Rabu, 11 Desember 2013 1 comments

Wisata Rohani di Bumi Hadhramaut


Ingin sekedar berbagi pengalaman serta pengetahuan  selama perjalanan wisata religi di wadi Hadhramaut ini, Saya dan beberapa kawan seperjuangan. Berwisata religi dengan mengunjungi tempat-tempat peninggalan bersejarah dan makam-makam nabi serta para wali. Acara wisata religi ini biasa diselenggarakan pada hari-hari libur kuliah.
Di awal bulan Dzulhijjah, saat liburan Idul Adha dan hari Tasyrik yang lalu, Tepatnya pada hari Senin, 21 Oktober 2013 bertepatan dengan tanggal 16 Dzulhijjah 1434 H, saya dan kawan-kawan memulai acara rihlah ini, tempat pertama yang kami kunjungi yaitu: 
1. Abdurahman bin Ahmad Bajalhaban.
Salah seorang kekasih Allah yang memiliki kedudukan tinggi di sisiNya. Terkenal akan kesabarannya, sehingga dengan kesabaranya inilah beliau diangkat menjadi kekasih Allah. Makamnya terletak tidak jauh dari kota Tarim, tepatnya di desa Ramlah. Lokasinya berada di tanah lapang dan jauh dari pemukiman penduduk. Dari jalan utama, bangunan makamnya yang bercat putih tampak terlihat jelas. 

Dikisahkan bahwa beliau pada awalnya tidak tahu bahwa dirinya adalah seorang wali. Beliau mengetahui kelebihan itu dari orang lain. Menurut cerita yang masyhur, beliau memiliki istri yang sensitif. Namun, beliau menanggapi geliat sensitif istrinya dengan kesabaran. Setiap hari selalu saja begitu, meski dengan kelembutan dan keluwesan, watak istrinya tidak pernah berubah. Sampai pada suatu ketika, beliau kehabisan kesabarannya, beliau memutuskan untuk pergi ke sebuah gua guna beruzlah. Menenangkan diri untuk bisa lebih mendekatkan diri pada Allah dan mencari solusi tentang permasalahan yang sedang dihadapinya. Ditempat uzlahnya, beliau bertemu dengan dua orang laki-laki yang kebetulan sudah lebih dahulu menempati gua tersebut. Beliau meminta izin untuk tinggal bersama mereka dalam gua. Namun, salah satu dari dua orang tersebut mengajukan syarat, yaitu tugas giliran menyediakan makanan. Setelah beliau menyetujui, akhirnya beliau dizinkan tinggal bersama mereka dalam gua tersebut.

Suatu ketika, perbekalan makanan sudah hampir habis. Lalu salah satu dari kedua temannya yang mendapat tugas menyediakan makanan menengadahkan tangannya dan berdoa. Tidak lama kemudian, kejadian yang menakjubkan terjadi. Seketika, perbekalan makanan dan segala macam kebutuhan turun dari langit. Beliau takjub melihat peristiwa tersebut. Kejadian ini pun terulang lagi dengan cara yang sama, pas ketika teman yang satunya lagi mendapat tugas menyediakan jatah makanan di hari berikutnya. Karena penasaran, beliau bertanya mengenai rahasia dibalik karomah yang dimiliki kedua orang tersebut. Mereka menjawab bahwa rahasia terkabulnya doa mereka adalah berkat wasilah doa mereka dengan seorang wali Allah. Tidak cukup mendengar jawaban itu, beliau lantas bertanya siapa nama sosok wali Allah yang dengan wasilahnya doa-doa itu mudah dikabulkan. Kedua orang tersebut menjawab bahwa nama wali itu adalah Abdurrahman bin Ahmad Bajalhabban. Sontak beliau kaget mendengar jawaban tersebut. Belum juga puas mendengar jawaban itu, lantas beliau bertanya “ada apa dengan Abdurahman bin Ahmad Bajalhaban, kok bisa menghatarkan untuk mendapatkan makanan dari langit?”. Jawaban dua orang itu, “Sebab Abdurrahman bin Ahmad bajalhaban itu orang yang paling sabar menghadapi istrinya, sehingga dengan kesabarannya itu, beliau mendapat kedudukan yang tinggi dihadapan Allah SWT”.

Subhanallah ... setelah beliau mengetahui kewalian beliau dikarenakan kesabaran menghadapi istri, akhirnya beliau pulang dengan membawa tekad kesabaran terhadap istrinya yang menjadi penyebab diangkatnya derajat beliau disisi Allah. Adapula yang mengatakan bahwa istri beliau juga seorang wali, hanya saja tidak mau menampakkan kewaliannya. Begitu pula dengan beliau, Abdurrahman Bajalhabban. Sikap rendah diri beliau yang tidak menampakkan kelebihan yang beliau miliki dihadapan orang lain. Bahkan sampai-sampai kedua temannya tersebut tidak mengetahui bahwa yang sedang mereka ajak bicara adalah Abdurrahman Bajalhabban. Demikianlah sedikit kisah dari penggalan cerita kehidupan Al Wali Abdurrahman Bajalhabban.

Seusai membaca Yasin dan Tahlil, kami rehat sejenak. Menikmati sarapan pagi ala Tarim, dua potong roti bakhomri dan segelas susu sembari menikmati sejuknya udara pagi. Sesudah sarapan, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Waktu itu, kami berangkat dari asrama pukul 06:30 pagi dan belum sempat sarapan. Berikutnya, tempat kedua yang kami kunjungi adalah:


2.Nabi Handolah As. 

Tercatat ada 3 tempat makam nabi yang paling masyhur dan makamnya masih terlihat di bumi Hadhramaut sampai sekarang. Salah satunya yaitu nabi Handolah As. 
Seperti makam-makam nabi yang lainnya, makam nabi Handolah As memiliki ukuran panjang sekitar 20 kaki. Cerita lebih detailnya mengenai riwayat hidup beliau, kami belum menemukan satu kisah pun melainkan kisah masyhur bahwa tempat ini adalah tempat peristirahatan seorang utusan Allah SWT yang bernama Handolah As. 

Tepat disamping makam beliau, terdapat makam yang masih simpang siur siapa pemiliknya sebenarnya. Ukuran panjangnya, hampir menyamai makam beliau. Namun, menurut cerita yang masyhur, bahwa makam yang berada disampingnya adalah makam istri beliau. Mengenai namanya kami juga belum mengetahuinya, dikarenakan kurangnya pengetahuan kami serta sulitnya menemukan kisah riwayat hidup beliau di berbagai buku biografi (kutub al tarojim).
 
3. Al Muhajir Ila Allah Alhabib Ahmad bin Isa 

Setelah menziarahi nabi Handolah As., kami melanjutkan perjalanan menuju tempat peristirahatan kakek dari keturunan saadah bani A’lawiyin, yaitu Al Habib Almuhajir Ilallaah Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al’uraidhiy bin Ja’far As Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain, cucu Rasulullah Saw, bin Ali bin Abi Thalib dari ibu puteri seorang nabi, Fatimah Az Zahroh -radhiyallahu ‘anhum-. Makam beliau terletak di sebuah daerah yang bernama Husaisah. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, kurang lebih hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai kesini dari asrama tempat kami tinggal. Makam beliau berada diatas kaki gunung. Ada dua akses jalan menuju ke makam, jalan beraspal dan tangga batu. Kali ini, kami tidak perlu susah-susah berjalan, karena bus yang kami naiki dengan mudahnya berjalan melalui jalur aspal.

Beliau, Al Habib Ahmad bin Isa, dilahirkan di Bashrah, Irak pada tahun 273 H. Beliau tumbuh besar sampai menjadi orang terpandang di Irak. Beliau juga sempat menjabat sebagai wali (Qadhi) di Irak. Namun, ketika beliau melihat banyak sekali pertikaian dan perpecahan sekte agama di Irak, ditambah pula munculnya berbagai aliran dalam Islam yang sudah menyimpang dari ajaran Alquran dan Assunnah, pertumpahan darah dimana-mana, beliau berniat menyelamatkan ajaran Islam Ahlus Sunah wal Jama’ah yang dibawanya turun temurun dari para pengikut tabi’in dan terus sambung menyambung hingga ke Rasulullah Saw dengan pergi berhijrah meninggalkan negeri Irak menuju Hadhramaut, negeri yang jauh dari keramaian konflik politik dan perebutan kekuasaan, negeri gersang namun menumbuhkan banyak ulama dan para salihin. Sebab hijrah inilah, beliau diberi gelar “Al Imam Al Muahjir Ilallaah”.

Dengan niat yang tulus karena Allah semata dan tekad kuat yang beliau tanamkan, bersama 70 orang rombongannya ditemani dengan sang anak dan 3 orang cucunya, Ahmad bin Isa hijrah ke Hadhramaut. Sebelum sampai di Hadhramaut pada tanggal 14 Muharram tahun 319 H, terlebih dulu beliau beserta rombangan singgah di tanah haram. Rumah serta tanahnya di Irak dijual demi berjuang di jalan Allah SWT. Sesampainya di Hadhramaut, mulailah beliau berdakwah menyampaikan ajarannya, ajaran Islam Ahlus Sunah wal Jama’ah. Pada awal beliau berdakwah, beliau hidup berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya beliau menetap tinggal di sebuah desa yang bernama Husaisah sampai beliau wafat pada tahun 345 H. Dan dari Ahmad Almuhajir inilah menumbuhkan keturunan bani Alawiyin di Hadhramaut, dari cucu beliau yang bernama Alwi bin Ubaidillah bin Al Muhajir, Ahmad bin Isa, yang keturunannya tersebar di sebagian besar wilayah di Hadhramaut, serta di berbagai negara lainnya seperti; India, daerah pesisir Afrika, Malaysia, Singapura dan berbagai wilayah di Indonesia. 

Kisah hidup beliau ini sangatlah masyhur. Sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang tentang kisah hijrahnya beliau dari kota Irak menuju Hadhramaut. Dan lagi, tindak-tanduk beliau yang merupakan cerminan akhlak Rasulullah Saw. Hingga pada akhirnya, beliau sangat disukai oleh masyarakat pribumi Hadhramaut ini. Dengan akhlak, beliau mampu menyatukan antar kelompok yang saling berseteru. Akhlak serta manhaj yang beliau bawa dalam menyampaikan syariat Islam diteruskan oleh generasi penerusnya. Kemudian misi dakwah yang beliau ajarkan diteruskan oleh keturunannya sampai Islam dikenal oleh sebagian besar daerah di Asia Tenggara, India, Bangladesh, Pesisir Afrika dan penjuru dunia lainnya. 

Wujud buah perjuangan beliau dapat kami rasakan hingga saat ini. Berdirinya madrasah yang lebih dikenal saat ini dengan sebutan “Madrasah Hadhramaut” adalah bukti dari cerminan sistem pengajaran beliau dalam mengemban agama Islam yang berpegang teguh pada Alquran dan Assunah. Mengajarkan kepada umat bahwa Islam datang untuk menciptakan perdamaian di muka bumi. Tidak mencampuri permasalahan konflik, baik antar sesama umat, maupun antar golongan. Tugas pokok adalah menyerukan persatuan ukhuwah Islamiyah dan mengutamakan suri teladan yang baik. Dan yang paling utama adalah seperti yang tertera dalam Alquran :
وجادلهم بالتي هي أحسن [النحل:125] ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة 
Oleh karena itu, berdasar atas asas menciptakan perdamaian inilah, bukan sebuah mimpi jika ajaran Islam yang mereka bawa mampu tersebar di berbagai Negara dan diterima oleh sebagian besar masyarakat di dunia. Bukti yang paling nyata adalah tersebar luasnya Islam di Indonesia oleh para wali yang berasal dari keturunan saadah bani A’lawiyin. Lebih dari itu, bahwa proses penyebaran Islam tersebut tanpa disertai dengan seruan membawa pedang dan kuda dan tanpa ada setespun darah mengalir. 

Demikianlah, interpretasi yang dapat kami ambil dari sosok Almuhajir Ahmad bin Isa. Di tempat ini, setiap tahunnya, rutinitas peringatan haul dan tabligh akbar diadakan. Dimana para habaib, ulama dan tokoh masyarakat sama berkumpul meramaikan acara tersebut. Acara peringatan haul tersebut dilaksanakan pada hari ke-14 bulan Muharram.

4. Alhabib Ahmad Bin Muhammad Al Habsyi 

Seusai menziarahi Al Habib Ahmad bin Isa Al Muhajir, kami bergegas turun melalui anak tangga. Tepat diujung tangga paling bawah, berdiri sebuah bangunan yang didalamnya terdapat makam seorang putera keturunan rasulullah Saw. Beliau adalah Al Habib Ahmad bin Muhammad Al Habsyi yang juga seorang wali ahli zuhud dan ahli ibadah.
Beliau lahir dan hidup tumbuh besar di kota Tarim. Sejak kecil beliau terdidik menghafal Alquran dan gemar mencari ilmu. Bersama rekan seperjuangan, As Syaikh Abu Bakar bin Salim, beliau pergi mencari ilmu agama ke tanah haram; Mekah dan Madinah dan menetap tinggal disana selama bertahun-tahun.Beliau dikenal sebagai orang yang banyak bermujahadah, dan tekun beribadah hingga naik derajatnya menjadi hamba terpandang disisi Allah SWT.

Di akhir hayatnya, beliau memilih menetap dan tinggal di Husaisah sampai wafat dan dimakamkan disini pada tahun 1038 H. Hingga tempat ini dikenal dengan sebutan “Syi’b Ahmadain”. “Syi’b” yang berarti tempat celah diantara dua bukit yang menyatu dan “Ahmadain” berarti dua Ahmad, Al Muhajir Ahmad bin Isa dan beliau Ahmad bin Muhammad Al Habsyi. Kalau hendak bepergian ke kota Tarim, pasti akan terlebih dahulu melewati tempat ini, karena letaknya berada di dekat jalan utama. Warna putih bangunan makamnya serta anak tangga nampak terlihat jelas dari jalan.

5. Alhabib Ali Bin Muhammad Al Habsyi

Setelah dari Syi’b Ahmadain, kami melanjutkan perjalanan berikutnya menuju kota Seiyun. Kota Seiyun merupakan salah satu daerah paling ramai di provinsi Hadhramaut. Kegiatan penduduk berpusat di kota ini. Kalau diumpakan kota Tarim itu kecamatannya, maka Seiyun ini adalah Ibu kota Kabupatennya.

Sebelum adanya sistem pemerintahan republik, Hadhramaut ini terbagi atas empat wilayah kesultanan. Salah satunya yaitu kesultanan Al Katsiri yang berpusat di jantung kota Seiyun. Bangunan Istana kesultanan Alkatsiri yang sekarang dialihfungsikan menjadi museum nasional kota Seiyun ini masih berdiri tegap sebagai ikon kota ini.

Tidak jauh dari bangunan istana, terlihat area pemakaman. Diantara kawasan pemakaman tersebut, terlihat beberapa kubah. Diantara kubah tersebut ada yang bercat hijau. Dan ternyata, didalamnya adalah makam salah seorang wali sekaligus putera keturunan Rasulullah Saw. Jika mendengar karya beliau, orang sudah tak asing lagi mengenal sosok beliau. Dialah Al Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi, pengarang kitab sirah nabawiyah “Shimtud Dhurar”.

Tempat kelahiran beliau bukan di kota Seiyun. Beliau lahir di sebuah daerah yang bernama Qasam, sekitar 30 menit dari kota Tarim, pada tahun 1259 H. Ayahanda beliau, adalah salah seorang mufti agung di kota Mekah. Beliau berguru dari sang ayah. Dari didikan Ayahnya, beliau banyak memperoleh ilmu. Tidak merasa cukup dari ayahnya, beliau merantau ke berbagai daerah di Hijaz dan kota Zabid untuk menimba ilmu. Sepulangnya dari perantauan, beliau memilih menetap tinggal di kota Seiyun. Dan dari sinilah perjuangan dakwah beliau dimulai.

Sepuluh meter dari kubah, berdiri sebuah masjid yang dibangun oleh beliau. Masjid itu bernama Masjid Al Riyadh. Dan dibelakang masjid berdiri sebuah pondok atau lebih dikenal oleh masyarakat disini dengan sebutan “ribath”. Ribath adalah tempat para santri menimba ilmu. Ribath yang didirikan oleh beliau ini adalah ribath pertama kali yang didirikan di Hadhramaut. Sebelum adanya ribath, para santri yang belajar ditempatkan di zawiyah. Zawiyah menurut menurut istilah orang sini, adalah ruangan kecil yang dibangun disebelah masjid, atau diatasnya. Biasanya, zawiyah digunakan untuk tempat penyimpanan barang-barang perabotan masjid. Disamping digunakan untuk tempat penyimpanan, zawiyah difungsikan juga sebagai sarana tempat belajar dan mengajar ilmu agama. Seiring berjalannya waktu, banyak santri berdatangan dari luar daerah yang ingin berguru kepada beliau. Karena luas bidang zawiyah yang terbatas, dan jumlah santri yang terus bertambah, akhirnya dibangunlah sebuah tempat tinggal yang disitu menampung banyak santri dari luar daerah, yang kemudian disebut dengan Ribath. Ribath yang beliau bangun ini berdampingan dengan bangunan masjid.

Saat ini, bangunan ribath yang terlihat ini sangatlah unik. Atapnya, dibangun berbagai macam bentuk kubah. Kolaborasi gaya arsitektur Islam mewarnai bangunan ribath. Mulai dari kubah khadhra di masjid nabawiy, kubah shakhra di baitul maqdis, sampai kubah klasik masjid Al Azhar di Kairo. Setiap tahunnya, diadakan sebuah peringatan haul dan khataman yang diisi dengan berbagai macam kegiatan, mulai dari pembacaan maulid nabi “Simtud Dhurar”, ijazahan ilmu qiroat dan hadist dari para habaib, ulama dan masyayikh dan mau’idhoh hasanah.

Jam sudah menunjuk pukul siang, saatnya kami bergegas kembali ke tempat pemberhentian bus untuk makan siang dan istirahat. Demikianlah, sedikit dari kisah pengalaman dalam perjalanan wisata religi kami di bumi Hadhramaut ini. Sebenarnya, masih dan masih banyak lagi tempat-tempat bersejarah yang selalu saja menyibakkan aroma nafas rohani di hati para pengunjungnya. Semoga dengan membaca biografi para wali dan orang-orang saleh, kita juga ikut bersama-sama mereka dalam memperjuangkan agama dan syariat. Dan yang terpenting dari itu semua, kita mampu meneladani akhlak perbuatan mereka dalam ranah kehidupan sehari-hari. Sehingga kelak di akhirat nanti, kita juga ikut berkumpul bersama mereka dibawah panji rasul Muhammad Saw. Tulisan ini kami akhiri dengan mengutip perkataan Imam As Syafi’i: 
لعلّي أن أنال بهـم شفاعـة أحب الصالحين ولست منهم
“Aku sangat mencintai orang-orang saleh meski aku bukan termasuk dari golongan mereka. Mungkin saja (dengan aku mencintai mereka), aku bisa mendapatkan pertolongan mereka (syafa’at) nanti”. -Wallahu A’lam- 

Senin, 25 November 2013 0 comments

Catatan Emas Untuk Sahabat (Sisi lain hari raya di Kampung Jauh)




Merayakan Hari Raya ‘Îed memang tak sepenuhnya menyenangkan bila tidak bersama sanak famili. Itulah fenomena yang dialami oleh diriku dan sebagian teman-teman seperjuanganku. Rasa ingin meramaikan hari yang diistimewakan oleh Allah swt. sedikit pupus jika sudah membayangkan sanak famili dan kerabat saling melepas kerinduan di kampung halaman. Mungkin banyak yang tidak mempedulikan hal itu. Ada yang tetap menampakkan wajah bahagianya meski sedikit terbebani. Ada pula yang masih berlagak seperti halnya di hari-hari biasa.



Seperti biasa, tidak seperti Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha nampaknya hanya diramaikan dengan hidangan menu-menu makanan bertemakan daging. Acara pemotongan hewan kurban hampir-hampir kasat mata. Tidak seperti suasana di kampung halaman, jangankan potong sapi, ritual potong ayam pun mudah ditemukan dan ditonton tanpa harus mencari papan pengumuman lokasi penyembelihannya.
Mungkin cerita yang sering kudengar ketika dulu masih duduk di bangku SMP itu sedikit ada benarnya, bahwa suasana perayaan Hari Idul Adha di negeri Arab itu lebih ramai dan meriah jika dibandingkan dengan perayaan Hari Raya Idul Fitrinya. Akan tetapi, kebenaran cerita itu lebih tepatnya adalah penggambaran suasana di tanah suci. Keramaian tersebut sudah bisa dirasakan jauh hari sebelum hari H, yaitu tanggal 10 Dzulhijjah. Dimulai dari aktivitas para jamaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia bersatu-padu berada dalam satu tempat suci di Padang Arafah. Kemudian setelah waktu Maghrib tiba, mereka berbondong-bondong menuju satu tempat tujuan ke Muzdalifah. Lalu ketika fajar menyongsong, tepatnya seusai shalat Subuh, mereka bergegas menuju ke Mina untuk melempar jumroh, dan berikutnya melakukan thawaf dan Sa’i di Masjidil Haram. Disamping itu, gema suara talbiyah senantiasa mengiringi derap langkah kaki para jamaah haji, seakan menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya. Seiring perkembangan alat komukiasi modern, pemandangan luar biasa ini dapat disaksikan langsung oleh orang-orang di seluruh dunia yang dipancarkan di berbagai chanel televisi dan berita berskala internasional. Mungkin keramaian yang dimaksud dalam cerita yang terekam dalam memori ingatanku itu adalah keramaian ini, bukan keramaian yang sekarang sedang kualami dan kurasakan sendiri.
Kebahagiaan dan keramaian di Hari ‘Îed jadi lebih pupus lagi, setelah tadi pagi seusai Sang Khotib menyampaikan khutbahnya, aku terperanjat kaget mendengar kata penutup khutbahnya, “Bagi yang ingin pulang, silakan. Namun, telah ada di depan kalian jenazah orang mukmin, mari bersama-sama kita menyalatinya”. Aku sedikit tidak mempercayainya ternyata di depan shaf terdapat keranda mayat berkain hijau bertuliskan kalimat syahadat, spontan aku berucap, “Innâ lillâhi wa Innâ Ilaihi Râji’ûn”.
Seusai shalat jenazah, seperti biasa, lalu-lalang orang-orang memadati area parkir. Anak-anak perempuan kecil imut dihiasi seperti boneka, bergerombol sambil membawa pernak-pernik mainan kesana-kemari sembari ayahnya memegangi tangannya. Sekilas aku gemas melihat centilnya anak-anak kecil itu, namun sesekali aku membayangkan tingkah lucu adikku yang masih kecil dan imut. Aku merasa sedang ditemani adik kecilku kala suasana hatiku sedang merana kesepian.
Barangkali, sisi lain merayakan hari raya sudah semestinya aku rasakan. Tidak terus-menerus harus bersama sanak keluarga. Itu pun hanya kualami baru beberapa tahun ini. Tidak harus merasa kehilangan dan kesepian. Karena hal yang sama juga dirasakan oleh teman-teman seperjuanganku. Mereka selalu menjadi pelipur lara di saat hati sedang gundah-gelisah. Mereka juga selalu menjadi tempat berbagi cerita dan bertukar pikiran bila kekalutan tengah menghampiri pikiran. Pada akhirnya, sahabat-sahabatku inilah menjadi pelengkap kebahagiaanku di hari ini. Terima kasih sahabatku.

Kamis, 12 September 2013 0 comments

Restorasi Sistem Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Berkarakter (Bag.II)


2.3 Pentingnya Pendidikan Karakter
            Munculnya gagasan program pendidikan karakter di negeri kita, dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan. Diantaranya, yang paling dominan adalah permasalahan sosial yang timbul dari kurangnya pendidikan moral. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasa belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Banyak yang menyebut, pendidikan bangsa kita telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertakwa, profesional dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional mengupayakan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, dari mulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai di Perguruan Tinggi (PT). Prof. Muhammad Nuh, selaku Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dalam pertemuan Pimpinan Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed), Sabtu (15/4/2010), memaparkan tentang pentingnya pendidikan karakter dalam rangka turut mensukseskan amanat Undang-Undang dan harapan bangsa Indonesia. Karena, dengan adanya pendidikan karakter tersebut, para generasi penerus mampu membangun kepribadian bangsa. Menurutnya, pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Sebab, jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang[1].
Lalu, harus bagaimanakah sikap negara dalam mengupayakan pembentukan karakter bangsa ini? Adian Husain dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab”, memaparkan bahwa gagasan yang dibawa oleh Rasulullah Saw dalam membina karakter masyarakat Madinah sangatlah sesuai jika diterapkan di Indonesia. Bahkan, menurutnya, gagasan ini mampu diterapkan di berbagai model masyarakat, suku, ras dan bangsa. Pasalnya, nilai-nilai Islam dalam pandangan pemeluknya, diyakini sebagai pembentuk karakter sekaligus menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin nabi Muhamamd Saw, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi Muslim maupun bagi masyarakat plural.
Namun, menurutnya, dalam soal pendidikan karakter bagi anak didik, berbagai agama bisa bertemu. Islam dan Kristen dan berbagai agama lain bisa bertemu dalam penghormatan terhadap nilai-nilai keutamaan. Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing, tambahnya.
Adian menilai berbagai program pendidikan dan pengajaran pengajaran – seperti pelajaran Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), – belum mencapai hasil yang optimal. Karena, pemaksaan konsep yang sekularistik dan kurang seriusnya aspek pengalaman menjadi faktor penghalang utama dalam proses pembentukan karakter pada diri anak didik. Dalam realitanya, tidak ada contoh dalam program itu! Padahal,  aspek keteladanan dan percontohan menjadi pendorong utama dalam membentuk karakternya. Program pendidikan karakter sangat memerlukan contoh dan keteladanan. Kalau hanya slogan dan ’omongan’, orang Indonesia dikenal jagonya!, tegasnya.
Lanjutnya, Ia sangat menyayangkan praktek komersial yang terjadi di Indonesia dalam hal menyiasati kebijakan dan peraturan. Ia mencontohkan beberapa kasus yang sudah tak asing lagi terdengar di telinga kita. Seperti Ide UAN, kelihatannya bagus! Tapi, di lapangan, banyak yang bisa menyiasati bagaimana siswanya lulus semua. Sebab, itu tuntutan pejabat dan orang tua. Dan lagi, kebijakan sertifikasi guru, kelihatannya bagus! Tapi, karena mental materialis dan malas sudah bercokol, kebijakan itu memunculkan tradisi berburu sertifikat, bukan berburu ilmu. Jelas sekali perbuatan semacam ini dapat membunuh karakter generasi bangsa. Apalagi, sampai dibudidayakan[1].
Dalam bukunya yang berjudul “Pribadi” (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul:

”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain daripada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”

Kiranya, cukup jelas bahwa pendidikan karakter dinilai sangat penting dalam membangun pribadi bangsa ini. Oleh karena itu, pemerintah harus terus mengupayakan pencanangan program pendidikan karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional yang komprehensif dan kompatibel. Terlebih, mendukung segala upaya dan terobosan dari para pendidik yang cerdas dan kompeten. Sehingga pendidikan nasional tak hanya diterapkan di bangku kelas, melainkan diterapkan dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara.  
2.4 Pencanangan Megaproyek Pendidikan Keluarga
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 7 pada bagian kedua mengenai Hak dan Kewajiban Orang Tua, tertera ketetapan sebagai berikut :
  1. Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
  2. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Husain Muhammad Yusuf dalam bukunya “Ahdâf al-Usrah Fil Islâm” menjelaskan, bahwa keluarga adalah batu pertama dalam membangun negara. Menurutnya, sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya. Penghargaan Islam terhadap keluarga sangatlah tinggi. Betapa tidak, keluarga adalah unit yang paling mendasar diantara unit-unit pembangunan negara. Di antara fungsi besar dalam keluarga adalah fungsi edukatif (tarbiyah). Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila ada kesalahan dalam pendidikan awalnya, maka peluang akan terjadinya berbagai penyimpangan di masa mendatang pada anak akan semakin tinggi. Oleh kerena itu, pada dasarnya, Islam menjadikan pendidikan sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Abdul Ala' al-Maududi Ulama asal Pakistan, mengartikan kata tarbiyah sebagai mendidik dan memberikan perhatian.
Setidaknya ada empat unsur penting dalam pendidikan keluarga. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah obyek didik. Kedua, mengembangkan bakat dan potensi obyek sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ketiga, mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Keempat, seluruh proses tersebut dilakukan secara bertahap. Keempat unsur tersebut menunjukan pentingnya peran pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga akan membentuk karakter kepribadian anggotanya dan akan mewarnai masyarakatnya. Singkatnya, keluarga merupakan laboratorium mini peradaban suatu bangsa. Abdullah Nâsih Ulwan dalam bukunya “Tarbiyatul Awlâd Fil Islâm”, menjelaskan bahwa ada 7 macam pendidikan integratif yang harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga untuk mendidik anggota keluarga untuk menjadi hamba Allah yang taat dan mampu mencetak kepribadian unggul berkarakter. Ketujuh pendidikan tersebut adalah:
  1. Pendidikan Iman. Pendidikan Iman merupakan pendidikan utama yang berperan sebagai pondasi kokoh bagi semua jenis substansi pendidikan.
  2. Pendidikan Moral. Pendidikan moral ini akan menjadi bingkai kehidupan manusia setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Disaat budaya masyarakat menyebabkan degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi signifikan manfaatnya.
  3. Pendidikan Psikis. Pendidikan ini membentuk berbagai karakter positif kejiwaan seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimis dan lain sebagainya. Karakter akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya.
  4. Pendidikan Fisik. Pendidikan ini menjadi benteng jasmani keluarga. Dalam keluarga, tumbuh kembang seorang anak terpantau. Gaya hidup sehat dapat dibangun dalam keluarga, seperti mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, serta berolahraga. Proses ini sangat penting dalam menyiapkan kekuatan fisik agar tubuh menjadi sehat dan kuat.
  5. Pendidikan Intelektual. Pendidikan ini harus diterapkan dalam keluarga sejak dini. Karena peradaban masa depan suatu bangsa akan bergantung pada kapasitas intelektual generasi mudanya. Tentunya, anggota keluarga harus memiliki kecerdasan yang memadai karena mereka akan mengahadapi arus persaingan di era globalisasi saat ini. Peran sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat.
  6. Pendidikan Seksual. Pendidikan ini diperlukan untuk membangun kesadaran anggota keluarga terhadap peran dan tanggung jawabnya berdasarkan jenis kelamin; laki-laki dan perempuan. Selain pengajaran tentang kesadaran peran tersebut, juga perlu ditekankan tentang pengetahuan, sikap dan perilaku yang benar dalam permasalahan kesehatan reproduksi. Bukan hanya kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki yang sudah menginjak usia dewasa, tentang tata cara bersuci dan kewajiban mandi besar dalam konsep ilmu fikih.
  7. Pendidikan Politik. Dalam keluarga, pendidikan ini juga diperlukan untuk membangun kesadaran dan membangun kemampuan anggota keluarga dalam menyikapi berbagai persoalan politik yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat[1].
Dan berikut adalah upaya yang dapat dilakukan pemimpin rumah tangga dalam menyusun proyek dalam keluarga untuk mewujudkan terlaksananya pendidikan keluarga melalui cara sebagai berikut:
1.      Mengalokasikan waktu guna membangun rencana strategis keluarga, yang dibagi dalam tujuh proyek sosialisasi keluarga untuk jangka waktu tertentu.
2.      Membuat turunan dari rencana tersebut untuk program tahunannya. Dan tidak lupa untuk menunjuk penanggungjawab setiap program. Sosialisasikanlah kepada pihak-pihak terkait , seperti pembantu, keluarga yang tinggal serumah.
3.      Melakukan evaluasi dan masukan bagi perbaikan pelaksana program selanjutnya.
Selanjutnya, peran negara adalah turut mensukseskan megaproyek pendidikan keluarga ini dengan cara mensosialisasikannya dalam gagasan sistem pendidikan nasional. Dengan begitu, pesan amanat yang termaktub dalam pembukaan alinea ke-IV yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa serta membangun generasi bangsa Indonesia berkarakter, dapat tercapai dengan maksimal.
Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
  1. Pendidikan adalah proses pengawalan terhadap perkembangan pemikiran, moral, akhlak dan diri. Pendidikan bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Acuan utama bukan kelulusan semata, namun karakter anak didik juga perlu perhatian intensif.
  2. Muncul stigma di tengah masyarakat bahwa Pendidikan Nasional dianggap gagal. Salah satu solusi efektif memperbaiki Sistem Pendidikan Nasional kita adalah dengan cara merestorasi nilai-nilai yang terkandung dalam ketetapan Undang-Undang; tujuan, peran dan fungsi.
  3. Memahami pesan amanat alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945, pemerintah harus serius dalam menangani masalah pendidikan. Segala kebijakan harus dipertimbangkan secara proporsional.
  4. Sistem Pendidikan Nasional harus sesuai dengan Pasal 31 Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
  5. Upaya pemerintah dalam pencangan Program Pendidikan Karakter juga harus diimbangi dengan sistem pendidikan yang komprehensif. Bangsa ini perlu belajar banyak tentang gagasan Rasulullah Saw dalam membina karakter masyarakat Madinah. Gagasan ini sangat sesuai dengan corak kemajemukan masyarakat Indonesia.
  6. Pendidikan karakter  memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria; malu berbuat curang; malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
  7. Perhatian lebih dari negara terhadap pendidikan keluarga. Karena keluarga adalah lingkungan pertama dimana manusia hidup dan mendapatkan bimbingan. Dalam keluarga tumbuh berbagai bakat, terbentuk pemikiran, dan remaja beraktivitas dalam keluarga. Keluarga adalah institusi pendidikan utama membentuk dan membentuk generasi. Wa Allahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an dan Terjemahannya. Madinah Munawwarah: Mujamma' al-Mâlik Fahd li Thibâ'at al-Mushȟaf al-Syarîf.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (Hasil Amendemen Ke-IV)

UU RI Nomor 20 Tahun 2003. Tentang, “Sistem Pendidikan Nasional”, Lembaran Negara RI No. 4301.

Peraturan Mendikbud RI Nomor 3 Tahun 2013. Tentang, “Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional”, Berita Negara RI Tahun 2013 Nomor 107.

Al Kilâniy, Mâjid ‘Arsân. 2009. Falsafah al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Yordania: Dâr al-Fath.

Al-Ghazâlî, Muhammad. 2005. Ȟuqûq al-Insân baina Ta'âlîm al-Islâm wa I'lân al-Umam al-Muttaȟidah. Cet. Ke-4. Nahdhah Mishr.

Antara News. (15/4/2010). “Mendiknas: Penerapan Pendidikan Karakter Dimulai SD”, http://antaranews.com/berita/1273933824/mendiknas-penerapan-pendidikan-karakter-dimulai-sc.

Husaini, Adian. 2010. Pendidikan Islam:Membangun Manusia Berkarakter dan Beadab. Jakarta: Cakrawala Publishing.

Malik, Abdul (HAMKA). 1982. Pribadi. Cetakan Ke-10. Jakarta: Bulan Bintang.

Syihab, Muhammad Quraisy. 1996. Wawasan Alquran. Cet. Ke-13. Jakarta: Penerbit Mizan.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Ulwan, Abdullah Nâsih. Tarbiyatul Awlâd. Kairo: Dâr al-Salâm.

Yusuf, Husain Muhammad. 1991. Ahdâf al-Usrah fi al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabi.

0 comments

Restorasi Sistem Pendidikan Nasional Menuju Indonesia Berkarakter (Bag.I)


“… pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut malaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ...”
(Alinea Ke-IV Pembukaan UUD 1945)

Bab I
Mukadimah
Tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan dan fungsi dicanangkannya program Pendidikan Nasional. Salah satu tujuan utama pencanangan Sistem Pendidikan Nasional tersebut adalah mencetak pribadi bangsa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Sedangkan fungsi daripada Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tersebut. 
Tertera pula dalam bab III pasal 4 mengenai enam prinsip yang menjadi pondasi pencanangan program Pendidikan Nasional. Salah satunya prinsipnya adalah pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak bersifat diskriminatif. Adapun upaya merealisasikannya, dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Dan lagi, Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Keputusan diselenggarakannya Pendidikan Nasional tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping itu, tujuan utama yang ingin dicapai dari upaya tersebut -sebagaimana yang tertera dalam pasal 31 ayat 3 UUD 1945, hasil amendemen ke-IV tahun 2002- yaitu guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mencetak pribadi bangsa yang berakhlak mulia.
Tentunya, kita tak ingin aturan yang tertera dalam ketetapan undang-undang tersebut hanya sebuah artefak linguistik belaka. Pasalnya, begitu banyak orang menilai Sistem Pendidikan Nasional kita dirasa kurang optimal dalam mencetak generasi bangsa yang berkarakter unggul. Bahkan, ada yang menilainya gagal. Terlebih, banyak instansi pendidikan yang sudah tidak percaya lagi dengan dedikasi negara. Mereka menganggap pendidikan di tanah air tak ubahnya seperti bisnis. Yang dicari hanya kepentingan materi. Akibatnya, Program Pendidikan Nasioanl semakin tidak terkontrol.
Untuk itu, perlu adanya penataan ulang sistem pendidikan kita guna mereaktualisasikan ketetapan undang-undang. Sebuah kebijakan yang konsisten pada tujuan, fungsi dan prinsip diberlakukannya Pendidikan Nasional itu sendiri. Sebuah kebijakan yang mampu merefleksikan substansi Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai agama, HAM dan moral. Tentunya, kita perlu memahami kembali isi dari ketetapan undang-undang tersebut. Stigma masyarakat mengenai pendidikan nasional harus secepatnya dihilangkan. Agar tidak berlarut-larut, solusi efektif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan cara pemugaran kembali wacana pendidikan kita agar tetap eksis sesuai harapan bangsa demi mencetak generasi Indonesia yang berkarakter, cerdas dan berbudi luhur.

Bab II
Pembahasan
2.1 Amanat Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945
Memahami amanat pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke empat, menjadi jelas bahwa tanggung jawab negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kata “cerdas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti sempurna perkembangan akal budinya, baik untuk berpikir dan mengerti. Sedangkan kata “Mencerdaskan” berarti mengusahakan agar sempurna akal budinya atau dalam arti lain usaha agar menjadi cerdas. Secara popular, kecerdasan kerap didefinisikan sebagai kemampuan seseorang mempelajari dan menerapkan pengetahuan untuk mengendalikan lingkungan. Para ahli sepakat bahwa kecerdasan adalah kata yang memayungi berbagai kemampuan mental seperti kemampuan memecahkan masalah, pengetahuan umum, kreativitas, kemampuan menganalisis, serta kemampuan mengubah lingkungan saat ini.  Dengan definisi semacam ini, dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya, kecerdasan seseorang tidak harus diperoleh setelah melalui jenjang pendidikan tertentu. Untuk meraih kecerdasan, tidak harus bergelar doktor atau profesor.
Ada yang berpendapat bahwa faktor utama dalam menentukan cerdas dan tidaknya seseorang adalah  faktor GEN keturunan. Menurut mereka, kecerdasan adalah kemampuan belajar secara abstrak, dan kecerdasan itu merupakan sesuatu yang diwariskan dan tidak dapat berubah (Lewis Madison Terman, pakar psikologi asal AS). Namun, Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan seseorang itu cerdas bukan karena ibu atau bapaknya cerdas, tapi karena faktor penunjang lainnya. Tentunya, Allah SWT menganugerahi akal, pikiran, serta nurani pada diri manusia supaya mereka cerdas, yaitu cerdas dalam menyikapi realita kehidupan.
Berbeda dengan kata “pandai”, menurut KBBI, kata “pandai” memiliki arti cepat menangkap pelajaran dan mengerti sesuatu, pintar, cakap, mahir, dapat atau sanggup menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Oleh karena itu, arti dari kata pandai tidak bisa kita samakan dengan arti kata cerdas. Karena masing-masing memiliki cakupan makna yang berbeda.
Menurut pengamatan hemat penulis, kepandaian seseorang terealisasi setelah melalui proses panjang dan terkesan prosedural. Kepandaian seseorang dapat diperoleh setelah melalui jenjang pendidikan tertentu. Untuk meraih kepandaian dalam bidang tertentu, ia harus menamatkan materi dalam bidang tersebut secara tuntas. Artinya, untuk mampu menguasai bidang C, ia harus melalui tahap A, tahap B. Sedangkan cerdas tidaklah demikian. Meski ia masih berada di tahap A, namun ia mampu menguasai tahap C tanpa harus melalui tahap B terlebih dahulu. Oleh karena itu, orang pandai belum tentu cerdas, namun orang cerdas sudah pasti pandai. Benar juga apa kata pepatah “Rajin Pangkal Pandai” bukan “Rajin Pangkal Cerdas”.
Banyak kritikan dari berbagai pihak mengenai penggunaan kata “mencerdaskan” yang termaktub dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa penggunaan kata tersebut kurang objektif, karena merealisasikan kecerdasan tidak semudah merealisasikan kepandaian.  Mencerdaskan individu saja sangat sulit, apalagi mencerdaskan kehidupan bangsa? Meski demikian, secara yuridis, Pembukaan UUD (preambule) berkedudukan lebih tinggi daripada UUD itu sendiri, karena ia berstatus sebagai pokok kaidah fundamental Negara Republik Indonesia. Sifatnya abadi dan tidak dapat diubah oleh siapapun walaupun oleh MPR ataupun dengan jalan hukum lainnya. Oleh karena itu, ia bersifat imperatif.
Hal tersebut dibuktikan bahwa dalam amandemen UUD NKRI tahun 1945 the second framers bersepakat untuk tidak mengubah pembukaan UUD. Karena  mengubah pembukaan UUD sama saja artinya dengan mengubah tujuan negara. Dalam kondisi tersebut berarti bahwa tujuan negara yang ada dalam pembukaan tidak mengalami pergeseran sedikit pun dari niat yang semula.
Terlepas dari validitas diksi pada Pembukaan UUD dalam alinea ke-IV tersebut, negara sebagai wadah bangsa mempunyai tanggung jawab besar dalam hal mengemban pendidikan nasional yang dinilai mampu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah keharusan bagi negara untuk melaksanakan amanat tersebut. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus digalakkan dan didukung oleh semua pihak. Mengingat, bangsa yang kuat bukanlah bangsa yang kaya akan SDA-nya, namun bangsa yang kuat adalah bangsa yang kaya akan kecerdasan SDM-nya.

2.2 Dedikasi Negara dalam Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wujud implementasi dari tujuan negara tersebut salah satunya adalah melindung hak memperoleh pendidikan. Pendidikan adalah kebutuhan fitrah bagi setiap individu manusia guna melangsungkan kehidupannya, sehingga pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karenanya, negara sebagai regulator wajib menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan pemenuhan fasilitas pendidikan yang layak, memadai dan bermutu. Oleh karena pendidikan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap individu, maka persoalan pendidikan tidak dapat dianggap mudah. Dengan tidak terkelolanya pendidikan dengan baik, maka akan menimbulkan dampak permasalahan sosial yang serius bagi bangsa.
Upaya Pemerataan dalam pemenuhan pendidikan merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Dalam mengambil segala kebijakan, negara/pemerintah harus senantiasa mengacu pada tujuan utama guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan sampai dalih untuk pemerataan pendidikan harus mengorbankan tujuan tersebut, terutama terkait pelaksanaan program pendidikan dalam negeri berskala nasional. Dalam hal pendidikan, hendaknya keberadaan negara mampu menjadi regulator yang baik dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan amanat pasal 31 ayat 3 UUD 1945 hasil amendemen yang ke-IV tahun 2002, bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Salah satu bentuk pilihan yang dilakukan oleh pemerintahan dalam pemerataan pendidikan itu adalah dengan mengundangkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini menggantikan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak relevan serta perlu adanya penyempurnaan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, akankah Undang-Undang yang baru ini dipahami secara secara mendalam oleh para petinggi negara, dan pendidik bangsa, sehingga cita-cita luhur memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat terwujud dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara??
Dalam ranah teori, pendidikan dan pengajaran memiliki arti yang saling berbeda. Pengajaran hanya sekedar proses transformasi ilmu dari pengajar kepada yang diajar (transfer of knowledge) tanpa harus memperhatikan dampak dari ilmu itu sendiri. Sedangkan pendidikan adalah proses pengawalan terhadap perkembangan pemikiran, moral, akhlak dan diri. Artinya, pendidikan lebih luas cakupannya daripada pengajaran karena pendidikan mencakup intelektual dan moralitas.
Oleh Karena itu, pemerintah harus senantiasa mempertimbangkan segala kebijakan program pendidikan. Dalam hal ini, penulis hanya ingin memaparkan dua poin terpenting yang harus diketahui bersama, baik pemerintah maupun nonpemerintah:
Poin Pertama, tujuan Program Pendidikan Nasional, guna meningkatkan keimanan, ketakwaan serta akhlak mulia.
Hal ini, mengacu pada isi UUD 1945 hasil amendemen ke-IV pasal 31 ayat 3. Disitu tertulis “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan, dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.
Ketakwaan, keimanan dan akhlak mulia memiliki korelasi yang kuat dengan substansi keilmuan seseorang. Tiga sifat tersebut merupakan cermin sikap patuh terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kapasitas ilmu yang ia miliki. Semakin tinggi keilmuan seseorang, semakin besar pula ketakwaan dan keimanannya. Firman Allah SWT dalam surah Fathir,”Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya adalah ulama” (QS. Fathir [35]: 28)
Bertendensi pada isi pesan surah Al ‘Ashr, Dr. M. Quraisy Syihab, dalam bukunya “Wawasan Al Quran” memaparkan bahwa keimanan seseorang dinilai belum cukup tanpa amal kebaikan. Bahkan, menurutnya, iman dan amal kebaikan saja belum dianggap cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal kebaikan dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak disertai keimanan[1].
Poin Kedua, memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Sebagaimana isi pasal 31 ayat 5. Dalam ayat tersebut tertera “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
            Agama dan persatuan bangsa merupakan cerminan ideologi Pancasila. Dalam hal kemajuan IPTEK pun tak lepas dari substansi ajaran agama. Agama memerintahkan kita untuk senantiasa membaca, menganalisa, mendalami, meneliti, bertafakur, dsb. atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini sebagai perantara untuk mengenal-Nya lebih dalam. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi”. (QS. Albaqarah [2]: 164)

Sabtu, 06 Juli 2013 1 comments

صيغة منتهى الجموع


بسم الله الرحمن الرحيم


          الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد المرسلين سيدنا محمد بن عبد الله الأمين وعلى آله وأصحابه أجمعين. أما بعد، فإن هذا بُحيث يعبر فيه عن ما يدور في ذهني حول الموضوع المطروح. وقد كتبت موضوعا عاما عن صيغة منتهى الجموع. وسأحاول أن أجمعه باختصار تحت عناوين صغرى كالتالي :
أولا: تعريف "منتهى الجموع"
          هو كل جمع كان بعد ألف تكسيره حرفان، أو ثلاثة أحرف وسطها ساكن([1]). وقد تسمى أيضا الجمع الأقصى. وهناك شيء اسمه "شبه منتهى الجموع". تعريفه، ذكره في المعجم المفصل عن تعريف شبه منتهى الجموع تعريفَ الاصطلاحي، هو اسم يدل على واحد، وهو بصيغة من صيَغ منتهى الجموع، نحو : ((سراويل)) الذي يدل على مفرد وهو بمعنى ((السروال)).  وسميت بصيغة منتهى الجموع لانتهاء الجمع إليها، فلا يجوز أن يجمع بعدها مرة أخرى، بخلاف غيرها من الجموع فإنها قد تجمع، مثل : كلب، وأكلب وأكالب. ونَعْم وأنعام وأناعم.
قال الشيخ الرضى: ((وصيغة منتهى الجموع هي وزن غاية جموع التكسير؛ لأنه، يجمع الاسم جمع التكسير جمعاً بعد جمع فإذا وصل إلى هذا الوزن امتنع جمعه التكسير. وإنما قيدنا بغاية جمع التكسير؛لأنه لا يمتنع جمعه جمع السلامة، وإن لم يكن قياساً مطردا )) ([2])،ومثّل بقوله صلى الله عليه وسلم: ((انّكن صواحبات يوسف )) وقوله: جذب الصراريين بالكرور... يثانيها. فـ صراريين جمع صراء،وهو جمع صار بمعنى الملاح، فهما جمعا سلامة.
ثانيا: صيَغه
أما صيغه فكثيرة جدا، عددها علماء الصرف على تسعة عشر وزنا([3])، وهي:
-فَعالِيل كـ دنانير
-مَفاعِل كـ مساجد
-فَواعِيل كـ طواحين
-فَعالِي كـ تراق
-أفاعِل كـ أنامل
-مفَاعِيل كـ مصابيح
-فَيََاعِل كـ صيارف
-فُعالى كـ سكارى
-أفاعِيل كـ أضابير
-يَفاعِل كـ يحامد
-فياعِيل كـ دياجير
-فَعالِيُّ كـ كراسِيّ
-تفاعِل كـ تجارب
-يَفاعِيل كـ يحاميم
-فعائل كـ صحائف

-تفاعِيْل كـ تسابيح
-فَوَاعِل كـ خواتم
-فَعَالى كـ عذارى

وحاول علماء اللغة أن يجعلوها تحت قاعدة مطردة. قال شيخ الرضى في شرحه على الكافية: (( وضابط هذه الصيغة: أن يكون أولها مفتوحا، وثالثها ألفا وبعدها حرفان، أدغم أحدهما في الآخر، أو لا، كمساجد، ودواب، أو ثلاثة ساكنة الوسط، فلو فات هذه الصيغة لم تؤثر الجمعية، كما في حمر، وحسان، مع أن في كل واحد منهما الجمعية والصفة)).
واشترط في هذه الصيغة أن تكون بغير هاء. وذلك، احترازا عن نحو: ملائكة؛ لأنّ التاء تقرب اللفظ من وزن المفرد، نحو كراهية وطواعية وعلانية، فتكسر من قوة جمعيته، فلا يقوم مقام السببين، ولا سيما على مذهب من قال إنّ قيامه مقامهما لكونه لا نظير له في الآحاد، ولا يلزم منع ثمان ورباع وحزاب، وإن حصلت فيها صيغة منتهى الجموع؛ لأن هذه الصيغة شرط السبب، والمؤثر هو المشروط مع الشرط([4]).
ثالثا: الفرق بين منتهى الجموع و جمع الجمع
          ويمكن أن نقول الفرق بينهما أن منتهى الجموع له صيغة معينة يقاس عليه، بينما جمع الجمع سماعيّ، فما ورد منه يُحفظ ولا يقاس عليه. ومما سُمع: بيت بُيوت بُيوتات، رَجُل رِجال رجالات، طريق طرق طرقات، عَطاء أَعْطية أَعْطِيات، فتْح فتوح فتوحات، فَيْض فُيوض فُيُوضات.
رابعا: المسائل المتعلقة بها
1-في باب التصغير؛ جواز التصحيح وقلب الواو ياء في الكلمة التي جمعت على صيغة منتهى الجموع.
يقال فيه أن الواو الواقعة بعد ياء التصغير -التي لا تحذف - لا يخلوا إما أن تكون لاماً أو غير لام، فاللام تقلب ياء لا غير، تقول: غُزَيّ وعُرَيَّة في غَزْو وعُرْوة، وكذا غُزَيَّان وعُشَيَّاء وغُزَيَّيّة بياءين مشدّدتين، في تصغير غزوان وعشوا وغَزْويَّة منسوبة إلى الغزو وأما غير اللام فإن كانت ساكنة في المكبر فلابد من قلبها ياء، نحو عُجَيِّز وجُزَير في عَجوز  وجَزور، وإن كانت فيه متحركة أصليةً كانت كأسْوَد ومِزْوَد، أَو زائدة كَجَدْوَل فالأكثر القلب، ويجوز تركه كأسَيْوِد وجُدَيْوِل ، وذلك، لقوّة الواو المتحركة، وعدم كونها في الآخر هو محل التغيير، وكون ياء التصغير عارضة غير لازمة. قال شيخ الرضى الاسترابادي في شرحه على ابن حاجب :(( قال بعضهم: إنما جاز ذلك حملاً على التكسير، نحو جداول وأساود، ولو كان حملاً عليه لجاز في مقام ومقال مُقَيْوم ومُقَيْول كما في مقاول ومقاوم))([5]).
قال في الهامش تعليقا على قوله ((أسود وجدول)): ((أسود أصله صفة من السواد، وقد سمى به نوع الحيات وهو العظيم الذى فيه سواد وقد قالوا في مؤنثه أسودة وقالوا في مؤنث الصفة سوداء ولم يفرق المؤلف رحمه الله بين الصفة والاسم في جواز الوجهين - وهما التصحيح وقلب الواو ياء في التصغير -، والذي حكاه أبو الحسن الأشمونى في شرحه الى الالفية في باب الابدال أنه إن جمعت الكلمة على صيغة منتهى الجموع جاز فيها الوجهان في التصغير، وذلك كأسود الاسم وجدول فقد قيل في جمعهما أساود وجداول، وأما إن كانت الكلمة لم تجمع على هذه الزنة فليس فيها إلا الاعلال وذلك كأسود وأعور وأحول وأحور إذ جاء جمعها على فعل - بضم فسكون - وإنما أجاز الوجهين: أما الاعلال فلانه الاصل، وأما التصحيح فحملا للتصغير على التكسير، وإنما لم يفرق المؤلف هذا الفرق لانه جعل علة جواز التصحيح قوة الواو بالحركة. اهـ)).([6])
2-إلحاق صيغة منتهى الجموع بالتاء  
قد تلحق التاء صيغة منتهى الجموع: إمَّا عِوَضًا عن الياء المحذوفة، كقَنَادِلَة فى قناديل، وإمّا للدلالة على أن الْجمع للمنسوب لا للمنسوب إليه، كأشَاعِثَة وأزارِقَة ومَهَالِبَة، وفي جمع أَشْعَثي وأزرقيّ ومُهَلَّبِي، نسبة إلى أشعثَ وأزرقَ ومهلبَ، وإمّا لإلحاق الجمع بالمفرد، كصَيَارِفة وصيَاقِلة، جمع صَيْرَف وصَيْقل لإلحاقهما بطَواعية وكراهية، وبها يصير الجمع منصرفا بعد أن كان ممنوعًا من الصرف. وربما تلحق التاءُ بعضَ صيغ الجموع لتأكيد التأنيث اللاّحق له، كحجارة وغمومة وخُؤولة([7]).
3-في العدد؛ ابتداء العدد في صيغة منتهى الجموع      
كما قد عرفنا، أن جمع القلة يبتديء بالثلاثة وينتهي بالعشرة. وجمع الكثرة يبتديء بالثلاثة ولا نهاية له. ويستثنى من ذلك، صيغة منتهى الجموع، فإنها تبتديء بأحد عشر. وذلك، إنما هو فيما كان له جمع قلة وجمع كثرة. أما ما لم يكن له إلا جمع واحد ولو كان صيغة منتهى الجموع فهو يستعمل للقلة والكثرة. وذلك كرجال وأرجل وكتب وكتاب وأفئدة وأعناق وكواتب ومساجد وقناديل([8]). أما ما له جمع قلة وجمع كثرة، كأضلع وضلوع وأضالع فالعرب قد تستعمل اللفظ الموضوع للقليل في موضع الكثير. وإنّ الجموع قد يقع بعضها موضع بعض ويستغنى ببعضها.
4-خلاف العلماء في تنوين العوض، هل الإعلال مقدَّم على منع الصرف أو العكس؟
          كما قد عرفنا، أن أقسام التنوين أربعة، منها تنوين العوض. وقد اختلف العلماء فيه. يقال أنّ تنوين العوض وهو إما عوض عن حرف. وذلك تنوين نحو جوارٍ وغواشٍ،وذك التنوين عوض عن الياء المحذوفة في الرفع والجر، وهذا مذهب سيبويه والجمهور. وذلك، لما فيه من التقاء الساكنين. وقالوا أنّ الإعلال مقدَّم على منع الصرف لتعلق الإعلال بجوهر الكلمة بخلاف منع الصرف فإنه حال للكلمة. فأصل جوارٍ جواريُ بالضم، والتنوين استثقلت الضمة على الباء فحذفت ثم حذفت الياء لالتقاء الساكنين ثم حذف التنوين لوجود صيغة منتهى الجموع تقديرًا؛ لأنّ المحذوف لعلة كالثابت فخيف رجوع الياء لزوال الساكنين في غير المنصرف المستثقل لفظًا بكونه منقوصًا ومعنى بكونه فرعًا، فعوّضوا التنوين من الياء لينقطع طمع رجوعها، أو للتخفيف بناءً على حمل مذهبهم على تقديم منع الصرف على الإعلال: فأصله بعد منع صرفه جواري بإسقاط التنوين استثقلت الضمة على الياء فحذفت ثم حذفت الياء تخفيفًا، وعوّض عنها التنوين لئلا يكون في اللفظ إخلال بالصيغة.
ومقابل مذهب سيبويه والجمهور ما قاله المبرد والزجاج أنه عوض عن حركة الياء ومنع الصرف مقدّم على الإعلال فأصله بعد منع صرفه جواري بإسقاط التنوين استثقلت الضمة على الياء فحذفت وأتى بالتنوين عوضًا عنها ثم حذفت الياء لالتقاء الساكنين، وكذا يقال في حالة الجر على الأقوال الثلاثة. وإنما كانت الفتحة حال الجر على تقديم منع الصرف ثقيلة لنيابتها عن ثقيل وهو الكسرة([9]).
والله أعلم بالصواب

 
;