Kamis, 19 Juli 2012

Hitam Putih Malam Itu

“Sepertinya ini adat atau mungkin ini hanya norma religius masyarakat kota ini saja sebagai cermin masyarakat atau sekumpulan golongan yang taat dan gemar beribadah, jadi ndak usah lah saling menyalahkan apalagi mencemooh.” Celotehku memulai obrolan ringan. “Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmat dan hikmah,” komentar Rahmat sambil mengelus-elus janggut tipisnya. “Ah, itu mah semua orang pun tahu,” sangkal Hilmi tanda ketidakpuasan. “Coba kalau ada diantara kita ada yang sanggup menjadi pelopor adat kota ini di kampungnya masing-masing, saya siap mencium tangannya.” Sahut Andi sembari menengadahkan kepalanya membayangkan sesuatu mustahil akan terjadi menurutnya. ”Gayamu, Le!” tukas Rahmat sambil matanya melotot. “Jangankan shalat tarawih, jamaah shalat fardhlu saja masih jarang dikampungku, masih harus ada istilah dioprak-oprak segala.” Celetuk Imron yang sejak tadi sibuk mengotak-atik cuk motornya. ”Oi Ron, buruan ! mau kita tinggal lagi?” bentak Hilmi. ”Iya sebentar lagi, sabar!”

Kami berlima teman seperjuangan, kebetulan kami satu jurusan dan tinggal satu flat. Flat kami terletak agak jauh dari area kampus. Saat bulan Ramadhan tiba, kami berlima selalu kompak. Mulai dari kelompok makan, kelompok masak, hingga pergi kemana pun -entah mau ngabuhburit atau shalat Tarawih-, gerombolan kami selalu mudah ditemukan. Malam ini, kami hendak bersiap-siap untuk melaksanakan jamaah shalat Isya dan Tarawih di masjid Al-Huda yang terletak agak jauh dari flat. Dengan bermodalkan dua sepeda motor, kami berlima berangkat. Aku membonceng dua temanku sekaligus, Rahmat dan Hilmi, sedangkan Imron membonceng Andi. Baru pertama kali kami merasakan bulan Ramadhan di kota ini. Khusus di bulan suci, pemandangan kota ini baru akan terasa jika sudah menjelang malam. “Betul juga kamu Feb. Inilah yang dinamakan adat. Baru pertama kali ini aku menyaksikan suasana malam seperti ini, Subhanallaah.” Tegas Hilmi dari balik punggungku sembari menolehkan kepalanya ke kiri dan kekanan tanda keheranan. Aku pun ikut terpancing, bagaimana tidak? ada yang aneh menurut benak pikirku. Di malam harinya, orang –orang sibuk berlalu lalang, di masjid, di pasar, di pelataran rumah, hingga di jalan-jalan. Di pagi harinya, suasana berbalik sepi. Seperti kota mati yang ditinggal penduduknya. Tidak terlihat aktifitas apapun, jalanan menjadi sepi sunyi, rumah-rumah tertutup rapat-rapat, baru terlihat hidup ketika menjelang Ashar nanti.

Hari ke-26 bulan Ramadhan, seperti pada hari-hari sebelumnya, aku disibukkan oleh lalu lalang orang-orang di sekitarku. Mondar-mandir berburu amal. Jamaah shalat Tarawih bergiliran dari masjid ke masjid, adzan dikumandangkannya shalat Isya saling sahut menyahut seperti dalam perlombaan estafet, sambung menyambung saling bergiliran hingga menjelang waktu sahur. Disini, aku melihat banyak kakek-kakek bugar. Meski kakinya hampir dikatakan sulit digunakan untuk berjalan -terlihat dari cara mereka bangun dari duduknya-, akan tetapi, kesungguhan mereka dalam beribadah membuat anak-anak muda seusiaku merasa iri dan malu. Bagaimana tidak? bilangan 20 rakaat plus witir belum cukup membuat mereka puas. Bahkan, banyak diantara mereka melanjutkan shalat tarawih di masjid berikutnya sebagaimana jadwal atau adat, menurutku. Kakek-kakek bugar itu semakin membuatku berstamina dan bersemangat, ambisiku agar bisa mengalahkan kakek-kakek itu. Tepat pukul 23:00, jamaah dimulai dari masjid Al-Huda, kemudian serempak di masjid An-Nur, Al-Hidayah, dan Al-Amin pukul 01:00, dan terakhir masjid Jami’ yang terletak di jantung kota ini hingga pukul 03:00.

Bulan Ramadhan sudah hampir mencapai garis finish. Pada mulanya, kami berlima sangat bersemangat dan rajin mengikuti estafet jamaah shalat Tarawih. Namun, lama-kelamaan jumlah kami mulai berkurang, hanya dua
diantara kami yang masih setia mengikuti jadwal rutinan. Karena hanya dua orang, dan sama-sama punya sepeda motor, kami berdua berangkat sendiri-sendiri. Di malam yang ke-26 ini, ada kejadian yang membuatku prihatin. Sebelum sampai ke masjid, aku menyaksikan pemandangan aneh. Banyak orang berduyun-duyun memadati perempatan jalan, sehingga jalan utama menuju masjid Jami’ pun ditutup. Karena nekat, terpaksa aku mengambil jalan pintas lewat gang-gang kecil untuk sampai ke masjid Al-Huda. Di sepanjang perjalanan, aku melihat banyak anak muda yang berteriak “Irhal-irhal!” yang artinya, “Pergilah!”. Sudah tidak asing lagi, kata-kata kasar itu ditujukan kepada mereka para pemilik toko di depan masjid Jami’ yang notabene bukan asli orang sini. Mereka adalah para pendatang dari daerah utara negeri ini, mereka datang hanya untuk kepentingan uang, katanya.

Tepat pukul 23:05, aku sudah sampai di masjid. Tanpa menghiraukan keadaan diluar sana, aku terhanyut oleh suasana khusyu’ di dalamnya. Setelah jamaah usai, aku bergegas bangkit ke masjid berikutnya. Adalah masjid An-Nur simbol peradaban kota ini, yang terkenal dengan menara khasnya. Sebagai wujud penghargaan, masjid ini dijadikan background uang kertas bernominal 500, nominal uang kertas terbesar kedua di negeri ini. Sesekali aku mendengar suara tembakan disusul gemuruh orang-orang dari arah luar masjid di saat jamaah sedang berlangsung. Awalnya, aku mengira itu hanyalah suara petasan. akan tetapi, pikiranku mulai menerka-nerka setelah membayangkan suasana tadi, ada kerusuhan diluar sana. Dan ternyata firasatku benar.

Setelah shalat jamaah selesai, aku menoleh ke kanan dan ke kiri seperti anak yang sedang mencari bapaknya. Aku tidak melihat teman-temanku yang biasanya masih duduk-duduk sambil bertadarus al-Quran di belakang shaff. Perasaanku mulai tidak enak. Tanpa berpikir panjang, aku bergegas bangkit ke luar masjid. Yang kupikirkan hanya satu, jalan pintas untuk pulang. Bagaimana caranya supaya pulang ke flat dengan selamat. Kutarik nafas dalam-dalam kemudian kuhembuskan seketika sembari kunyalakan motor kesayanganku, “Bismillaah, Ya Allah hamba memohon lindunganMu.”

Malam itu, suasana sangatlah mencekam. Huru-hara masih berlangsung. Orang-orang bergerombol berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap, melempari batu-batu kecil yang bertebaran dipinggir jalan ke arah pertokoan itu, berharap ingin membuka paksa pintu-pintu dorong dan jeruji toko-toko dengan tangan, linggis, dan berbagai peralatan yang terjangkau dan dipungut sekenanya di jalan atau sengaja dibakar agar pemiliknya ketakutan dan akhirnya angkat kaki. Lalu, toko-toko yang masih tertutup rapat-rapat oleh para penghuninya yang ketakutan itu dipenuhi oleh batu-batu dan serpihan lampu-lampu yang seharusnya tergantung rapi di depan tokonya.

Siapa sangka bila politik sudah memulai permainan caturnya, menabuh genderang perang dan telah menyiapkan telik sandi guna tujuan yang acapkali sarat untuk dipaham. Siapa sangka pula jikalau orang-orang itu adalah spion-spion yang kepentingannya hanyalah sebagai pengacau barisan depan musuh yang apabila balik arah, maut pun akan menghujamnya dari belakang.
“Aneh” pikirku.
Sama-sama menganggap musuh meski hidupnya saling berdampingan. Sudah hampir 11 tahun negeri ini bersatu. Negara kecil yang besarnya tidaklah melebihi pulau Kalimantan. Namun, mengapa mereka memaksakan diri untuk berpisah kembali? menganggap kedatangan mereka -pemilik toko-toko itu- adalah penjajah berwajah baru.

Dengan tangan gemetaran, aku berjalan pelan-pelan. Aku matikan lampu motorku agar tidak memancing perhatian. Batu-batu tercecer di sepanjang jalan di sekitar pertokoan. Aku membayangkan seperti sedang berada di medan perang. Pertokoan yang seharusnya ramai dengan lalu lalang para pembeli, dikala itu suasana menjadi genting mencengkam, sesekali suara tembakan gas air mata berdentum yang kemudian disusul dengan teriakan nakal anak-anak muda sabagai wujud kekesalan mereka terhadap aparat keamanan yang menghalangi aksi anarkisnya mengusir penjajah, katanya.

0 comments:

Posting Komentar

 
;