Selasa, 26 Juni 2012 0 comments

DAFTAR NAMA PESERTA YANG LULUS SELEKSI BEASISWA UNIVERSITAS AL-AHGAFF TAHUN 2012





Dear: Sahabat Risalah
Di :
Semenanjung Lautan Ilmu

" Aquulu Lakum Ahlan Wa Sahlan Wa Marhaban "
Selamat buat adik-adik alumni Ar Risalah yang telah dinyatakan lulus beasiswa Al Ahgaff.
Berikut daftar nama calon mahasiswa Indonesia Al Ahgaff 2012-2013:


NO. NO. PESERTA NAMA ASAL SEKOLAH

a. 001/I/2012 Jantri M Ahmad AlKhairaat Dolo
2. 005/I/2012 M. Asy’ari Bayanuddin AlKhairaat Dolo
3. 008/I/2012 Arwan Bin Daeng Tantu AlKhairaat Dolo
4. 010/I/2012 Mohamad Haikal Al-Idrus AlKhairaat Dolo
5. 013/I/2012 Ali Zainal Abidin Alhabsyi AlKhairat Pusat Palu
6. 014/I/2012 Mashur Bin Hasan Al-Habsyi AlKhairat Pusat Palu
7. 015/I/2012 Muhamad Fadel Bin Taha AlKhairaat Raudhatul Mustofa 
8. 017/I/2012 Muhamad Risal Al-Istiqamah Ngata Baru
9. 018/I/2012 Muhammad Haikal Aljufri Daruttauhid Malang
10. 019/I/2012 Muhamad Syarif Hidayat Daruttauhid Malang
11. 020/I/2012 Muhamad Rafli AlKhairaat Raudhatul Mustofa
12. 021/I/2012 Husen Haikal Al-Habsyi AlKhairaat Raudhatul Mustofa
13. 023/I/2012 Kasmir Bin Abdullah AlKhairaat Dolo
14. 024/I/2012 Sutrisno P Buhang AlKhairaat Dolo
15. 025/I/2012 Sarimin Bn Hamid Timumun AlKhairaat Dolo
16. 029/I/2012 Muhammad Junaidi Ma’had Thalhah Bin Ubaidillah
17. 001/I/P/2012 Hilmiatun AlKhairaat Luwuk
18. 004/I/P/2012 Nurlaela AlKhairaat Pusat Palu
19. 003/II/2012 Redo Afriansyah Darul Iman Palembang
20. 004/II/2012 Ayub Bin Kasino TBS Kudus
21. 005/II/2012 Abdurrahman Amir Rhoudhatul Qur’an Riau
22. 006/II/2012 Yusi Andri Arriyadh Palembang
23. 009/II/2012 Arif Budiman Arriyadh Palembang
24. 011/II/2012 Muhammad Hafidh Arriyadh Palembang
25. 012/II/2012 Aji Nur Fauzan Arriyadh Palembang
Minggu, 17 Juni 2012 0 comments

METODE PENCARIAN ‘ILLAT ( MASALIK AL-‘ILLAT )*


Gambar naskah asli coretan penulis dalam kitab Ghayatul Wushul karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori



Dear : Teman-teman seperjuangan duf’ah 15
Di :
Istana Ruang Belajar
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Qiyas tidak akan dapat dijalankan sebelum ada sifat yang menyatukan antara ashl dan far’. Adanya sifat dalam teks nash tidaklah cukup untuk memvonis sebagai ‘illat, akan tetapi perlu adanya legalitas dari Syaari’ (pemegang otoritas  syari’at, Allah SWT dan rasul-Nya).
Dalam menginventarisir masaalik al-‘illat ini, para ulama’ melontarkan beragam sumber ataupun metode. Ada yang mengatakan sepuluh macam, ada pula yang mengatakan tidak sampai sebanyak itu. Pro kontra juga masih terjadi dalam kandungan masing-masing personalnya. Namun, dari kesekian masaalik al-‘illat  itu, secara umum dapat dikerucutkan dalam tiga macam masaalik al-‘illat,  yakni nash, ijma’, dan istinbath (metode pencarian dari selain nash  dan ijma’).
1.      Nash (Al-Quran dan Al-Hadist)
Dalam pemilahan masalik al-‘illat dalam nash, terdapat perbedaan cara pandang. Sebagian ulama’ membaginya dalam dua model penunjukan :
- nash  menunjukkan secara eksplisit (shariih), maksudnya dalam penunjukkan tidak dibutuhkan lagi pemikiran dan istidlal (pencarian bukti), bersifat pasti (qathi’) ataupun sekedar dugaan (zhanni). Namun ada pula ulama’ yang mengharuskan qathi’.
- nash menunjukkan secara implisit (ghair shariih), termasuk isyarat (iimaa’) atau peringatan (tanbiih).
            Adapula yang membaginya menjadi tiga, dengan menjadikan isyarat dan peringatan dalam kategori masaalik al-‘illat yang mandiri sebagaimana termaktub dalam kitab Ghayatul Wushul ilaa Lubbil Ushuul .
*Eksplisit (Shariih).
Penunjuk secara eksplisit dari nash terbagi dalam dua dimensi, qath’i dan zhanni :
a.       Qath’i (pasti)
Secara berurutan sesuai kadar kekuatan penunjukannya, bentuk-bentuk tekstual nash yang menunjukkan ‘illat secara shariih sekaligus qhat’i adalah:
-         Lafadz لعلة كذا  (karena alasan demikian) ataupun   لسبب كذا (karena sebab demikian.
-         Lafadz من أجل كذا  (oleh karena).
-         Lafadz كي  (supaya) ataupun كي لا (supaya tidak), dan juga إذن.


b.      Zhanni (asumtif)
Secara berurutan, huruf-huruf tersebut adalah:
-         Huruf لام (Laam)
-     Huruf أن (An), dengan terbaca fathaah pada hamzah, dengan sukun (mati) pada nun-nya. Lafadz ini menggunakan arti kata لأجل (li ajli) yang berarti “dengan maksud”, jadi fi’il mustaqbal yang jatuh setelah an menjadi ‘illat dari lafadz sebelumnya.
-     باء (ba’), Al-Zarkasyi mensyaratkan ba’ bisa berfungsi sebagai ta’liil bila layak menempati posisi laam.
-         إن (inna), dengan dibaca kasrah pada hamzah-nya dan sukun pada nun-nya.

*Implisit (Ghair al-shariih).
Yang dimaksud nash menunjukkan ‘illat secara implisit adalah bilamana nash tidak secara langsung menunjukkan ‘illat, akan tetapi perlu adanya suatu qariinah (indikasi) untuk mengarahkan suatu sifat yang terkandung dalam nash tersebut menjadi ‘illat. Dalam artian, nash tersebut tidak secara jelas menunjukkan ‘illat, akan tetapi hanya dengan isyarat dan peringatan               (إيماء و تنبيها). Hal ini terjadi jika ditemukan qariinah yang menjadikan nash  tersebut menunjukkan ‘illat. Diantara indikasi-indikasi (qariinah) tersebut adalah:
(1)   Sebuah hukum muncul sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah saw. Sebagaimana jawaban rasulullah saw atas kejadian yang menimpa orang badui :"أعتق رقبة" . Ungkapan rasul tersebut menunjukkan bahwa hubungan badan adalah ‘illat dari hukuman untuk memerdekakan budak.
(2)    Menggantungkan hukum atas ‘illat dengan fa’ ta’qiib (fa’ yang menunjukkan arti beriringan). Sebagaimana firman Allah SWT : (والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما).
(3)   Hukum ketika bersamaan dengan sifat yang munaasib (serasi). Contohnya adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: (لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان).
(4)   Membedakan hukum dengan perbedaan sifat. Hal ini juga juga bisa dijadikan jalan untuk menemukan ‘illat dari suatu nash. Penyebutan dua hukum dan sifat yang berbeda adakalanya secara bersamaan seperti sabda nabi yang berbunyi: (للراجل سهم وللفارس سهمان). Dan adakalanya dengan menyebutkan salah satunya saja sebagaimana sabda nabi: (القاتل لا يرث).
2.      Ijma’
Dalam memposisikan ijma’ sebagai metode pencarian ‘illat para ulama’ berbeda pandangan. Ibn al-Haajib, al-Zarkasyi, dan Syaikhul Islam  memilih untuk mendahulukan ijma’ daripada nash, dengan dalih bahwasannya ijma’ adalah salah satu faktor tarjiih (preferensi) dan merupakan alternatif pertama saat terjadi kontradiksi diantara dalil-dalil nash. Terlebih lagi kecil kemungkinan ijma’ dapat direvisi (naskh). Sedangkan al-Baidlhawi memilih mendahulukan nash daripada ijma’, dengan alas an bahwa nash adalah sumber sandaran bagi ijma’. Selain itu, dalil nash lebih mulia dan utama dibanding dalil-dalil lain.

3.      Al-Taqsiim wa al-Sabru
Al-Taqsiim adalah pengakomodiran seorang mujtahid terhadap semua sifat yang terkandung didalam ashl yang disinyalir pantas dan layak untuk diplot sebagai ‘illat  hukum ashl. Sedangkan al-sabru adalah observasi seorang mujtahid untuk menentukan satu dari sekian banyak sifat yang terkandung dalam ashl  yang berhasil diinventarisir, dengan cara membuang semua sifat yang dinilai tidak layak dijadikan ‘illat  dengan berpedoman pada dalil-dalil yang bisa menguatkannya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa al-taqsiim wa al-sabru  secara istilah adalah pengakomodiran mujtahid terhadap semua sifat yang disinyalir layak sebagai ‘illat  hukum ashl  kemudian dengan berpedoman pada syarat-syarat ‘illat, mujtahid mengkaji serta meneliti satu persatu dari sifat-sifat tersebut, yang pada akhirnya sang mujtahid menetapkan satu sifat yang dianggap paling tepat untuk dijadikan ‘illat dan membuang sifat-sifat yang dianggap tidak tepat. Praktek definisi di atas adalah seperti ungkapan mujtahid, “Setelah saya mengakomodir semua sifat yang layak kemudian mengkaji serta meneliti satu persatu sejauh kemampuan dengan tetap berpegang pada syarat-syarat ‘illat, ternyata hanya sifat inilah yang pantas dan paling tepat untuk diplot menjadi ‘illat”.
Ada dua macam model peringkasan  dan pembatalan sifat (al-taqsiim wa al-sabru) yang dilakukan mujtahid, yakni qath’i  dan zhanni. Qath’i (pasti) dalam arti, akal dapat memastikan bahwa tidak ada ‘illat lain selain sifat terpilih yang layak untuk dijadikan ‘illat, seperti menetapkan sifat shighar dalam permasalahan kewenangan ayah untuk menikahkan anak gadisnya yang belum dewasa. Sedangkan zhanni (dugaan), dalam arti penentuan mujtahid terhadap salah satu sifat tersebut belum sampai batas qathi’ sehingga masih ada peluang bagi mujtahid lain untuk berbeda kesimpulan dengannya, seperti dalam penentuan ‘illat harta ribawi.
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari pembahasan al-taqsiim wa al-sabru  adalah mengenai cara pembersihan sifat-sifat yang dinilai tidak relevan dan layak untuk diplot sebagai ‘illat. Dan saat melakukan sweeping terhadap sifat-sifat yang dinilai sesuai untuk hukum ashl. Dalam hal ini, ada dua langkah yang bisa ditempuh oleh para mujtahid, yakni al-ilghaa’, dan al-thardiyyah.
*Al-Ilghaa’ (pembatalan)
Sewaktu melakukan identifikasi terhadap sejumlah sifat, mujtahid menemukan sifat bahwa yang akan dijadikan ‘illat tersebut ternyata telah dinonfungsikan atau tidak dijadikan pijakan oleh ketetapan hukum yang telah ada, alias hukum syara’ bisa ditetapkan tanpa memperhitungkan sifat tersebut. Jadi, sifat tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap hukum. Seperti kalangan Hanafiyyah yang menganggap sifat shighar sebagai sebab tetapnya kekuasaan ayah dalam menikahkan anak gadisnya yang masih kecil, dengan tendensi bahwa untuk menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa, seorang ayah masih diperintahkan meminta izin anaknya terlebih dahulu.
*Al-Thardiyyah (pembuangan)
  Al-Thardiyyah adalah Pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak dianggap oleh Syaari’ yang dapat mempengaruhi penetapan hukum syara’. Jalan pembersihan sifat dengan menggunakan system ini ada dua macam:
(1)   Tidak diperhitungkan secara mutlak, yakni pembuangan sifat yang menurut mujtahid sama sekali tidak diperhitungkan oleh Syaari’ dalam penetapan semua hukum syara’. Seperti sifat panjang dan pendek, hitam dan putih, dan lain sebagainya.
(2)   Tidak diperhitungkan secara khusus dalam hukum sedang dibahas. Yakni, pembuangan mujtahid terhadap sifat yang tidak diperhitungkan Syaari’ dalam penetapan hukum pada kasus sejenis, kendati masih diperhitungkan dalam kasus lain. Seperti sifat gender (laki-laki dan perempuan) yang diperhitungkan Syaari’ dalam menetapkan hukum pembagian harta pusaka, persaksian, dan lain-lain.
*Tidak Nampak adanya munaasabah
Maksudnya adalah, bahwa dalam pandangan mujtahid, tidak nampak pada sifat yang akan dibuangnya, adanya munaasabah (keserasian) dengan hukum ashl yang dicarikan ‘illat-nya. Dalam menetapkan ada tidaknya munaasabah, mujtahid cukup menyatakan: “Setelah sifat ini saya kaji dengan teliti, ternyata tidak saya temukan adanya keserasian antara sifat ini dengan hukum yang saya bahas”. Mujtahid juga tidak diharuskan mengungkapkan bukti-butki ketidakserasian sifat tersebut, karena kecerdasan intelektual dan sifat adilnya cukup sebagai bukti atas kebenarannya.
4.      Tanqiih al-Manaath
Secara harfiah, tanqiih  berarti perbaikan, pemisahan dan pemurnian, sedangkan manaath  mempunyai arti sesuatu yang dijadikan hubungan atau persambungan (‘illat). Dalam terminologi ushul fiqh, terdapat dua versi
Rabu, 13 Juni 2012 0 comments

Waktu Kuliah Kita Disini Hanya 77 760 000 Detik Saja



Dear : Teman-teman seperjuangan
Di :
Tempat

Lalu apa gunanya sekolah dan universitas kalau kita akhirnya hanya memproduksi beo-beo seperti  para doktor pertanian yang tidak mampu membuat Jambu Indonesia atau Durian Indonesia , tetapi hanya membuat segala hasil-hasil pertanian serba Bangkok? Mengapa orang-orang berteriak-teriak seperti kebakaran jenggot ketika sejumlah oknum tak bermoral menjajakan gelar seperti pedagang kaki lima menjual obat sakit ginjal seharga Rp 100,00 di pinggir jalan? Tidaklah sekolah dan universitas juga hanya mampu melahirkan sarjana-sarjana, bahkan belakangan juga doktor, yang bisanya menjiplak karya orang lain? Bukankah kita telah lama tahu bahwa sebagian sarjana kita tidak pernah menghasilkan karya tulis serius setelah diwisuda (bahkan juga para doktor dan profesor hanya sesekali menulis di media cetak untuk dapat disebut pakar). [ Andrias Harefa ]

Kritikan pedas Andrias diatas, tajam dan mengena. Begitu orang membacanya -terutama dari kalangan mahasiswa, dosen, doktor bahkan professor-, seketika wajahnya merah memar karena malu akan terungkap keburukannya. Takut kalau fakta tersebut ternyata ada pada dirinya sendiri. Penulis juga merasakan hal yang sama, sepertinya ada sindiran pedas hendak tertuju ke arah kita, para mahasiswa Tim-Teng. Meski tidak lugas, namun tidak ada salahnya bila kita jauh-jauh hari sudah mempersiapkan benteng pertahanan imej. Imej kita dihadapan orang setanah air. Pastinya, kita tidak mengharapkan saudara Andrias datang ke tempat kita untuk melakukan studi banding. Yang nantinya, kitalah sasaran kritikan-kritikan pedas berikutnya nauudzubillaah-. Oleh sebab itu, penulis yang malang ini, ingin sedikit memotivasi diri dan juga teman-teman super sekalian. Semoga dengan hadirnya tulisan ini, waktu yang tadinya lewat begitu saja menjadi lewat segini saja

Berikut ini penggalan corat-coret penulis meski tidak seakurat penggaris plastik :D :
Mahasiswa adalah orang yang paling banyak punya waktu luang dan kesempatan besar. Bayangkan saja, dalam satu tahun (12 bulan), kita hanya dituntut masuk kuliah selama 8 bulan saja. 4 bulan untuk semester ganjil, 4 bulannya lagi untuk semester genap. Itupun, tak sepenuhnya kita gunakan waktu 8 bulan fulltime hanya untuk berangkat kuliah. Ada dispensasi waktu 4 minggu atau dibulatkan saja menjadi 1 bulan guna pelaksanaan ujian semester baik itu ganjil maupun genap. Berarti, waktu kita berkurang 1 bulan, dan bersisa 7 bulan buat aktif berangkat kuliah.

Rasanya, tidaklah rasional jika 7 bulan tidak ada hari liburnya. Sekurang-kurangnya ada sehari dalam satu minggu, entah itu hari minggu atau disesuaikan dengan yang ada disini, yaitu hari Jumat menurut keyakinan masing-masing individu, golongan, dan bahkan dari semua jenis bentuk kepentingan-kepentingan lainnya, baik itu kalangan santri, pekerja, pejabat, bahkan pelajar, terlebih mahasiswa seperti kita ini, kita semua butuh waktu istirahat sehari dalam seminggu. Berarti, dalam satu bulannya, waktu aktif kita berkurang 4 hari, Dan bila dikalikan dengan 7, maka hasilnya 28 hari. Ya, karena hitungan ini tidaklah seakurat perhitungan jangka sorong, maka kita samakan saja 28 hari dengan 1 bulan. Jadi, lagi-lagi waktu kita berkurang 1 bulan untuk jatah hari libur yang sudah dipatenkan itu. Berarti, kesimpulan sementara, waktu yang kita gunakan untuk bolak-balik aktif kuliah hanyalah 6 bulan saja,. Dan jikalau kita bandingkan dengan jumlah bulan dalam satu tahun, berarti, sekuat apapun kita menahan beban jam wajib kuliah, kita hanya akan dituntut untuk menahannya setengah tahun saja, selebihnya terserah kita.

Bayangkan !! hanya 6 bulan saja dalam satu tahunnya. Jika dikalikan dengan 5 tingkatan atau 10 semester, (artinya sampai kita lulus sarjana), maka waktu ngampus kita hanyalah 30 bulan saja atau dua tahun setengah. Coba bayangkan sekali lagi !! HANYA dua setengah tahun saja durasinya, Meskipun kenyataannya molor sampai 5 tahun.

Namun, jangan merasa sudah punya banyak waktu hanya dengan aktif kuliah 6 bulan
1 comments

Jaminan Allah SWT Terhadap Keorisinilan Al-Quran



Al-Quran adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT. Cakupannya meliputi seluruh aspek kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. Karena al-Quran diturunkan paling akhir, maka bukanlah  sesuatu yang aneh jika di dalam al-Quran terdapat kritikan tentang keorisinilan kitab-kitab suci yang telah diturunkan sebelumnya. Sudah sangat wajar bila informasi tersebut tertera didalamnya. Terlebih semua informasi yang terdapat didalamnya harus kita yakini kebenarannya karena setelah al-Quran tidak ada kitab suci lagi yang akan turun guna merevisinya. Oleh karena itu, tidak dibenarkan orang yang mengatakan bahwa kritikan tersebut hanyalah kebetulan.
Keyakinan kita sebagai umat islam terhadap keorisinilan kitab suci al-Quran harus tetap dijaga, kendati demikian karena Allah SWT telah berfirman :
(إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (QS. Al-Hijr:9)
Maka, segala bentuk usaha untuk melestarikan atau memelihara keorisinilannya harus tetap dipertahankan, baik dengan cara menghafalnya maupun mengajarkan makna yang terkandung di dalamnya, dan tentunya harus sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh baginda rasulullah saw turun temurun hingga sampai ke diri kita.
            Seandainya orang-orang merenungi keistimewaan umat ini dimana Allah SWT telah menjadikan hati ulama mereka sebagai sebab dalam penjagaan ayat-ayat Allah SWT yang jelas, niscaya mereka akan mengetahui betapa mulianya para penghafal kitabullah ini.
            Bahkan lebih mengherankan lagi, bahwa terdapat banyak penghafal-penghafal al-Quran, padahal mereka tidak dapat berbahasa Arab, namun lisan mereka sangatlah fasih melantunkan kalamullah tersebut, sebagaimana sering kita saksikan. Maka dari itu, Allah tidak memilah-milah mana orang arab atau yang pandai berbahasa Arab dan mana yang nonarab. Siapa yang hendak menjaganya dan berusaha mengahafalnya, maka Allah SWT pasti akan menganugerahkan mandat agung ini. Dan barangsiapa yang melalaikan tugas mulia ini, maka Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan orang-orang yang telah bersusah payah mengemban amanat agung ini sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
(ولقد يسرنا القرآن للذكر فهل من مدكر )
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambilpelajaran.” (QS. Al-Qamar:17)
Kata (للذكر)  yang berarti untuk mengingat, menghafal, dan memahaminya.
            Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Dr. Yahya Abdul Razak Ghautsani dalam buku fenomenalnya yang berjudul  “Kaifa Tahfazhul Quran”, bahwa ada lima fase penjagaan Allah SWT terhadap keorisinilan al-Quran :
Fase Pertama : Allah menjaga al-Quran di Lauh Mahfudh.
Firman Allah yang berbunyi :
(بل هو قرآن مجيد * في لوح محفوظ )
“Bahkan (yang didustakanmereka itu) ialah al-Quran yang mulia, yang tersimpan dalam Lauhul Mahfuzh.” (QS. Al-Buruj: 21-22)
menunjukkan bahwa sesunnguhnya al-Quran telah ada dan kekal terjaga di Lauhul Mahfuzh.
 Terdapat perbedaan diantara ulama ahli Qiraatn dalam membaca lafadh (محفوظ) , yang berarti terjaga. Ada dua pendapat, pendapat pertama adalah membacanya dengan kasrohtain atau dibaca khafadl (kasrah) (محفوظ ٍ) mahfuudzin. Sedangkan pendapat yang kedua, membacanya dengan dhommatain atau dibaca rafa’ (محفوظ ٌ ) mahfuudzun . Bila kita membacanya mengikuti pendapat yang pertama, maka kata (محفوظ ) “yang terjaga” menduduki sifat dari kata “Lauh” yang berarti papan yang terjaga. Keterangan ini, menjelaskan bahwa tulisan yang terkandung dan tertoreh pada lembaran ini adalah tulisan yang terjaga. Namun, bila kita membacanya rafa’, maka kata (محفوظ  ) “yang terjaga” adalah sifat dari kata “Quran” yang dibaca rafa’ juga. Keterangan ini menjelaskan bahwa al-Quran juga dijaga di lembaran tersebut (al-Lauh). 
Fase Kedua : Allah menjaga al-Quran ketika diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Sebagaimana Firman Allah yang berbunyi :
( عالم الغيب فلا يظهر على غيبه أحدا * إلا من ارتضى من رسول فإنه يسلك من بين يديه ومن خلفه رصدا * )
“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jinn: 26-27).
            Yang dimaksud ayat ini adalah Jibril as. Turun dengan membawa al-Quran dan ikut bersamanya beberapa malaikat dalam rangka menjaga al-Quran yang dibawanya, para malaikat ini juga menjaga di sekeliling Rasulullah saw., di muka maupun dibelakangnya. Keterangan ini
Sabtu, 09 Juni 2012 0 comments

Kenangan Terindah adalah Masa-Masa Kecil

Dear : Sahabat-Sahabat Imut Fourth-G :D
Di :
Relung Kalbu


Zaki Batu

Soni Mijaya
Muhammad Hamid Hilmi

Baharudin
Belum Dikasih Nama
Angga Khatulistiwa


Bushairi
Auva Fuad

Mahardika
Adnan
Avit

 
;