Senin, 25 November 2013 0 comments

Catatan Emas Untuk Sahabat (Sisi lain hari raya di Kampung Jauh)




Merayakan Hari Raya ‘Îed memang tak sepenuhnya menyenangkan bila tidak bersama sanak famili. Itulah fenomena yang dialami oleh diriku dan sebagian teman-teman seperjuanganku. Rasa ingin meramaikan hari yang diistimewakan oleh Allah swt. sedikit pupus jika sudah membayangkan sanak famili dan kerabat saling melepas kerinduan di kampung halaman. Mungkin banyak yang tidak mempedulikan hal itu. Ada yang tetap menampakkan wajah bahagianya meski sedikit terbebani. Ada pula yang masih berlagak seperti halnya di hari-hari biasa.



Seperti biasa, tidak seperti Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha nampaknya hanya diramaikan dengan hidangan menu-menu makanan bertemakan daging. Acara pemotongan hewan kurban hampir-hampir kasat mata. Tidak seperti suasana di kampung halaman, jangankan potong sapi, ritual potong ayam pun mudah ditemukan dan ditonton tanpa harus mencari papan pengumuman lokasi penyembelihannya.
Mungkin cerita yang sering kudengar ketika dulu masih duduk di bangku SMP itu sedikit ada benarnya, bahwa suasana perayaan Hari Idul Adha di negeri Arab itu lebih ramai dan meriah jika dibandingkan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitrinya. Akan tetapi, kebenaran cerita itu lebih tepatnya adalah penggambaran suasana di tanah suci. Keramaian tersebut sudah bisa dirasakan jauh hari sebelum hari H, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah. Dimulai dari aktivitas para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia bersatu-padu berada dalam satu tempat suci di Padang Arafah. Kemudian setelah waktu Maghrib tiba, mereka berbondong-bondong menuju satu tempat tujuan ke Muzdalifah. Lalu ketika fajar menyongsong, tepatnya seusai shalat Subuh, mereka bergegas menuju ke Mina untuk melempar jumroh, dan berikutnya melakukan thawaf dan Sa’i di Masjidil Haram. Disamping itu, gema suara talbiyah senantiasa mengiringi derap langkah kaki para jamaah haji, seakan menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya. Seiring perkembangan alat komukiasi modern, pemandangan luar biasa ini dapat disaksikan langsung oleh orang-orang di seluruh dunia yang dipancarkan di berbagai chanel televisi dan berita berskala internasional. Mungkin keramaian yang dimaksud dalam cerita yang terekam dalam memori ingatanku itu adalah keramaian ini, bukan keramaian yang sekarang sedang kualami dan kurasakan sendiri.
Kebahagiaan dan keramaian di Hari ‘Îed jadi lebih pupus lagi, setelah tadi pagi seusai Sang Khotib menyampaikan khutbahnya, aku terperanjat kaget mendengar kata penutup khutbahnya, “Bagi yang ingin pulang, silakan. Namun, telah ada di depan kalian jenazah orang mukmin, mari bersama-sama kita menyalatinya”. Aku sedikit tidak mempercayainya ternyata di depan shaf terdapat keranda mayat berkain hijau bertuliskan kalimat syahadat, spontan aku berucap, “Innâ lillâhi wa Innâ Ilaihi Râji’ûn”.
Seusai shalat jenazah, seperti biasa, lalu-lalang orang-orang memadati area parkir. Anak-anak perempuan kecil imut dihiasi seperti boneka, bergerombol sambil membawa pernak-pernik mainan kesana-kemari sembari ayahnya memegangi tangannya. Sekilas aku gemas melihat centilnya anak-anak kecil itu, namun sesekali aku membayangkan tingkah lucu adikku yang masih kecil dan imut. Aku merasa sedang ditemani adik kecilku kala suasana hatiku sedang merana kesepian.
Barangkali, sisi lain merayakan hari raya sudah semestinya aku rasakan. Tidak terus-menerus harus bersama sanak keluarga. Itu pun hanya kualami baru beberapa tahun ini. Tidak harus merasa kehilangan dan kesepian. Karena hal yang sama juga dirasakan oleh teman-teman seperjuanganku. Mereka selalu menjadi pelipur lara di saat hati sedang gundah-gelisah. Mereka juga selalu menjadi tempat berbagi cerita dan bertukar pikiran bila kekalutan tengah menghampiri pikiran. Pada akhirnya, sahabat-sahabatku inilah menjadi pelengkap kebahagiaanku di hari ini. Terima kasih sahabatku.

 
;