منتهى الجموع


بسم الله الرحمن الرحيم


          الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين سيدنا محمد بن عبد الله الأمين وعلى آله وأصحابه أجمعين. أما بعد، فإن هذا بُحيث يعبر فيه عن ما يدور في ذهني حول الموضوع المطروح. وقد كتبت موضوعا عاما عن صيغة منتهى الجموع. وسأحاول أن أجمعه باختصار تحت عناوين صغرى كالتالي :
أولا: تعريف "منتهى الجموع"
          هو كل جمع كان بعد ألف تكسيره حرفان، أو ثلاثة أحرف وسطها ساكن([1]). وقد تسمى أيضا الجمع الأقصى. وهناك شيء اسمه "شبه منتهى الجموع". تعريفه، ذكره في المعجم المفصل عن تعريف شبه منتهى الجموع تعريفَ الاصطلاحي، هو اسم يدل على واحد، وهو بصيغة من صيَغ منتهى الجموع، نحو : ((سراويل)) الذي يدل على مفرد وهو بمعنى ((السروال)).  وسميت بصيغة منتهى الجموع لانتهاء الجمع إليها، فلا يجوز أن يجمع بعدها مرة أخرى، بخلاف غيرها من الجموع فإنها قد تجمع، مثل : كلب، وأكلب وأكالب. ونَعْم وأنعام وأناعم.
قال الشيخ الرضى: ((وصيغة منتهى الجموع هي وزن غاية جموع التكسير؛ لأنه، يجمع الاسم جمع التكسير جمعاً بعد جمع فإذا وصل إلى هذا الوزن امتنع جمعه التكسير. وإنما قيدنا بغاية جمع التكسير؛لأنه لا يمتنع جمعه جمع السلامة، وإن لم يكن قياساً مطردا )) ([2])،ومثّل بقوله صلى الله عليه وسلم: ((انّكن صواحبات يوسف )) وقوله: جذب الصراريين بالكرور... يثانيها. فـ صراريين جمع صراء،وهو جمع صار بمعنى الملاح، فهما جمعا سلامة.
ثانيا: صيَغه
أما صيغه فكثيرة جدا، عددها علماء الصرف على تسعة عشر وزنا([3])، وهي:
-فَعالِيل كـ دنانير
-مَفاعِل كـ مساجد
-فَواعِيل كـ طواحين
-فَعالِي كـ تراق
-أفاعِل كـ أنامل
-مفَاعِيل كـ مصابيح
-فَيََاعِل كـ صيارف
-فُعالى كـ سكارى
-أفاعِيل كـ أضابير
-يَفاعِل كـ يحامد
-فياعِيل كـ دياجير
-فَعالِيُّ كـ كراسِيّ
-تفاعِل كـ تجارب
-يَفاعِيل كـ يحاميم
-فعائل كـ صحائف

-تفاعِيْل كـ تسابيح
-فَوَاعِل كـ خواتم
-فَعَالى كـ عذارى

وحاول علماء اللغة أن يجعلوها تحت قاعدة مطردة. قال شيخ الرضى في شرحه على الكافية: (( وضابط هذه الصيغة: أن يكون أولها مفتوحا، وثالثها ألفا وبعدها حرفان، أدغم أحدهما في الآخر، أو لا، كمساجد، ودواب، أو ثلاثة ساكنة الوسط، فلو فات هذه الصيغة لم تؤثر الجمعية، كما في حمر، وحسان، مع أن في كل واحد منهما الجمعية والصفة)).
واشترط في هذه الصيغة أن تكون بغير هاء. وذلك، احترازا عن نحو: ملائكة؛ لأنّ التاء تقرب اللفظ من وزن المفرد، نحو كراهية وطواعية وعلانية، فتكسر من قوة جمعيته، فلا يقوم مقام السببين، ولا سيما على مذهب من قال إنّ قيامه مقامهما لكونه لا نظير له في الآحاد، ولا يلزم منع ثمان ورباع وحزاب، وإن حصلت فيها صيغة منتهى الجموع؛ لأن هذه الصيغة شرط السبب، والمؤثر هو المشروط مع الشرط([4]).
ثالثا: الفرق بين منتهى الجموع و جمع الجمع
          ويمكن أن نقول الفرق بينهما أن منتهى الجموع له صيغة معينة يقاس عليه، بينما جمع الجمع سماعيّ، فما ورد منه يُحفظ ولا يقاس عليه. ومما سُمع: بيت بُيوت بُيوتات، رَجُل رِجال رجالات، طريق طرق طرقات، عَطاء أَعْطية أَعْطِيات، فتْح فتوح فتوحات، فَيْض فُيوض فُيُوضات.
رابعا: المسائل المتعلقة بها
1-في باب التصغير؛ جواز التصحيح وقلب الواو ياء في الكلمة التي جمعت على صيغة منتهى الجموع.
يقال فيه أن الواو الواقعة بعد ياء التصغير -التي لا تحذف - لا يخلوا إما أن تكون لاماً أو غير لام، فاللام تقلب ياء لا غير، تقول: غُزَيّ وعُرَيَّة في غَزْو وعُرْوة، وكذا غُزَيَّان وعُشَيَّاء وغُزَيَّيّة بياءين مشدّدتين، في تصغير غزوان وعشوا وغَزْويَّة منسوبة إلى الغزو وأما غير اللام فإن كانت ساكنة في المكبر فلابد من قلبها ياء، نحو عُجَيِّز وجُزَير في عَجوز  وجَزور، وإن كانت فيه متحركة أصليةً كانت كأسْوَد ومِزْوَد، أَو زائدة كَجَدْوَل فالأكثر القلب، ويجوز تركه كأسَيْوِد وجُدَيْوِل ، وذلك، لقوّة الواو المتحركة، وعدم كونها في الآخر هو محل التغيير، وكون ياء التصغير عارضة غير لازمة. قال شيخ الرضى الاسترابادي في شرحه على ابن حاجب :(( قال بعضهم: إنما جاز ذلك حملاً على التكسير، نحو جداول وأساود، ولو كان حملاً عليه لجاز في مقام ومقال مُقَيْوم ومُقَيْول كما في مقاول ومقاوم))([5]).
قال في الهامش تعليقا على قوله ((أسود وجدول)): ((أسود أصله صفة من السواد، وقد سمى به نوع الحيات وهو العظيم الذى فيه سواد وقد قالوا في مؤنثه أسودة وقالوا في مؤنث الصفة سوداء ولم يفرق المؤلف رحمه الله بين الصفة والاسم في جواز الوجهين - وهما التصحيح وقلب الواو ياء في التصغير -، والذي حكاه أبو الحسن الأشمونى في شرحه الى الالفية في باب الابدال أنه إن جمعت الكلمة على صيغة منتهى الجموع جاز فيها الوجهان في التصغير، وذلك كأسود الاسم وجدول فقد قيل في جمعهما أساود وجداول، وأما إن كانت الكلمة لم تجمع على هذه الزنة فليس فيها إلا الاعلال وذلك كأسود وأعور وأحول وأحور إذ جاء جمعها على فعل - بضم فسكون - وإنما أجاز الوجهين: أما الاعلال فلانه الاصل، وأما التصحيح فحملا للتصغير على التكسير، وإنما لم يفرق المؤلف هذا الفرق لانه جعل علة جواز التصحيح قوة الواو بالحركة. اهـ)).([6])
2-إلحاق صيغة منتهى الجموع بالتاء  
قد تلحق التاء صيغة منتهى الجموع: إمَّا عِوَضًا عن الياء المحذوفة، كقَنَادِلَة فى قناديل، وإمّا للدلالة على أن الْجمع للمنسوب لا للمنسوب إليه، كأشَاعِثَة وأزارِقَة ومَهَالِبَة، وفي جمع أَشْعَثي وأزرقيّ ومُهَلَّبِي، نسبة إلى أشعثَ وأزرقَ ومهلبَ، وإمّا لإلحاق الجمع بالمفرد، كصَيَارِفة وصيَاقِلة، جمع صَيْرَف وصَيْقل لإلحاقهما بطَواعية وكراهية، وبها يصير الجمع منصرفا بعد أن كان ممنوعًا من الصرف. وربما تلحق التاءُ بعضَ صيغ الجموع لتأكيد التأنيث اللاّحق له، كحجارة وغمومة وخُؤولة([7]).
3-في العدد؛ ابتداء العدد في صيغة منتهى الجموع      
كما قد عرفنا، أن جمع القلة يبتديء بالثلاثة وينتهي بالعشرة. وجمع الكثرة يبتديء بالثلاثة ولا نهاية له. ويستثنى من ذلك، صيغة منتهى الجموع، فإنها تبتديء بأحد عشر. وذلك، إنما هو فيما كان له جمع قلة وجمع كثرة. أما ما لم يكن له إلا جمع واحد ولو كان صيغة منتهى الجموع فهو يستعمل للقلة والكثرة. وذلك كرجال وأرجل وكتب وكتاب وأفئدة وأعناق وكواتب ومساجد وقناديل([8]). أما ما له جمع قلة وجمع كثرة، كأضلع وضلوع وأضالع فالعرب قد تستعمل اللفظ الموضوع للقليل في موضع الكثير. وإنّ الجموع قد يقع بعضها موضع بعض ويستغنى ببعضها.
4-خلاف العلماء في تنوين العوض، هل الإعلال مقدَّم على منع الصرف أو العكس؟
          كما قد عرفنا، أن أقسام التنوين أربعة، منها تنوين العوض. وقد اختلف العلماء فيه. يقال أنّ تنوين العوض وهو إما عوض عن حرف. وذلك تنوين نحو جوارٍ وغواشٍ،وذك التنوين عوض عن الياء المحذوفة في الرفع والجر، وهذا مذهب سيبويه والجمهور. وذلك، لما فيه من التقاء الساكنين. وقالوا أنّ الإعلال مقدَّم على منع الصرف لتعلق الإعلال بجوهر الكلمة بخلاف منع الصرف فإنه حال للكلمة. فأصل جوارٍ جواريُ بالضم، والتنوين استثقلت الضمة على الباء فحذفت ثم حذفت الياء لالتقاء الساكنين ثم حذف التنوين لوجود صيغة منتهى الجموع تقديرًا؛ لأنّ المحذوف لعلة كالثابت فخيف رجوع الياء لزوال الساكنين في غير المنصرف المستثقل لفظًا بكونه منقوصًا ومعنى بكونه فرعًا، فعوّضوا التنوين من الياء لينقطع طمع رجوعها، أو للتخفيف بناءً على حمل مذهبهم على تقديم منع الصرف على الإعلال: فأصله بعد منع صرفه جواري بإسقاط التنوين استثقلت الضمة على الياء فحذفت ثم حذفت الياء تخفيفًا، وعوّض عنها التنوين لئلا يكون في اللفظ إخلال بالصيغة.
ومقابل مذهب سيبويه والجمهور ما قاله المبرد والزجاج أنه عوض عن حركة الياء ومنع الصرف مقدّم على الإعلال فأصله بعد منع صرفه جواري بإسقاط التنوين استثقلت الضمة على الياء فحذفت وأتى بالتنوين عوضًا عنها ثم حذفت الياء لالتقاء الساكنين، وكذا يقال في حالة الجر على الأقوال الثلاثة. وإنما كانت الفتحة حال الجر على تقديم منع الصرف ثقيلة لنيابتها عن ثقيل وهو الكسرة([9]).
والله أعلم بالصواب

Jumat, 05 Juli 2013 0 comments

الأشعار المؤثرة في نفوس الأخيار


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين وخاتم النبيين سيدنا محمد الصادق الأمين وعلى آله الطيبين وصحابته المنتجبين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.  أما بعد، فهذا كتيب يبحث فيه عن الأشعار المؤثرة في النفوس. ونخص في هذا البحث عن تأثيراتها في ذات النبي صلى الله عليه وسلم وبقية الأصحاب الأخيار.
وكما قد عرفنا، أنّ رسول الله r ليس بشاعر ولا بكاهن ولا بساحر. وإنما هو رسول من عند الله تعالى، أرسله الله تعالى خاتم الأنبياء والمرسلين، ليدل الناس طريق السلام وصراط المستقيم. وأيّده الله تعالى بوحي ذي قيمة عظيمة مظهر صدق رسالته، ألا وهو القرآن الكريم.
فقد ورد في القرآن أنه يرد على المشركين على استنكارهم للإسلام مدعّما بأقوال شعرائهم، وينزل بحقهم آيات بينات تفضح مواقف شعرائهم الجهيلية. فقال تعالى: ]والشعراء يتبعهم الغاوون ألم تر أنهم في كل واد يهيمون وأنهم يقولون ما لا يفعلون[ [ الشعراء: 224-226].
وفي المقابل، لقد ظهر شعراء المسلمين حيث أسلموا بأسباب مختلفة، منها لاطلاعهم ولمعرفتهم دقائق أسلوب القرآن الكريم الذي ليس من كلام البشر. وما زال عندهم قدرة في إبداع أشعارهم ويغيرون بعض الأسلوب الذين كانوا يستألفون في إنشاء أشعارهم قبل إسلامهم. فجعل شعراء المدينة الشعر سلاحاً فعالاً فيه قيم إيجابية وردود عملية على تحدي المشركين، فنزلت بقية الآية تخفف من حدة إثم الشعر: ]إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وذكروا الله كثيراً وانتصروا من بعدما ظلموا وسيعلم الذين ظلموا أي منقلب ينقلبون[ [ الشعراء: 227]
وكان يقول: ((إنما الشعر كلام مؤلف، فما وافق الحق منه فهو حسن وما لم يوافق الحق منه فلا خير منه))  

أولا: تأثير الشعر في ذات النبي r
 فقد كان رسول r يريد أن يدخل الشعر في المعركة مع قريش وكان يقول: (( ما يمنع القوم([1])  الذي نصروا رسول الله بسلاحهم أن ينصروه بألسنتهم؟)) فقال حسان بن ثابت: أنا لها، وأخذ بطرف لسانه، وقال: ((والله ما يسرّني به مقول بين بصري وصنعاء))([2]) .
وكان رسول الله r يرى في بعض الشعر حكمة، ويرى في البيان الواضح منه سحراً يأخذ بالألباب، وكل هذا يدل على نفوذ الشعر في عصره. وكان بين يدي المسلمين آنذك، حسان بن ثابت([3]). وهو شاعر الرسول r، واللسان المبين للدعوة الإسلامية، الذي خلّد مواقفها في غرر شعره، وأبلى بلاءً حميداً في المنافحة عن رسول الله r، وهجاء أعدائه، حتى كانوا يستجيرون بالرسول عليه الصلاة والسلام من وقع هجائه ومضاء لسانه، وكان حسان أيضاً شاعر الأنصار في الجاهلية، وشاعر أهل اليمن في الإسلام.
وقد انبرى حسان منذ هجرة المصطفى r إلى المدينة للدفاع عن الإسلام وهجاء أعدائه، خاصة أولئك الشعراء من قريش الذين كانوا يهجون رسول الله صلى الله عليه وسلم.
فلما اشتد هجاؤهم لرسول الله r، قال رسول الله r:« مايمنع القوم الذين نصروا رسول الله بأسيافهم أن ينصروه بألسنتهم ؟» فقال حسان: أنا لها، وأخذ بطرف لسانه، فقال رسول الله r:«كيف تهجوهم وأنا منهم ؟» فقال حسان: يارسول الله لأسلنك منهم كما تُسلّ الشعرة من العجين، فسُرَّ الرسول r به، وأكرمه ودعا له: أن يؤيده الله بروح القدس، ووعده الجنة جزاء منافحته عنه، ونصب له منبراً في المسجد الشريف ليلقي من فوقه شعره .
وقد سجلت كتب الأدب والتاريخ الكثير من الأشعار التي ألقاها حسان في مسجد سيد الأولين والآخرين عليه أفضل الصلاة وأتم التسليم، وهي في هجاء الكفار ومعارضتهم، أو في مدح المسلمين ورثاء شهدائهم وأمواتهم.
فمن الأشعار التي يهجو بها شعراء المشركين قوله من قصيدة ينافح بها عن النبي r ويهجو سفيان بن الحارث بن عبدالمطلب الذي هجا الرسول صلى الله عليه وسلم:

ألا أبلغ أبا سفيان عني فأنت مجوف نخب هواء
*
بأن سيوفنا تركتك عبداً وعبد الدار سادتها الإماء
هجوت محمداً فأجبت عنه وعند الله في ذاك الجزاء
*
أتهجوه ولستَ له بكفءٍ فشركما لخيركما الفداء
هجوت مباركاً برّاً حنيفاً أمين الله شيمته الوفاء
*
فمن يهجورسول الله منكم ويمدحه وينصُره سواء
فإن أبي ووالده وعرضي لعرض محمد منكم وقاء
*
لساني صارم لاعيب فيه وبحري لاتكدره الدلاء([4]).

وربما أثّر الشعر في ذات الرسول r، فحمله على إصدار العفو عن الذين اتخذوا المواقف السلبية من الدعوة الجديدة، كما فعل مع كعب بن زهير. ومن هذا القبيل موقفه من قتيلة بنت النَّضر، فقد قتل النبي r أباها النّضر بن الحارث بن كلدة عقب معركة بدر، لشرّه وشدّة أذاه، فجاءته قتيلة فأسمعته([5]) :
أمُحَمَّدٌ ولأَنْتَ ضَنءُ نَجِيْبَةٍ


في قَوْمِها والفَحْل فحلٌ مُعْرِقُ

ما كانَ ضرَّكَ لو مننْتَ وربَّمَا


منّ الفتى وهو المغيظ المحنِقُ

فالنّضر أقربُ من تركْتَ قرابةً


وأحَقّهم إنْ كانَ عِتْقٌ يَعْتِقُ

معنى الأبيات:
1.  الضنء: الولد، والنجيبة: الكريمة، والمعرق: من له عرق في الكرم. والمعنى: يا محمد إن التي ولدتك كريمة قومها والذي ولدك سيد عريق في الكرم فأنت خلاصة شريفين.
2.  المعنى: إذا كنت كذلك فما كان يضرك لو مننت على أخي وأطلقته وليس هذا عيبا عليك إذ قد يعفو الفتى مع انطوائه على الغيظ والحنق.
3.    المعنى أن النضر أقرب الإسراء الذين أسرتهم إليك وأحقهم بالعتق إن وقع فكاك أو عتق([6]).

فرق لها الرسول r وبكى، وقال: ((لو بلغني شعرها قبل قتله ما قتلته)). ولكن، ليس معناه الندم؛ لأنه r لا يفعل إلاّ حقًّا. والظاهر، أنّ التأثير جاء من عند رسول الله من حيث هي فتاة فقدت معيلها ووالدها؛لأنّ الشعر- كما نرى- لا شيء فيه سوى الحديث عن مواقف يتخذها رؤساء القبائل في حروبهم، من عفو عند المقدرة، ومن كرم. وما كان رسول الله إلا نبيّاً رحيماً ليس إلا.
كذلك عفا النبي عن أسرى حنين من هوازن بشعر أبي جرول الجشمي وكان رئيس قومه، فوقف وهو بين الأسرى الذين أسرهم الرسول يوم حنين، وأنشده([7]) :
امْنِنْ علينَا رسول في حرم


فإنك المرء نرجوه وننتظر

امْنِنْ على نسوة قد كنتَ ترضعها


يا أرجحَ النّاسِ حِلماً حين يختبر

إنّا لنشكر للنعمى التي كفرت


وعندنا بعد هذا اليوم مدّخر

فلما سمع رسول الله r هذا الشعر قال : ((ما كان لي ولبني عبد المطلب فهو لكم)) فقالت القريش: ما كان لنا فهو لله ورسوله وقالت الأنصار:ما كان لنا فهو لله ولرسوله.

ثانيا: تأثيره في ذات عمر بن خطاب
ولعب الشعر الدور ذاته بعد الرسول r وفي أبرز مسائل العقيدة وفي ركن من أهم أركان الإسلام وهو الجهاد. فيحقق المخبّل السعدي غايته في استرداد ابنه شيبان الذي خرج مع سعد بن أبي وقاص إلى غزو فارس، وكان شيخاً مسناً ضعيفاً، فما برح يناديه ويتألم لفراقه ويدعوه للعودة ألماً عليه ووَجْداً، وحين لم يملك الصبر، مضى إلى الخليفة عمر، فأنشده([8]) :
أيهلكني شبيان في كلِّ ليلةٍ


لقلبي من خَوْف الفراق وجيبُ

ويخبرني شيبان أن لم يعفني


تعق إذا فارقتني وتحوبُ

فإن يك غصني أصبح اليوم بالياً


وغصنك من ماء الشباب رطيبُ

فإني حنت ظهري خطوب تتابعت


فمشي ضعيف في الرجال دبيبُ

أشيبان ما يدريك أن كلَّ ليلة


غبقتك فيها والغبوق حبيبُ

فأمر بأشخاصه إليه، وتأثر كثيراً فأمر بأن لا يغزو من له أب هرم إلا بعد أن يأذن لـه راضياً بهجرته. وعرف الشعراء نفوذ الشعر في عهد عمر، ففزع إليه أبو خراش الهذلي حين هاجر ابنه مع المجاهدين إلى الشام. فأنشده شعراً مؤثراً، فأمر برده عليه، وأصدر أمره السابق الذكر.

ثالثا: تأثيره في ذات علي كرم الله وجهه
وقد وقف أعرابي على عليّ بن أبي طالب، فقال: إن لي إليك حاجة رفعتها إلى الله قبل أن أرفعها إليك، فإن قضيتها حمدت الله تعالى وشكرتك، وإن لم تقضها حمدت الله تعالى وعذرتك. فقال له علي: خط حاجتك في الأرض فإني أرى الضرَّ عليك، فكتب الأعرابي على الأرض (إني فقير) فقال عليّ: يا قنبر، ادفع إليه حلتي الفلانية، فلما أخذها مثل بين يديه، فقال:
كسوتني حلّة تبلى محاسنها


فسوف أكسوكَ من حُسْن الثّنا حلَلا

إن الثّناء ليحي ذكرَ صاحبه


كالغيث يُحْي نداه السّهل والجبلا

لا تزهدِ الدَّهر في عرف بدأت به


فكلُّ عَبْدٍ سيُجْزى بالذي فعلا

فقال علي: يا قنبر أعطه خمسين ديناراً، أما الحلة فلمسألتك، وأما الدنانير فلأدبك، سمعت رسول الله r يقول: [انزلوا الناس منازلهم]([9]) .
ثم إنّ الثناء ليس إلاّ الإعلام ويكون في الإيجابي من الأمور. وهو في الشعر مقابل لوسائل الإعلام في عصرنا. فهي من أكثر الأمور نفعاً للمرء، فالصحف، والإذاعات، والرأي، والتصوير بأشكاله المتنوعة، في عالمنا المعاصر تعطي مردوداً إيجابياً لمن دارت حوله تلك الوسائل، إن كانت فيه تلك الصفات حقاً، وإلا فالمردود عكسي. ومردود تلك الوسائل لا يقل عن مردود الثناء الشعري الإيجابي عصرئذ. والله أعلم
 
;