Minggu, 30 Desember 2012 0 comments

Satu Kata Banyak Arti



Ada yang unik dari sebuah kata dalam bahasa Arab, salah satunya ada pembahasan ini. Yaitu satu buah kata yang memiliki banyak makna.
Sebagaimana kata قضى   “Qadhlaa” yang memiliki enam makna yang berbeda-beda, yaitu:
1.       Berarti memerintah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Al Isra’ ayat 23 : (وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia”
2.       Berarti ketetapan atau kepastian, sebagaimana yang tertera dalam surat Saba’ ayat 14 :
(فلما قضينا عليه الموت)
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman”
3.       Berarti membuat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Taha ayat 72 :
(فاقض ما أنت قاض)
           
4.       Berarti memutuskan, sebagaimana yang terlaku dalam ucapan seorang hakim dalam persidangan. Oleh karena itu, orang yang pekerjaannya di mahkamah pengadilan disebut-sebut dengan gelar  “al Qaadhi”.
5.       Berarti memberitahu, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Isra’ ayat 4 :
(وقضينا إلى بني إسرائيل في الكتاب)
“Dan telah Kami beritahukan kepada Bani Israil dalam Kitab itu”
6.       Berarti menyudahi (selesai dari pekerjaannya), sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Yusuf ayat 68 :
(إلا حاجة في نفس يعقوب قضاها)

Selanjutnya adalah kata "صَلِّ", sebuah bentuk kata perintah (fi’il amr) dari asal kata (mashdar) صلاة yang memiliki 5 arti yang saling berbeda, yaitu:
1.       Berarti perintah untuk mengerjakan shalat yang prakteknya sudah kita lazim kita ketahui. Yaitu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat Al Kaustar ayat 2 :
(فصل لربك وانحر)

2.       Berarti perintah untuk berdoa, seperti yang disebutkan dalam surat Al Taubah ayat 103 :
(وصل عليهم إن الصلاة سكن لهم)
“Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka”
3.       Berarti perintah untuk memuji, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Ahzab ayat 56 : (إن الله وملائكته يصلون على النبي ياأيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما)
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”
Kata "يصلون" dalam ayat tersebut bermakna ganda. Yaitu, bila subjeknya adalah Allah SWT, maka bermakna “memberikan kasih sayang (rahmat)”. Dan bila subjeknya malaikat, maka bermakna “memintakan ampunan”. Dan kalimat perintah "صلوا"  ditujukan atas orang-orang beriman yang berarti "الثناء" memuji nabi atau mengungkapkan rasa terima kasih kepadanya. Bisa pula berarti mendoakan nabi.
4.       Berarti perkara agama, seperti yang disebutkan dalam surat Hud ayat 87 :
(أصلاتمك تأمرك)
“Apakah sembahyangmu menyuruh kamu
5.       Berarti sinagog, tempat peribadatan orang Yahudi, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Hajj ayat 40 :
(لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد)
“Tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid”

Wallahua’lam


Sabtu, 22 Desember 2012 0 comments

Peranan Ibu dalam Mencetak Generasi Bangsa; Part III - Habis




2.4 Proyek laboratorium peradaban
Husain Muhammad Yusuf dalam bukunya “Ahdaf al-Usrah Fil Islam” menjelaskan, keluarga adalah batu pertama dalam membangun negara. Menurutnya, sejauh mana keluarga dalam suatu negara memiliki kekuatan dan ditegakkan pada landasan nilai, maka sejauh itu pula negara tersebut memiliki kemuliaan dan gambaran moralitas dalam masyarakatnya. Penghargaan Islam terhadap masalah keluarga sangatlah tinggi. Betapa tidak, keluarga adalah unit yang paling mendasar diantara unit-unit pembangunan alam semesta. Di antara fungsi besar dalam keluarga adalah edukatif (tarbiyah). Dari keluarga inilah segala sesuatu tentang pendidikan bermula. Apabila ada kesalahan dalam pendidikan awalnya, maka peluang akan terjadinya berbagai penyimpangan di masa mendatang pada anak akan semakin tinggi. Oleh kerena itu, pada dasarnya Islam menjadikan pendidikan sebagai atensi yang dominan dalam kehidupan. Abdul Ala' al-Maududi Ulama asal Pakistan, mengartikan kata tarbiyah sebagai mendidik dan memberikan perhatian.
Setidaknya ada empat unsur penting dalam pendidikan. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah obyek didik. Kedua, mengembangkan bakat dan potensi obyek sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ketiga, mengarahkan potensi dan bakat tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Keempat, seluruh proses tersebut dilakukan secara bertahap. Keempat unsur tersebut menunjukan pentingnya peran pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga akan membentuk karakter kepribadian anggotanya dan akan mewarnai masyarakatnya. Singkatnya, keluarga merupakan laboratorium peradaban. Abdullah Nasih Ulwan dalam bukunya “Tarbiyatul Awlad Fil Islam”, menjelaskan bahwa ada 7 macam pendidikan integratif yang harus terintegrasikan secara sistemik dalam keluarga untuk mendidik anggota keluarga untuk menjadi hamba Allah yang taat, yang mampu mengemban amanah dakwah ini. Ketujuh pendidikan tersebut adalah[1]:
1.      Pendidikan iman, merupakan pondasi yang kokoh bagi semua bagian pendidikan.
2.      Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan manusia setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Disaat budaya masyarakat menyebabkan degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan keluarga menjadi signifikan manfaatnya.
3.      Pendidikan psikis membentuk berbagai karakter positif kejiwaan seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimis dan lain sebagainya. Karakter akan menjadi daya dorong manusia melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya.
4.      Pendidikan fisik tidak kalah penting. Dalam keluarga tumbuh kembang seorang anak terpantau. Gaya hidup sehat dapat dibangun dalam keluarga, seperti mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, serta berolahraga. Proses ini sangat penting dalam menyiapkan kekuatan fisik agar tubuh menjadi sehat dan kuat.
5.      Pendidikan intelektual harus dilakukan dalam keluarga sejak dini. Karena peradaban masa depan umat akan tergantung pada kapasitas intelektual generasi muda. Anggota keluarga harus memiliki kecerdasan yang memadai karena mereka akan mengahadapi arus persaingan di era globalisasi saat ini. Peran sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian sosial anggota keluarga agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat.
6.      Pendidikan seksual diperlukan untuk membangun kesadaran anggota keluarga terhadap peran dan tanggung jawabnya berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain pengajaran tentang kesadaran peran tersebut, juga perlu ditekankan tentang pengetahuan, sikap dan perilaku yang benar dalam permasalahan kesehatan reproduksi. Bukan hanya kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak laki-laki yang sudah menginjak usia dewasa.
7.      Pendidikan politik dalam keluarga juga diperlukan untuk membangun kesadaran dan membangun kemampuan anggota keluarga dalam menyikapi berbagai persoalan politik yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.
Dan berikut adalah upaya yang dapat dilakukan seorang ibu dalam menyusun proyek dalam keluarga untuk mewujudkan terlaksananya pendidikan keluarga melalui cara sebagai berikut:
1.      Alokasikan waktu bersama suami untuk membangun rencana strategis keluarga, yang dibagi dalam tujuh proyek dakwah keluarga untuk jangka waktu lima tahun.
2.      Buatlah turunan dari rencana tersebut untuk program tahunannya. Jangan lupa untuk menunjuk penanggungjawab setiap program. Sosialisasikanlah kepada pihak-pihak terkait , seperti pembantu, keluarga yang tinggal serumah.
3.      Lakukan evaluasi dan masukan bagi perbaikan pelaksana program selanjutnya.

Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
1.      Keluarga adalah lingkungan pertama dimana manusia hidup dan mendapatkan bimbingan. Dalam keluarga tumbuh berbagai bakat, terbentuk pemikiran, dan remaja beraktivitas dalam keluarga. Keluarga adalah institusi pendidikan utama membentuk dan membentuk generasi.
2.      Peran ibu sebagai pencetak generasi muda yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Memprioritaskan peran ibu dalam
0 comments

Peranan Ibu dalam Mencetak Generasi Bangsa; Part II


"Dari sudut pandang masing-masing,,makhluk Allah paling mulia setelah nabi adalah IBU ...
Bergembiralah mereka yg sampai detik ini sedang bersama ibunya.
##
Dari sudut pandang pribadi, hari Ibu adalah hari aku dilahirkan, hari aku dibesarkan, hari aku tumbuh dewasa, hari aku beranjak lanjut usia, hari-hariku di alam kubur, sampai aku bisa meraih hari-hariku bersama IBU di surga sana, semoga." Ungkapku.



2.3 Keahlian Seorang Ibu Menghadapi Tantangan Globalisasi
Secara faktual, globalisasi tetap merupakan proses yang hampir tidak mungkin dibendung. Ia bagaikan air bah yang akan menenggelamkan siapa saja yang yang melawannya. Kita tidak bisa menolaknya secara apriori. Sehingga yang diperlukan adalah kecerdasan untuk berenang agar suatu bangsa tidak tenggelam dan tidak hanyut. Untuk itu, diperlukan seorang pemimpin dan model kepemimpinan yang kuat, berkarakter, dan cerdas. Hanya dengan prakondisi inilah, kedaulatan Negara, harga diri bangsa, kepentingan nasional, dan kepentingan rakyat akan terlindungi dan terfasilitasi. Lalu, apa sangkut pautnya dengan peran seorang ibu rumah tangga?
Seorang ibu yang cerdas adalah ia yang tahu bagaimana cara paling evektif dalam menyetir pergaulan anaknya. Tak salah lagi jika pendidikan seorang ibu merupakan akar kebangkitan sebuah keluarga dan bangsa. Sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw bahwa wanita adalah tiang negara. Dengan pendidikan, seorang ibu mampu mengentaskan kebodohan dan melahirkan generasi baru yang berkualitas dan bermoral tinggi. Oleh sebab itu, seorang ibu sangat dianjurkan untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, bukan berarti esensi dari pendidikan bagi seorang wanita hanyalah untuk 3M saja (masak, macak, dan manak). Ironis sekali jika pendidikan berhenti sampai disitu mengingat tanggung jawab besar telah ia pikul.
Konsekuensi pendidikan dan pengetahuan seorang ibu akan bisa mengimbangi akan kemajuan pendidikan IPTEK masa kini. Mengingat obyek pengawasan ibu sekarang adalah anak-anaknya yang hidup di masa sekarang, bukan masa lalu. Oleh karena itu, asupan pendidikan seorang ibu mempengaruhi bagaimana cara ia mendidik anak-anaknya.
Contoh relitanya adalah fakta pergaulan usia remaja saat ini. Tentu kita semua tidak asing lagi mendengar maraknya pergaulan bebas ditengah-tengah masyarakat saat ini. Salah satu dampak dari pergaulan bebas tersebut adalah ancaman seks bebas yang melanda di sebagian besar kota-kota besar di sekitar kita. Terlepas dari ganungan nurani kita untuk  mencari langkah preventif memcounter ancaman seks bebas dari luar, ada baiknya jika kita sedikit mempertajam indera penglihatan kita terhadap faktor-faktor yang memicu para remaja untuk menyelami dunia hitam pergaulan bebas. Ada beberapa faktor utama yang paling mendasar, salah satunya yaitu kurangnya perhatian orang tua dalam mendidik anak. Sikap orang tua yang dibilang  acuh tak acuh terhadap pergaulan anaknya, tentu sangat mempengaruhi keadaan psikis si anak. Sehingga suatu saat si anak tersebut akan mengalami suatu kondisi dimana perhatian orang tua pada saat itu adalah penentu jalan hidupnya. Oleh karena itu, Kita dapat dengan mudah melihat perbedaan yang signifikan antara anak yang setiap harinya selalu mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya dengan anak yang jarang dan bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian. Akibatnya, anak yang mendapat perhatian akan menghindar dari pergaulan yang tidak diinginkan oleh orang tuanya. Sebaliknya, anak yang kurang mendapat perhatian akan merasa bebas dan tidak terkontrol dalam membatasi pergaulannya. Kondisi ini akan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang semestinya tidak ia lakukan, karena ia merasa bahwa kedua orang tuanya sudah tidak ingin tahu-menahu terhadap perbuatannya.
Seorang ibu yang pintar adalah ia yang mampu mengerti keadaan anaknya. Mendidik anak ada kalanya harus bersikap lembut, dan adakalanya pula harus bersikap tegas dan keras. Hal ini akan menjadi salah satu penguat benteng bagi anaknya agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik dan terkesan bebas. Terkadang, problem yang dialami oleh ibu-ibu zaman sekarang, yaitu ketidaktahuannya tentang perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK). Sehingga metode atau cara yang dipakai oleh sang ibu dalam mendidik anaknya yang hidup di zaman modern, adalah metode yang pernah dipakai oleh orang  tua ibunya di zaman klasik. Contohnya saja ketika sang anak memintanya untuk dibelikan handphone, atau tablet PC dengan beribu-ribu alasan agar mudah berkomunikasi dengan teman belajarnya  saat belajar kelompok atau kegiatan-kegiatan lainnya yang dirasa memiliki nilai positif menurut pandangan sang ibu. Atau meminta untuk dibelikan laptop, komputer, dsb. dengan alasan untuk keperluan tugas-tugas kuliah, mengetik, presentasi, internet, skripsi, dsb. Disaat inilah, seorang ibu yang tahu IPTEK akan tahu bagaimana ia harus bersikap. Disamping menuruti keinginan anaknya, ia juga selalu tanggap dan mengawasi gerak-geriknya dan selalu memantau perkembangan anaknya setelah berkelut di dalam dunia informatika yang sedang berkembang saat ini. Berbeda dengan seorang ibu gaptek, yang hanya meng-iya-kan permintaan anaknya dan menurutinya tanpa ada respon pengawasan berkelanjutan terhadap anaknya. Yang ada hanya asumsi berkedok kasih sayang tanpa ada arahan dan nasihat.
Minimnya pengetahuan orang tua tentang tekhnologi akan berdampak negatif terhadap pengawasan pergaulan anaknya. Seorang anak akan lebih pintar menyembunyikan hal-hal yang tidak pernah terbesit dalam benak orang tuanya. Untuk itu, keahlian seorang pendidik anak di era globalisasi ini, dalam hal ini adalah seorang ibu, merupakan tali kendali utama yang memiliki pengaruh besar dalam perubahan masa depan anaknya. 
Seiring dengan kerasnya kehidupan saat ini, kemajuan tekhnologi dan informasi seakan menghujam di setiap bilik rumah. Jika tidak diimbangi dengan kemampuan menyikapi hal tersebut, maka yang ada kita akan terseret oleh derasnya arus tersebut. Untuk itu, senjata utama yang harus dimiliki seorang ibu adalah membekali diri dengan pemberdayaan pendidikan IPTEK dan IMTAK. Dengan memprioritaskan sisi praktik aplikatif dan moral keislaman yang seimbang, agar seorang ibu mampu menjadi figur yang cerdas dan berwibawa yang mampu mengemban tugas mencetak generasi penerus Islam yang berkualitas, dan mampu membina keluarga yang sakinah serta mampu berperan aktif dalam pentas dinamika kehidupan nyata sebagaimana telah ditauladankan oleh muslimah periode risalah. Sehingga dengan begitu nyatalah apa yang elah diungkapkan oleh Rasulullah saw: "Dunia adalah perhiasan. Dan perhiasan terindah dunia adalah wanita saleha". (HR. Muslim, Nasâ'I, dan Ibn Mâjah)[1].


[1] Abd al-'Azhîm al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb min al-Hadîts al-Syarîf, Lebanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah. Cet. Ke-1, 1417, Juz.3, hal. 27.
1 comments

Peranan Ibu dalam Mencetak Generasi Bangsa; Part I




بسم الله الرحمن الرحيم
“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum, dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela, dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.”
( Muhammad Quthb, dalam bukunya “Ma’rakah al-Taqâlîd”) [1]

Bab I
Muqaddimah
            Kualitas sebuah bangsa bisa diukur dari kualitas para wanitanya. Wanita-wanita yang salehah akan melahirkan generasi saleh yang tidak hanya membangun bangsa tetapi membangun sebuah peradaban yang luhur. Dalam hal ini, siapa lagi kalau bukan peran seorang ibu. Ditangan ibu terletak bangkit dan tidaknya sebuah bangsa, di tangannya pula akan tergambar seperti apa pemimpin masa depan bangsa ini. Tidak salah jika Islam memposisikan seorang ibu sebagai pendidik anak yang pertama dan utama.
“Wanita dalam Islam, status sosial, kedudukan, dan derajat”, merupakan objek kajian kontemporer menarik yang telah beberapa kali diusung oleh para pemikir Islam di dunia. Tidak hanya dari kalangan cendikiawan Islam saja, para orientalis, liberalis, dan filosofis diluar Islam telah banyak menyerang dan merongrong pemikiran umat Islam lewat kajian menarik ini. Karena mereka menganggap permasalahan urgen ini menjadi ladang empuk perang media masa kini dan sangat mengena ke ranah ideologi untuk dapat merubah serta mempermainkan ayat suci Alquran dalam hal memahami serta menafsiri secara logis.
Jika kita menilik perlakuan barat terhadap kaum wanita, kita akan menemukan gambaran semu atas perlakuannya terhadap kaum wanita. Mereka mengatakan bahwa kaum wanita harus bangkit dari derita kehidupannya. Kaum wanita harus mampu bersaing dengan kaum laki-laki. Kaum wanita harus ikut berpartisipasi dalam membangun negara dan lain sebagainya.  Namun, solusi yang digembor-gemborkan oleh mereka itu menggiring kaum wanita untuk melakukan hal yang membuat dirinya lupa akan fitrahnya sebagai seorang wanita. Organisasi-organisasi kewanitaan yang mereka dirikan, hanyalah sebuah label yang tidak ada nilaninya. Suara-suara mereka dengungkan hanyalah jargon-jargon indah dibalik kepentingan busuk materi belaka. Jangan heran, jika wanita yang pada mulanya lembut, kini menjadi garang. Seorang istri yang pada awalnya harus patuh atas perintah suaminya, kini harus sering membantah. Wanita dan Laki-laki yang yang pada asaznya, diciptakan oleh Allah SWT untuk saling melengkapi, kini harus bersaing dan saling menjatuhkan.
            Mencetak generasi bangsa tidak hanya melahirkan bayi-bayi penerus keturunannya, melainkan, mencetak generasi bangsa yaitu melahirkan bayi-bayi berkualitas unggul yang nantinya akan mampu mempertahankan nilai-nilai kemanusiannya dan budi pekertinya. Sehingga mereka mampu memegang amanat dalam membangun peradaban bangsa. Lalu, bagaimana mungkin bayi-bayi itu berkembang dan berkualias unggul jika si pemegang tanggung jawab tersebut telah menyibukkan diri dengan pekerjaan lain? Apalagi, setelah mendengar pergerakan kaum wanita barat yang banyak menyeret wanita bangsa-bangsa lain untuk ikut berpartisipasi masuk ke jurang pertempuran yang pada akhirnya mereka harus melepaskan tangan dan lari dari tanggung jawab besar ini.  
            Siapa lagi kalau bukan peran seorang Ibu? Ibu adalah bagian terpenting dari sebuah pembangunan. Bukan hanya pembangunan lingkup keluarga, melainkan pembangunan sebuah peradaban suatu bangsa. Oleh karena itu, betapa besarnya potensi seorang ibu dalam mencetak generasi penerus yang unggul dan berkualitas. Lepasnya kontrol dari pengawasan seorang ibu sangat berpotensi besar dalam memperburuk masa depan anaknya. Oleh karena itu, dimulai dari sinilah akar permasalahan penyebab dekadensi sosial yang sedang mewabah saat ini. Untuk itu, penulis mencoba mengulas sebuah wacana akan peran seorang ibu dalam memperkokoh pilar bangsa menuju kehidupan bermoral dan bermartabat.

Bab II
Pembahasan
2.1 Ibu Sebagai Tumpuan Utama Pendidikan Anak di Rumah
            Islam sebagai agama mulia, secara tegas mengatur posisi wanita sebagai real school atau madrasah utama dalam pendidikan di rumah. Ibu, dalam Islam mendapat posisi penting sebagai guru pertama anaknya. Maka itu peran istri dalam Islam bagai guru besar pendidikan pertama yang harus dihormati oleh suaminya. Dari sini penulis jadi teringat dengan sebuah pepatah Arab yang artinya:
“Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”
Didukung pula dengan riwayat Imam Al Bukhâri, bahwa suatu hari
Kamis, 20 Desember 2012 0 comments

الفــرق الإســلامية الـتي عاصـرت ورأي الـشافــعي فيهم



بسم الله الرحمن الرحيم
الفــرق الإســلامية الـتي عاصـرت ورأي الـشافــعي فيهم


التقى الإمام الشافعي بآحاد من المنتمين للفرق الإسلامية وهي :
1.  الشيعة : هي أقدم الفرق الإسلامية، وقد ظهروا بمذهبهم السياسي في آخر عصر عثمان رضي الله عنه، ونما وترعرع في عهد علي رضي الله عنه. وبعض فرقهم المشهورة منها :
أ‌.   السبئية : هم أتباع عبد الله بن سبأ، وكان يهوديا من أهل الحيرة، أظهر الإسلام، وأمه أمة سوداء، ولذلك يقال له ابن السوداء، وقد كان من أشد الدعاة ضد عثمان، وقد تدرج في نشر أفكاره ومفاسده بين المسلمين وأكثرها موضوعة على علي رضي الله عنه.
ب‌. الكيسانية : هم أتباع المختار بن عبيد الثقفي. وقد كان خارجيا ثم صار من شيعة على رضي الله عنه. وعقيدة الكيسانية لاتقوم على ألوهية الأئمة كالسبئية الذين يعتقدون حلول الجزء الإلهي في الإنسان، بل تقوم على أساس أن الإمام شخص مقدس، ويبذلون له الطاعة، وثقون بعلمه ثقة بعلمه ثقة مطلقة ويعتقدون فيه العصمة عن الخطاء لأنه رمز للعلم الإلهي. ويدينون الكيسانية كالسبئية برجعة الإمام وهو بنظرهم بعد علي والحسن والحسين ومحمد بن حنفية.
ت‌. الزيدية: هم أتباع زيد بن علي بن الحسين رضي الله عنه. هذه الفرقة هي أقرب فرق الشيعة إلى الجماعة الإسلامية، وهي لم تغل في معتقداتها، ولم يكفر الأكثرون منها أحدا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم الأولين، ولم ترفع الأئمةإلى مرتبة الإله، ولا إلى مرتبة النبيين.  وقوام هذا المذهب أن الإما منصوص عليه بالوصف لا بالإسم وهي فاطميا ورعا عالما سخيا يخرج داعيا الناس لنفسه
ث‌. الإمامية  : هم القائلون بأن إمامة علي ثبتت بالنص عليه بالذات من النبي صلى الله عليه وسلم نصا ظاهرا ويقينا صادقا من غير تعريض بالوصف، بل إشارة بالعين، وعلي نص على من بعده وهكذا كل إمام، قالوا وما كان في الدين أمر أهم من تعيين الإمام حتى تكون مفارقته على فراغ قلب من الأمة ويتركها هملا.
ج‌.  الإثنا عشرية والإسماعيلية : الأولون الذين يرون أن الخلافة بعد الحسين لعلي زين العابدين ثم الباقر بن زين العابدين ثم لجعفر الصادق بن محمد الباقر ثم لابنه موسى الكاظم ثم لعلي الرضا ثم لمحمد الجواد ثم لعلي الهادي ثم للحسن العسكري ثم لمحمد ابنه وهو الإمام الثاني عشر.
2.  الخوارج : وسموا بالحرورة نسبة إلى حروراء التي خرجوا إليها. فالخوارج مذهب سياسي في الأصل غير أنه لما كانت السلطتان الدينية والدنيوية ممتزجين في الإسلام وهما معا عنصر الإمامة فإن للخوارج وجهة نظر في الأمور الدينية أيضا. عرض الخوارج رئاستهم على عبد الله بن وهب الراسبي، فبايعوه وسموه أمير المؤمنين.
3.  المعتزلة : ليس أحد يستحق اسم الاعتزال حتى يجمع القول بالأصول الخمسة : التوحيد والعدل والوعد والوعيد والمنزلة بين المنزلتين، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، فإذا كملت في الإنسان هذه الخصال الخمس فهو معتزلي. وهذه هي الأصول الجامعة لمذهب المعتزلة. وأفتى الإمام محمد بن الحسن الشيباني بأن من صلى خلف المعتزلة يعيد صلاته، والإمام أبو يوسف عدهم من الزنادقة، والإمام مالك لم يقبل الشهادة من أحدهم.
رأي الشافعي في علم الكلام ونهيه عن الاشتغال فيه
قال الشافعي : " إياكم والنظر في الكلام، فإن الرجل لو سئل عن مسألة في الفقه وأخطأ فيها كان أكثر شيء أن يضحك منه، كما لو سئل عن رجل قتل رجلا، فقال ديته بيضة، ولو سئل عن مسألة في الكلام فأخطأ نسب إلى البدعة ". وكان يقول : " رأيت أهل الكلام يكفر بعضهم بعضا، ورأيت أهل الحديث يخطئ بعضهم بعضا، والتخظئة أهون من الكفر" .
ولكن هل كان الشافعي مع نهيه عن علم الكلام على جهل به؟ فقد روي عن المزني أنه قال : "كنا على باب الشافعي رحمه الله نتناظر في الكلام فخرج الشافعي إلينا، فسمع بعض ما كنا فيه، فرجع عنا، ثم خرج إلينا وقال، ما منعني عن الخروج إليكم
0 comments

الاجتهاد من عصر إلى عصر [ عصر الرسالة – عصر الصحابة – عصر التابعين ]



بسم الله الرحمن الرحيم
الاجتهاد من عصر إلى عصر
[ عصر الرسالة عصر الصحابة عصر التابعين ]



‌أ.     كلمة الاجتهاد  :
      الاجتهاد في اللغة  : مأخوذ من الجَهْد بفتح الجيم وضمها وهو الطاقة والمشقّة([1]) ، فيختص بما فيه مشقة ؛ ليخرج عنه ما لا مشقة فيه . تقول  : أجتهد في حمل الحجر ، ولا تقول  : أجتهد في حمل الريشة . وقد يطلق لغةً أيضا على استفراغ الوسع في تحصيل الشيء([2]) . فالاجتهاد في علوم الدين ليس مجرد دراسة في أوقات الفراغ أو لقضاء الوقت في المجالس أو للحصول على شهادة ، ولكنه أخذ النفس ببذل الطاقة وتحمل المشقة بحيث يجتهد الطالب نفسه أو يبلغ جهده في الطلب . فمن فعل ذلك فهو مجتهد من جهة اللغة . ولكن جرى اصطلاح الفقهاء والأصوليين على أنّ المجتهد هو من تجاوز المراحل الأولى من الاجتهاد بمعنى العام في اللغة ووصل إلى مرتبة في العلم تمكّنه من استنباط الأحكام من الكتاب والسنة ويكون قادراً على استعمال آلات الاجتهاد . 
      والاجتهاد عند اصطلاح الأصوليين  : بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بالأحكام الشرعية بطريق الاستنباط([3]) . ومن هذا التعريف الاصطلاحي للاجتهاد، يتبين أربعة أشياء :
1.     أن يبذل المجتهد وسعه ، أي  : يستفرغ غاية جهده بحيث يحسّ من نفسه من العجز عن المزيد عليه .
2.     أن يكون الباذل جهده مجتهداً ، أما غيره فلا عبرةَ بما يبذله من جهد ؛ لأنه ليس من أهل الاجتهاد . وإنما يكون مقبولاً إذا صدر من أهله .
3.     أن يكون هذا الجهد لغرض التعرف على الأحكام الشرعية العلمية دون غيرها ، فلا يكون الجهد المبذول للتعرف على الأحكام اللغوية أو العقلية أو الحسية من نوع الاجتهاد الاصطلاحي عند الأصوليين .
4.     يشترط في التعرف على الأحكام الشرعية أن يكون بطريق الاستنباط ، أي  : نيلها واستفادتها من أدلتها بالنظر والبحث فيها . فيخرج بهذا القيد حفظ المسائل أو استعلامها من المفتي أو بإدراكها من كتب العلم ، فلا يسمى شيء من ذلك اجتهاداً في الاصطلاحي([4]) .
ب‌. العلاقة بين المعنى اللغوي والمعنى الاصطلاحي :
بعد أن نعرف الحد اللغوي والاصطلاحي للاجتهاد، يقول الدكتور نادية شريف العمري  : (( إن المعنى الاصطلاحي لم يبتعد عن المعنى اللغوي ، كما هو واضح من ذكر التعريفين ، فالتوافق ظاهر ، ونقطة الالتقاء بينهما واضحة ، وهي المبالغة في كلا الاستعمالين ويمكننا أن نقول : إن بين المعنيين عموم وخصوص مطلق ، أما استعمالها في الاصطلاح الأصولي فهو مختص ببذل الوسع لاستنباط الحكم الشرعي . وهذا هو الشأن في علاقة التعريف اللغوي بالتعريف الاصطلاحي غالباً))([5]) .
‌ج. الاجتهاد من عصر إلى عصر  :
·  اجتهاد الرسول
فقد اختلف العلماء في وقوع الاجتهاد من رسول الله  ﷺ حيث ذهب بعضهم إلى عدم وقوعه ؛ لقوله تعالى: (قل ما يكون لي أن أبدله من تلقاء نفسي إن أتبع إلا مايوحى إلى إني أخاف إن عصيت ربي عذاب يوم عظيم)  [يونس  : ١٥] وقوله تعالى : (إن هي إلا وحي يوحى)  [النجم  : 4] . وقال بعض آخر : إنه كان يجتهد
1 comments

أثار الفقهاء في المذهب الحنفي بحثا حول القرآن في مسألة : هل القرآن مجموع النظم والمعنى أم هو المعنى فقط ؟ أثار الفقهاء في المذهب الحنفي بحثا حول القرآن في مسألة : هل القرآن مجموع النظم والمعنى أم هو المعنى فقط ؟


بسم الله الرحمن الرحيم
أثار الفقهاء في المذهب الحنفي بحثا حول القرآن
في مسألة : هل القرآن مجموع النظم والمعنى أم هو المعنى فقط ؟


أ‌.        آراء العلماء في المذهب عن القرآن
يرى الجمهور بأن القرآن هو النظم والمعنى. وقولهم النظم، لأن القرآن عبارة عن الكلمات المترتبة بترتيب الخاص، فلو غير ذلك الترتيب بتقديم وتأخير ما بقي القرآن قرآنا.
لكنه لم يوجد نص الإمام نفسه الذي صرح به رأي الجمهور، بل يوجد هناك فرع يؤدي تخريجه إلى احتمال وجود رأي آخر الذي يوجهه إلى أن القرآن هو المعنى فقظ . فلذلك نريد أن نعرف رأي أبي حنيفة في هذه المسألة أهو يرى أن القرآن هوالمعنى فقط أم هو النظم والمعنى كما يرى الجمهور؟ ولماذا يأتي هذا الاحتمال ؟
ابتداءً، قبل أن نعرف رأي الإمام في القرآن، لابد أن نبحث ذلك الفرع الذي حكمه الإمام في المسألة، وسنذكره مرتبا كالتالي:
1.     قول الإمام أبي حنيفة فيمن إذا قرأ في صلاته بالفارسية
ذكر الإمام السرخسي في شرح المبسوط حيث قال : "إذا قرأ في صلاته بالفارسية جاز عند أبي حنيفة رحمه الله ويكره، وعندهما أي أبو يوسف ومحمد بن حسن لا يجوز إذا كان يحسن العربية وإذا كان لا يحسنها يجوز وعند الشافعي رضي الله عنه لا تجوز القراءة بالفارسية بحال، ولكنه إن كان لا يحسن العربية وهو أمي يصلي بغير قراءة[1]". ومعنى هذه العبارة أن قراءة القرآن في الصلاة بالفارسية تجزئ سواء أكان عاجزا عن القراءة العربية أم غير عاجز  لكنه يكره عند عدم العجز.
لكن قيد العلماء بالاتفاق ذلك الجواز بأن تكون الآية غير مؤولة، ولا محتملة لعدة معان، فإن كانت كذلك لم تجزئ قراءتها عند الكل؛ لأن ذلك تفسيرللقرآن وليس بمعنى القرآن المنعين، فلا يجزئ في الصلاة. وقد قال الكاساني في البدائع :"ثم عند أبي حنفية رحمه الله تعالى إنما يجوز إذا قرأ بالفارسية إذا كان يتيقن بأنه معنى العربية، فأما إذا صلى بتفسير القرآن لايجوز؛ لأنه غير مقطوع به"[2].
2.     قول الإمام أبي حنيفة فيما إذا تلا السجدة بالفارسية.
بناء على جواز القراءة بالفارسية، فيلزم لمن تلا السجدة بالعربية أو بالفارسية أن يسجد سجدة التلاوة وكذا لمن يسمعها كما أنه يلزم إذا تلاها بالعربية . قال علاء الدين الكاساني في كتابه "بدائع الصنائع" :" ... بين ما إذا تلا السجدة بالعربية أو بالفارسية في قول أبي حنيفة رحمه الله تعالى حتى قال أبوحنيفة : يلزمه السجود في الحالين وإن سمعها ممن يقرأ بالفارسية فكذلك عند أبي حنيفة بناء على أصله أن القراءة بالفارسية جائزة"[3].
3.     حكم قراءة القرآن من الجنب والحائض والنفساء بغير العربية عند الحنفية ومس المصحف المترجم إلى غير العبية.
وقد خرج بعض العلماء على رأي أبي حنيفة هذا في جواز القراءة بغير العربية حرمة قراءة القرآن من الجنب والحائض والنفساء بغير العربية. وكذلك حكم مس المصحف المترجم إلى غير العربية من غير المتوضىء أنه يحرم. ولكن الذي اختاره شيخ الإسلام جواهر زاده، ومعه جمع من المشايخ، واستحسنه الأكثرون هو أن جواز القراءة بغير العربية رخصة خاصة بالصلاة لاتعدوها عند أبي حنيفة رضي الله عنه. وعلى ذلك، لا يعطى المعنى حكم القرآن في حق المس والقراءة ممن لاتجوز منه القراءة. فقد نص الشيخ بقوله "في حق جواز الصلوة خاصة"[4] ، معناه أنه لايلزم عليه وجوب سجدة التلاوة بالقراءة بالفارسية وحرمة مس مصحف كتب بالفارسية على غير المتطهر وحرمة القراءة بالفارسية على الجنب والحائض.

استدلال أبي حنيفة في المسألة
استدل أبو حنيفة رحمه الله بما روى أن الفارس كتبوا إلى سلمان رضي الله عنه أن يكتب لهم الفاتحة بالفارسية فكانوا يقرؤون ذلك في الصلاة حتى لانت ألسنتهم للعربية.  فالواجب عليه قراءة المعجزة. والإعجاز في المعنى. فإن القرآن حجة على الناس كافة وعجز الفرس عن الإتيان بمثله إنما يظهر بلسانهم. والقرآن كلام الله تعالى غير مخلوق ولا محدث واللغات كلها محدثة، فعرفنا أنه لا يجوز أن يقال أنه قرآن بلسان مخصوص كيف وقد قال تعالى : ( وأنه لفي زبر الأولين ) وقد كان بلسانهم. ولو آمن بالفارسية كان مؤمنا[5] .  يقول الكاساني في كتابه "بدائع الصنائع في ترتيب الشرائع" بعد أن يذكر قول الإمام الشافعي القائل بأنه لم يجز القراءة في الصلاة بغير العربية مطلقا : "وأبو حنيفة يقول إن الواجب في الصلاة قراءة القرآن من حيث هو لفظ دال على كلام الله تعالى الذي هو صفة قائمة به لما يتضمن من العبر والمواعظ والترغيب والترهيب والثناء والتعظيم، لا من حيث هو لفظ عربي، ومعنى الدلالة عليه لايختلف بين لفظ ولفظ، قال تعالى : (وإنه لفي زبر الأولين)[6]".

ج‌.    رواية رجوع الإمام عن القول في المسألة
نص ابن ملك شارح المنار بقوله : "والأصح أنه رجع عن هذا القول كما روي نوح بن مريم هكذا[7]" لأنه يلزم منه أحد الأمرين إما بطلان تعريف القرآن؛ لأن الفارسية غير مكتوبة في المصاحف أو جواز الصلاة بدون القرأن لأنه اسم للنظم والمعنى. وكذلك قال فخر الإسلام البزدوي في كشف الأسرار ما نصه: "وهو الصحيح من مذهب أبي حنيفة عندنا أي المختار عندي أنّ مذهبه مثل مذهب العامة في أنه اسم للنظم والمعنى جميعا"[8]. كما قال ابن نجيم أيضا :"فالأصح رجوع الإمام عنه إلى قولهما إنه لا تجوز القراءة بغير العربي فيها للقادر"[9]  .
د‌.       مسلك البزدوي ومسلك السرخسي
فكلام السرخسي صريح يؤدي في نتائجه إلى الحكم لا محالة بأن رأى أبي حنيفة أن القرآن معنى فقط، وليس اللفظ جزءا من مدلوله؛ لأن الألفاظ محدثة والمعاني قديمة والقرآن قديم فالقرآن هو المعاني، ولأن الإعجاز في المعنى ولأن بعض القرآن كان في زبر الأولين، ولا شك أن الذي كان هو المعنى لا اللفظ، فالمعنى هو القرآن وعلى هذا يكون السرخسي ممن يحكمون بأن أبا حنيفة يرى أن القرآن هو المعنى فقط، وأنه ليس مجموع النظم والمعنى.
ومسلك فخر الإسلام البزدوي أنه قال أن رأي أبي حنيفة في القرآن هو اسم للنظم والمعنى جميعا. ويؤيد ذلك رد الشيخ على العلماء الذين
 
;